Minggu, 23 Januari 2011

Belajar Kelompok I (Latihan Belajar)

Kebiasaan tidur di rumah teman, sudah saya mulai sejak adanya belajar kelompok saat SD. Waktu itu kelompok belajar dibuat bergilir di rumah-rumah. Dari mulai rumah saya di Kepuh Lor, rumah Kuthuk di Kepuh Kulon, rumah Isul dan Odin di Glondong dan paling jauh rumah Dwi di Kemasan. Ada kelompok lain yang juga melakukan belajar bersama. Kelompoknya Lilik Setiawan di Kepuh Kulon. Tetapi saya tidak pernah ikut belajar bersama kelompoknya, sehingga saya tidak paham model belajar kelompoknya. Saya dan dia memang tidak begitu dekat dulu saat SD. Mungkin karena saya abangan yang lumayan mbejujal, sementara dia dari kalangan elit Muhammadiyah yang alim di Kepuh Kulon.
Saya ingat waktu belajar kelompok pertama kali dilakukan di rumah Isul di Glondong. Waktu itu ibunya masih ada. Ibunya Isul meninggal saat kami kelas VI. Isul punya kakak cewek (saya lupa namanya) yang menurut ukuran saya waktu itu lumayan cakep. Saya masih selalu ingat dia, sebab saat saya sunat dia datang dengan pacarnya ke rumah saya dan memberi kado. Saya sunat saat kelas VI ketika sedang dilakukan ujian praktek ebta, sehingga saya tidak bisa ikut karena belum sembuh. Saya harus menempuh sendirian ujian praktek ebta setelah sembuh dari sunat. Rumah Isul cukup besar. Di samping depan kanan rumah ada mushola. Di samping depan kiri ada kamar yang terpisah dari rumah utama. Kami belajar di ruang depan dengan menggunakan lampu teplok. Penerangan listrik belum menjangkau daerah kami. Meskipun judulnya belajar bersama, faktanya yang terjadi adalah bermain bersama. Belajar hanya formalitas saja. Membaca beberapa lembar tidak lebih dari setengah jam. Kemudian kami disibukkan oleh jajanan yang dihidangkan ibunya Isul. Macam-macam gorengan dan kacang godhog serta sirup cukup menyita waktu kami. Sambil menikmati jajanan, ngobrol yang tidak karuan juga menguras porsi waktu belajar. Setelah itu belajar bersama dilanjutkan nonton film serial TV, Waktu itu serial The Saint yang kami tonton. Selesai film yang juga selesai siaran TVRI, baru kami berangkat tidur. Tidur di lantai ruang dalam dekat TV dengan alas tikar. Karena baru pertama tidur di rumah itu, saya agak susah untuk bisa tidur. Sebentar-sebentar terbangun. Saya agak kaget ketika saya bangun ternyata ruangan gelap gulita. Rupanya lampu minyak yang mengandalkan minyak tanah itu kehabisan sumber energinya, sehingga mati dan gelaplah ruangan. Terus terang saya agak tersiksa dengan kondisi itu. Saya berharap segera pagi dan segera pulang. Saya sangat bersyukur begitu mendengar suara adzan subuh. Saya segera bangun dan juga membangunkan yang lain untuk wudhu dan ke mushola depan rumah. Meskipun dinginnya luar biasa saat itu, saya tetap wudhu dan segera ke mushola. Rupanya ibunya Isul melihat saya sering terbangun. Hal itu saya ketahui ketika ibu saya ketemu dengan ibunya Isul, yang mengatakan bahwa saya paling rajin bangunnya. Sebelum subuh sudah bangun katanya. Padahal yang sebenarnya saya memang tidak bisa tidur.
Setelah yang pertama itu, saya jadi biasa tidur di rumah Isul. Untuk belajar selanjutnya tidak hanya melulu di rumah, tetapi sudah diselingi dengan bermain di luar rumah. Malam-malam bermain di desa lain merupakan hal pertama saya lakukan waktu itu. Acara main waktu itu adalah dul-dulan atau petak umpet. Saya dan Isul dapat giliran ngumpet. Saya lupa siapa yang jaga waktu itu. Namun saya ingat persis waktu saya diajak masuk kuburan untuk sembunyi. Saya bertiga dengan Isul dan Odin masuk kuburan. Saya dan Isul bersama masuk di salah satu cungkup, bangunan semacam rumah di dalam kuburan. Odin malah lebih nekat lagi. Dia naik pohon mlinjo yang ada di tengah-tengah kuburan. Tidak tahu mengapa saya sedikitpun tidak ada rasa takutnya. Mungkin lebih karena gengsi saja. Padahal saat masuk itu saya sudah terasa sirr..bergidik di tengkuk. Namun melihat yang lain tenang saja, saya juga menenang-nenankan diri sendiri. Ternyata bersembunyi di situ betul-betul aman. Tidak ada yang mencari. Saya kira yang lain juga tidak akan sebodoh kami, mencari hingga ke kuburan. Lama-lama kami bosan sendiri. Yang jelas Odin juga pasti kecapekan bertengger di pohon mlinjo itu. Saya lihat dia tidak bertengger di cabang, namun hanya mendekap pohon itu dan bertahan. Pasti sangatlah capeknya. Waktu kami keluar dari kuburan dan kembali ke tempat semula kami bermain, sudah tidak ada anak yang lain alias sudah bubar.
Pengalaman tidak enak saat belajar bersama, saya alami di rumah Sri Widodo atau Kuthuk di Kepuh Kulon. Rumah Kuthuk berada di sebelah timur masjid. Saat berangkat ba’da magrib saya merasa baik-baik saja. Namun setelah isya’ saya merasa badan saya tidak enak. Tubuh terasa demam, perut mual dan kepala pusing rasanya mau muntah. Kemungkinan besar waktu itu saya masuk angin. Saya minum ultraflu 1 tablet pemberian Kuthuk. Merasa sudah minum obat, saya sudah merasa tenang, meskipun badan masih belum nyaman. Saat itu Kuthuk menawari ketimun dan semangka. Melihat ketimun dan semangka, saya mengira akan terasa segar jika memakannya. Maka saya ambil ketimun itu satu dan juga semangka satu iris. Saya makan semangka sampai habis dan kemudian ketimun. Namun baru habis separo dari sebuah ketimun ukuran kecil, saya merasa ada yang tidak beres dengan perut saya. Saya langsung mual, badan menggigil, kepala terasa berkunang-kunang dan juga pusing yang disertai berputar. Meskipun sudah sangat mualnya, namun saya tidak bisa muntah, sehingga sakit di perut betul-betul menyiksa. Saya betul-betul pucat waktu itu. Oleh Kuthuk, leher saya dipijat-pijat dan dipaksa untuk muntah. Saya bisa muntah, meski sedikit dan terasa sangat pahit di lidah. Namun dengan muntah itu, membuat saya sedikit lega. Perut tidak lagi kruel-kruel. Namun badan masih terasa dingin, dan pusing juga belum hilang. Kuthuk memberi saya teh panas. Saya minum teh segelas sedikit demi sedikit hingga habis. Kemudian dengan selimut dua sarung, saya berusaha tidur. Mungkin karena capek menahan mual, dan juga efek ultraflu sudah bekerja, saya bisa tidur malam itu. Sejak saat itu saya menjadi trauma dengan yang namanya ketimun dan semangka. Saya selalu tidak mau makan jika ditawari ketimun dan atau semangka.
Saat belajar bersama di rumahnya Dwi di Kemasan, baru kami betul-betul belajar. Karena hanya bertiga saja waktu itu, saya, Hartono dan Dwi. Maksudnya belajar benar, karena memang waktu itu kami bertiga membaca soal-soal kemudian kami jawab bersama-sama. Itu dilakukan dalam waktu cukup lama, dari ba’da Isya’ hingga jam sembilan malam. Setelah jam sembilan, kami kewalahan makan suguhan yang disajikan tuan rumah. Kewalahan karena biasanya kami berenam atau minimal berlima, sehingga sajian yang semestinya untuk berenam itu kami makan bertiga saja. Setelahsemua sajian habis, kami langsung tidur. Tidak ada acara bermain-main. Paginya ba’da subuh saya dan Hartono pulang berjalan kaki. Kemasan itu letaknya dari Kepuh Lor cukup jauh. Kami harus melewati Glondong, kemudian area persawahan baru sampai di Kemasan. Sekitar 3-4 kilo jaraknya. Saat pulang itulah saya dan Hartono baru ada kesempatan bermain-main. Dengan alat sarung, saya dan Hartono seblak-seblakan (memukul dengan kain sarung). Itu saya lakukan sejak keluar dari rumah Dwi hingga memasuki kampung Kepuh. Hartono pulang ke Kepuh Kidul, saya pulang ke rumah di Kepuh Lor.

Ronda Malam

Kegiatan siskamling di Kepuh Lor berjalan dengan sangat baik. Warga dibagi dalam lima kelompok sesuai nama pasaran Jawa yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Tiap kelompok beranggotakan sekitar 10 – 12 orang. Saya ingat nama anggota kelompok Wage terdiri dari Bapak saya, Lek Jumat, Lek Hardi, Lek Marjono, Lek Girun, Lek Kusno, Gopleng, mbah Marto Bodin, mbah Mangun Sakiman dan Kitri. Kelompok Wage termasuk kelompok kasepuhan, karena rata-rata anggotanya sudah berumur tua. Namun justru itu, kelompok Wage termasuk kelompok yang elit dan disegani. Berbeda dengan kelompok Legi berisi para pemuda. Tempat ronda bergiliran di rumah-rumah tiap anggota. Jadi tiap anggota mendapatkan giliran rumahnya dipakai untuk ronda tergantung jumlah anggotanya. Jika anggotanya sepuluh orang maka setiap 50 hari sekali mendapatkan giliran. Giliran itu sudah dibuat urutan baku, sehingga setelah bertempat di rumah saya, maka pasaran Wage lima hari berikutnya di rumah Lek Jumat, berikutnya lagi di rumah Lek Hardi dan seterusnya hingga kembali di rumah saya. Bapak sudah menugaskan saya untuk ronda sejak saya kelas 1 SMP. Demikian juga dengan Kunik yang mewakili Lek Jumat bapaknya, dan Tarto mewakili Kitri kakaknya. Saya lumayan lama mengikuti kegiatan ronda di kampung hingga saya masuk kuliah. Setelah saya kuliah saya sudah sangat jarang ikut ronda, bahkan kegiatan kampung yang lain saya juga sudah sangat jarang ikut.
Selama metode itu diberjalankan, saya belum pernah menjumpai kekisruhan atau kesalahan. Semua sudah niteni (mengingat) jadwalnya dan menyiapkan segala ubo rampenya. Mendapatkan giliran ronda berarti harus menyiapkan suguhan jajanan berpiring-piring sekaligus teh panasnya. Dan itulah sebenarnya inti dari ronda menurut saya. Ronda berarti makan-makan sak kenyangnya. Bahkan jika yang ketempatan giliran sedang bersuka hati, akan disajikan makan besar. Hal itu pernah dilakukan oleh mbah Mangun Sakiman (biasa disingkat Mangun SKM). Kami disuguhi makan besar dengan lauk opor ayam kampung. Sepertinya kerbau mbah Mangun baru saja melahirkan, jadi sekalian syukuran. Ibu kadang juga menyiapkan makan besar waktu mendapatkan giliran ronda. Biasanya ibu masak gule ayam dilengkapi dengan krupuk udang.
Kegiatan ronda, setelah semua anggota kumpul di rumah yang ketempatan, maka suguhan berbagai jenis jajanan pun dikeluarkan. Berpiring-piring jajanan tersedia. Biasanya berupa pisang goreng, bakwan, tahu susur, ketela goreng ataupun godhog, kacang godhog maupun kacang garing, pisang godhog, jadah ketan dan aneka jenang dodol, kripik maupun peyek juga sering ada. Minumnya yang pasti teh panas, namun juga disiapkan kopi bagi yang mau kopi. Pokoknya untuk urusan logistic, kelompok Wage termasuk yang paling mewah di antara kelompok lain. Makanya kadang saat pasaran Wage banyak juga yang datang selain kelompok Wage ke rumah yang ketempatan. Tentu selain untuk mengisi malam, yang jelas untuk begadang semalam tersedia teman berupa aneka jajanan. Biasanya jam sembilan malam, sudah pada kumpul. Sambil menikmati suguhan jajanan, siaran wayang kulit dari radio menjadi hiburan wajib. Kebetulan kelompok Wage lumayan senang dengan dalang Ki Hadi Sugito dari Toyan Wates Kulon Progo. Begitu acara wayang kulit disiarkan, semua ikut mendengarkan, termasuk saya. Acara mendengarkan siaran wayang kulit biasanya terhenti sekitar jam sebelas atau jam dua belas. Waktu tengah malam itu, saatnya tugas ronda yang sebenarnya dijalankan. Kami harus mengambil jimpitan berupa beras yang ditempatkan dalam kaleng kecil semacam bekas kaleng rhemason atau yang lain. Kaleng itu ditempatkan di pojok bagian belakang rumah, sehingga kami harus mengelilingi rumah itu untuk mengambilnya. Itulah tujuan jimpitan itu, petugas ronda harus meronda rumah, dengan sarana jimpitan. Jika jimpitan tidak diambil, maka tuan rumah akan protes, karena rumahnya tidak dirondani. Saya pernah ngakali waktu itu. Memang dari rumah sudah diniati untuk tidak keliling kampung mengambil jimpitan. Saya sudah membawa beras satu karung plastic kresek. Ketika waktunya keliling untuk mengambil jimpitan, saya, Kunik dan Tarto keluar dan menuju ke halaman rumah mbah Pawiro untuk mengambil jambu air. Selesai mengambil dan makan jambu itu kami kembali ke pos ronda di rumah mbah Mangun.
Keliling kampung untuk mengambil jimpitan memang bagian yang tidak mengenakkan. Kepuh Lor itu lumayan luas. Mulai dari ujung kampung di pinggir jalan hingga ujung satunya di pinggir sungai. Meskipun sudah dibagi menjadi dua bagian, namun ketika harus mengambil jimpitan di rumah mbah Rono yang berada di paling ujung barat kampung di pinggir sungai kami jadi merasa malas melakukannya. Tetapi karena itu sudah bagian dari tugas maka ya harus dikerjakan. Selama menjalani aktifitas ronda, saya belum pernah mengalami harus mengejar maling, menangkap dan nggebuki hingga klenger. Artinya selama ronda jatuh pada kelompok Wage belum pernah sekalipun menjumpai maling atau ada warga yang kemalingan. Namun saat kelompok lain ada warga yang kemalingan juga, tetapi saya lupa kelompok apa waktu itu yang ronda. Pernah sekali, saat itu ada informasi bahwa ada orang yang mencurigakan masuk kampung. Saat itu saya bersama Lek Jumat, sedang keliling mengambil jimpitan. Begitu mendapatkan informasi itu saya diajak Lek Jumat ikut mengamati. Saya dibekali pentungan waktu itu. Saya sudah senang, bakal mendapatkan pengalaman menangkap maling. Saya dan Lek Jumat mengamati sekitar kuburan, dan menjumpai dua orang di seberang kuburan. Dengan agak was-was kami dekati sambil menyiapkan pentungan. Ternyata begitu dekat, dua orang itu adalah Lek Hardi dan Gopleng. Maka kami berempat bergabung, bukan untuk keliling, namun kembali ke pos di rumahnya Kusno.
Kegiatan ronda di rumah-rumah ini berjalan cukup lama, hingga kemudian ada inisiatif untuk membangun gardu ronda. Setelah gardu ronda jadi, maka segala kegiatan ronda disentralkan di gardu. Penggunaan rumah-rumah anggota kelompok untuk tempat ronda dihapuskan. Bagi anggota kelompok yang mendapatkan giliran, maka bertanggung jawab terhadap logistic anggotanya. Karena tidak lagi di rumahnya sendiri, maka harus dikirim ke gardu ronda. Dengan adanya perubahan sistem itu, maka berubah pula pola suguhan yang disajikan saat ronda. Bukan lagi tersaji berpiring-piring aneka jajanan. Kiriman jajanan itu cukup ditempatkan di dua panci ukuran sedang. Minuman teh siap saji juga disiapkan di dua ceret yang sudah ada di gardu. Gelas juga sudah tersedia di gardu. Jadi sebenarnya sangat praktis dan ekonomis bagi warga yang mendapatkan jatah menyiapkan logistik ronda. Namun justru dengan metode itulah, menurut saya ruh dari ronda itu sudah hilang, bersama dengan hilangnya berbagai macam sajian jajanan yang menjadi ciri khas kegiatan ronda di kampung saya.

Senin, 17 Januari 2011

Sumur Berdarah

Sekolah Dasar Negeri Mutihan III yang berada di belakang balai desa Wirokerten di dusun Glondong, merupakan sekolah bagi anak-anak Kepuh Lor umumnya menempuh pendidikan dasarnya. Meskipun demikian ada beberapa anak yang memilih sekolah di sekolah kalurahan lain, di Jambidan yang berada di timur kampung Kepuh Lor. Saya masuk SDN Mutihan III, karena memang sekolah TK saya bersebelahan dengan sekolah itu. Jadi begitu lulus TK, otomatis dimasukkan ke SD sebelahnya. Beberapa anak seangkatan saya dari Kepuh Lor yang laki-laki adalah saya, Slamet dan Pomo. Yang perempuan hampir semua saya sudah lupa. Tetapi sepertinya Mindar adiknya Meguk anaknya mbah Arjo nDengguk itu seangkatan. Tetapi meskipun berasal dari satu dusun, kami malah jarang main bersama di sekolah. Saya di sekolah seringnya malah bermain dengan Isul.
Isul, panggilan dari Endro Sulastomo, putranya Pak Jito kepala SDN Mutihan III, sekolah kami. Saya dan dia hampir selalu bareng. Dalam kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Kelompok belajar, latihan silat, hingga dul-dulan di Glondong saya bareng dia. Meskipun dia anaknya kepala sekolah, namun untuk urusan juara, dia tidak pernah bisa melampaui saya. Dia selalu jadi domor dua setelah saya. Itu berlangsung hingga lulus sekolah itu. Tetapi untuk urusan membuat kisruh, dia selalu pegang posisi. Skor saya selalu di bawahnya.
Waktu itu kalau tidak salah kelas IV. Sekolah kami membuat proyek pembangunan sumur, kamar mandi dan WC. Letak sumur dan kamar mandi itu berada lorong di selatan bangunan gedung SD. Lorong itu yang memisahkan bangunan gedung SD dengan TK. Dengan adanya bangunan itu maka, bangunan gedung SD dan TK tersambung. Di depan lorong dibuatkan pintu. Sehingga ketika akan masuk ke kamar mandi atau WC harus melewati pintu itu. Sumur yang digali memang mengeluarkan air yang jernih. Galian sumur itu dipasangi bis beton satu lingkaran berdiameter kurang dari satu meter. Karena di ata sumur dipasang kaca bening, maka dasar sumur nampak sangat jelas airnya, meskipun agak dalam atau jauh sekitar 4-5 meter dari bibir sumur. Ember dikaitkan di tali yang terbuat dari karet ban, dan dilingkarkan pada kerekan di atas sumur. Kerekan itu dikaitkan pada kayu salah satu usuk bangunan. Kamar mandi dan WC dibuat berdampingan. Kamar mandi dibuat tersendiri, terpisah dari WC. Jadi di dalam kamar mandi tidak ada WC. Kalau mau be’ol dan mandi ya harus masuk di dua kamar yang berbeda. Tidak bisa 2 in 1 seperti umumnya sekarang. Bangunan itu dipayungi dengan seng dari asbes, keculai di atas sumur ada kacan beningnya. Bangunan itu saat masih baru merupakan tempat favorit saya dan Isul untuk bermain. Bahkan saya pernah tidak masuk kelas, gara-gara keasyikan bermain air di situ. Tetapi entah mengapa saya dan Isul tidak pernah ditegur saat itu. Mungkin karena faktor Isul adalah anak kepala sekolah dan juga karena saya juaranya kelas.
Yang dimaksud bermain air itu adalah mandi di sumur. Bukan sekedar menimba air dengan ember kemudian dipakai mandi. Kami turun ke sumur dengan cara naik ke bibir sumur. Setelah itu, badan kami turunkan ke sumur dengan dua tangan menahan beban badan. Kaki dibentangkan hingga menjangkau tebing sumur. Setelah kaki cukup kuat menahan beban badan, dua tangan diturunkan dan menjangkau tebing sumur. Dengan menggunakan tangan untuk menahan badan, dua kaki diturunkan dan menjangkau lagi tebing sumur. Langkah itu dilakukan hingga mendekati air. Begitu kaki sudah menyentuh air, maka dengan serentak kaki dan tangan melepaskan pijakan dari tebing sumur. Kemudian byuur..tubuh terhempas dalam air sumur yang dalam itu. Saya tidak tahu persisnya kedalaman air sumur itu. Saya pernah berusaha menjangkau hingga dasar sumur namun tidak pernah berhasil. Saya sudah sangat tidak tahan untuk ambil nafas, sebelum kaki menyentuh dasar sumur. Di dalam sumur itulah saya dan Isul biasanya mandi yang sebenarnya. Tidak ada yang mengganggu, karena memang selama ini tidak ada yang tahu kalau kami biasa nyemplung ke sumur itu untuk mandi.
Namun pasca peristiwa berdarah itu, saya dan Isul jadi kapok bermain nyemplung sumur. Kronologisnya begini kira-kira. Seperti biasa, saya dan Isul bermain di dalam sumur. Waktu itu saya sudah merasa kedinginan, dan mau duluan naik. Isul masih tetap bertahan di dalam sumur. Saya naik ke atas dengan teknik sama saat turun. Menggunakan tumpuan kaki dan tangan untuk menahan badan. Saat naik rasanya lebih mudah daripada saat turun. Setelah di atas, saya kemudian memakai baju. Celana sudah basah. Saat itu memang sudah di luar jam sekolah. Kami nyemplung sumur saat jam sekolah sudah selesai. Jadi saya bisa langsung pulang dengan celana basah itu. Saat mau beranjak menuju ke pintu, saya melihat ember berada di atas di dekat kerekan. Biasanya saya selalu mengambil tali timba dan ember, kemudian saya letakkan di lantai dekat bibir sumur. Tetapi saat itu saya tidak begitu memperhatikan perbedaan posisi ember seng itu. Saya berjalan menuju pintu keluar. Namun baru separuh jalan, saya mendengar suara reketek..reketek..kerekan timba berputar. Saya menoleh, dan melihat ember yang di dekat kerekan meluncur ke bawah. Tak berapa lama saya mendengar Isul berteriak “ Aduuh…”. Saya berlari mendekat ke sumur dan menengok ke bawah. Di dalam sumur saya melihat Isul memegang kepala, dan saya melihat darah mengucur. Ember berada di samping Isul. Saya teriak ke dia “ Piye?”. Dia jawab “Drijiku meh tugel!” Ternyata darah itu keluar dari dua jarinya, bukan dari kepalanya. Jadi saat ember seng itu meluncur ke bawah Isul sempat melihatnya dan reflek tangannya langsung mengambil posisi melindungi kepala. Sehingga yang jadi sasaran tembak adalah jari-jari yang berada di atas kepala. Saya teriak ke dia “Iso munggah ora?”. Dia jawab “Iso!”. Saya minta dia segera naik. Dengan menahan sakit, dan itu nampak dari raut wajahnya, Isul berusaha naik ke atas. Rasanya memang berat. Karena yang semestinya mengandalkan tangan dan kaki, ini hanya kaki yang dijadikan tumpuan. Darah masih terus mengucur dari jari-jarinya. Saya pinginnya membantu dia segera sampai ke atas. Namun tidak bisa, karena memang tidak tahu caranya. Setelah dengan bersusah payah dan menahan sakit itu, Isul sampai juga di bibir sumur. Sampai di situpun saya tidak bisa membantunya. Isul harus bisa melampaui bibir sumur untuk sampai di lantai. Itu harus dilakukan sendiri, tidak bisa dibantu, karena kalau salah malah menjadikan terjatuh. Setelah mampu sampai di atas dengan selamat, saya lihat jarinya tangan kanan yang dipegangi dengan tangan kirinya. Ada luka menganga di dua jarinya yang masih mengalirkan darah segar itu. Saya bantu dia menuju ruang guru. Waktu itu masih ada beberapa guru yang belum pulang termasuk kepala sekolah. Melihat anaknya basah tanpa baju dan berdarah, Pak Jito kaget. Beliau bertanya “Keno opo kuwi?”. Isul menjawab “Ketiban ember!”. Pak Jito mengambil kain, sepertinya sapu tangannya. Dengan kain itu dibersihkan luka di jari anaknya, kemudian diambilnya obat merah dan diteteskan ke luka itu. Setelah dirasa cukup dengan obat merah itu, baju Isul yang saya bawa saya serahkan dan kemudian dipakainya. Isul kemudian diboncengkan bapaknya pulang ke Glondong, dan saya juga pulang ke Kepuh Lor. Setelah kejadian berdarah itu, saya dan Isul seingat saya sudah tidak pernah mandi nyemplung ke sumur berdarah itu lagi.

Kamis, 06 Januari 2011

Batu Hitam Berdarah

Waktu pastinya saya sudah lupa. Namun yang pasti saya masih TK atau kelas I SD. Sekitar umur 5-6 tahun. Umur nakal-nakalnya saya menurut penuturan ibu. Saat itu, di rumah bagian depan, saya sedang asyik bermain. Pagi-pagi saatnya masuk sekolah, saya malah menggambar. Yu Mur kakaknya bapak saya, pernah mengajari menggambar bunga. Kebiasaan di keluarga besar saya, memanggil saudara itu tidak seperti umumnya. Adiknya bapak yang umumnya dipanggil Lek, namun kami tidak pernah memanggil Lek. Mbak menggantikan sebutan bu Lek, dan Mas menggantikan sebutan pak Lek. Mbah dipanggil Pak Tuwo untuk mbah kakung dan Mbok Tuwo untuk mbah putri. Yu Mur itu mestinya dipanggil bu Dhe.
Waktunya harus persiapan masuk sekolah, mandi makan dan lainnya, saya malah asyik sendiri menggambar bunga. Dengan kertas buram yang dibawa bapak dari kantor, saya membuat corat-coret yang masih sangat sederhana. Gambar bunga dengan tangkai di dalam pot. Gambar semacam itu terus saya buat. Sampai kemudian ibu muncul di belakang saya, menyuruh saya mandi dan segera berangkat sekolah. Namun saya selaku anak yang memiliki reputasi kenakalan yang cukup signifikan, seruan ibu itu kuanggap angin lalu. Saya meneruskan menggambar bunga itu. Ibu kembali ke dapur, saya masih asyik sendiri. Di dekat saya ada kacang rebus, sisa tadi malam di panci plastik. Melihat saya tidak ada reaksi positif, ibu datang lagi dan mengulangi perintahnya. Saya bergeming, dan tetap dengan keasyikan saya sendiri, menggambar. Tentu sikap saya memancing kemarahan ibu. Dengan gaya khas seorang ibu, maka keluarlah sabda darinya bla.bla.bla..Hingga pada sabda terakhir “ Kalau tidak mau sekolah saya buatkan surat untuk gurumu”. Saya masih bergeming.
Ibu masuk ke rumah dalam, mengambil secarik kertas dan ballpoin. Ibu menulis surat kepada guru saya. Saat menulis itu, ibu sambil membacakan isi suratnya. Isinya kurang lebih begini “Bu guru, ini Mawan sudah tidak mau sekolah lagi, maka tidak usah diberi pelajaran. Biar Mawan bermain saja tidak usah sekolah”. Mendengar isi surat yang sengaja dibaca dengan keras itu, saya jadi terusik. Saya bereaksi. Saya berdiri meninggalkan kertas-kertas yang saya gambari bunga itu. Surat tulisan tangan ibu itu saya ambil dan saya sobek-sobek. Melihat sikap saya, ibu marah dan bilang “Gampang, surat bisa ditulis lagi. Kalau kamu tidak mau sekolah ya sudah”. Ibu pergi, namun kacang yang ada di dekat saya, diambil dan dilemparkan ke kepala saya. Waktu itu saya diam saja, namun hati saya sangat marahnya. Ibu meninggalkan saya, mengambil sapu lidi, kemudian menyapu halaman sebagaimana biasa dilakukan di pagi hari.
Melihat ibu pergi ke halaman sedang menunduk memegang sapu lidi, saya beranjak dari tempat saya duduk. Saya keluar dari ruang depan. Entah setan mana yang hinggap di jasad saya saat itu. Saya mengambil batu yang tergeletak di tanah. Batu hitam sekepal itu saya lemparkan ke arah ibu yang masih menunduk menyapu. Lemparan asal dengan tenaga penuh itu ternyata sampai ke posisi ibu berdiri. Batu keparat itu tepat mengenai dahi ibu. Ibu berteriak “Aduh!”. Sambil memegang dahi, ibu mendongak. Saya melihat darah merah mengucur deras dari dahi ibu. Begitu melihat darah yang mengalir hingga ke leher itu saya menjadi panik. Saya lari entah ke mana saat itu, yang jelas menjauh dari ibu. Saya hanya sempat melihat ibu berjalan sambil memegang dahi, mendekat ke teras depan. Saya juga sempat melihat ibu ditolong oleh mbah Kaji. Ending kejadian itu saya tidak paham. Saya lupa. Saya berusaha mengingat dengan keras, namun juga tidak mampu merangkainya. Mestinya saya tanya ke ibu sebelum saya tulis ini. Namun itu belum sempat saya tanyakan. Tetapi apapun endingnya, yang jelas itu merupakan kejadian tragis ibu atas ulah saya. Untuk itu meskipun sudah lewat puluhan tahun silam, saya meminta maaf dengan sesungguhnya kepada ibu. Mungkin ibu sudah sejak dulu memaafkan saya, namun itu bagian dari masa kecil saya yang membekas di dahi ibu, bukan sekedar di hati saja.