Kamis, 30 Desember 2010

Nonton Konser IV (Sukses Raksasa Godbless)

Log Zelebour selaku promotor dan produsen rekaman menyelenggarakan tour untuk promosi album Godbless yang terbaru Raksasa. Setahun sebelumnya Godbless juga melakukan konser untuk album Semut Hitam yang legendaris itu. Konser yang disponsori oleh Gudang Garam itu digelar di stadion Kridosono. Selain Godbless sebagai pembuka disertakan Power Metal, Mel Shandy dan El Pamas. Formasi Godbless sudah ada perubahan dari Ian Antono diganti Eet Syahrani. Personel yang lain masih tetap.
Saya, Siloek dan Haryadi sepakat untuk nonton konser itu. Tiket yang membelikan Siloek. Saat di sekolah hari sabtu saya dan Hari sudah mendapatkan tiket itu dari Siloek. Sebenarnya ada bonus satu bungkus rokok Gudang Garam untuk tidap tiketnya. Namun oleh Siloek rokok itu dikasihkan ke penjual tiket. Siloek bilang mau berangkat sendiri dari Umbulharjo. Saya dan Hari berangkat goncengan dari Jagalan. Lepas maghrib saya dan Hari berangkat. Ternyata Bimo dan Tutik juga sudah dapat tiket dan mau nonton juga. Bimo adalah kakak Hari yang kuliah di Kedokteran Umum UGM dan sudah lulus sepa milsuk AD berpangkat letda. Sedangkan Tutik kakak perempuannya kuliah di Kehutanan UGM. Dua-duanya merupakan alumni SMA5 Kotagede kebanggaan kami bersama.
Sampai di stadion Kridosono, motor kami titipkan di tempat parkir. Meski berangkat bareng, namun saya dan Bimo terpisah. Saya tidak tahu mengapa terpisah. Yang jelas kami tidak bareng sampai di Kridosono. Begitu menitipkan motor, saya dan Hari menuju ke stadion. Ternyata di luar stadion sudah banyak orang yang antri untuk masuk stadion. Seluruh calon penonton itu berjajar satu-satu menuju pintu masuk. Sangking panjangnya mereka hampir mengitari setengah stadion. Saya dan Hari ikut antri di barisan belakang. Untungnya antrian orang yang mengular itu berjalan tertib. Tidak ada yang saling mendahului. Saat saya ikut antri itu, band pembuka sudah tampil. Power Metal dari luar terdengar dengan jelas sedang menyanyikan Future World-nya Helloween. Mereka terus menyanyi, kami masih terus antri. Karena antrian sangat panjang sampai jatah waktu untuk Power Metal habis. Kami yang di luar sudah mendengar Mel Shandy menyanyi. Kami belum setia berdiri antri. Beberapa lagu hit dia di album Bianglala sudah dinyanyikan. Ternyata antrian begitu panjangnya. Mel Shandy usai tampil, saya dan Hari baru mendekati pintu masuk. Saya dan Hari dapat masuk stadion berbarengan dengan tampilnya El Pamas.
Kami berusaha mendapatkan tempat duduk yang strategis dari padatnya orang di dalam stadion. Kerumunan penonton di depan panggung sudah sangat menjamur. Untuk ke depan sudah tidak mungkin. Mereka sudah jingkrak-jingkrak sejak Power Metal muncul. Saya dan Hari dapat tempat duduk lesehan di sisi timur stadion, menghadap panggung meski agak jauh. Untung panggung dibuat lumayan tinggi, sehingga aksi para personel grup musik yang tampil dapat terlihat jelas. Saya betul-betul terpesona oleh penampilan El Pamas. Meskipun mereka mengusung lagu manca, namun mereka tampil tidak sembarangan. Lagu yang dibawakan juga bukan lagu yang mudah. Mereka mengusung sebagian dari album The Wall-nya Pink Floyd. Saat Baruna yang nampak seperti bule itu berteriak “The Wall Pink Floyd!!” , semua penonton terdiam. Lampu di panggung padam. Hanya satu sorot lampu dari luar panggung yang mengenai sosok vokalis berambut gondrong itu. Baruna mengangkat dua tangannya. Penonton spontan menyalakan api dari korek yang dibawanya. Suasana tampak ngelangut saat ada suara bayi menangis mengawali lagu The Thin Ice. Baruna menyanyi lagu itu dengan apik. Saat interlude uuh baby…,semua penonton turut ikut koor. The Thin Ice selesai, masuk Another Brick in The Wall part 1. Saya merinding saat itu. Instrumen di akhir lagu itu benar-benar bikin hanyut, ngelangut. Sampai kemudian muncul sound gemuruh suara helikopter menandai masuk ke lagu The Happiest Days Of Our Lives. Lagu rancak itu membangkitkan dari rasa nglangut yang sudah terbangun dari awal. Hingga kemudian masuk lagu puncak yang menjadi sangat klasik Another Brick In The Wall part 2. Koor anak-anak yang ada di rekaman aslinya itu, di stadion Kridosono diganti oleh koor penonton. SajianThe Wall oleh El Pamas benar-benar membuat saya jatuh cinta dengan Pink Floyd. Terimakasih kepada Totok Tewel dan kawan-kawan yang membawa saya untuk menyenangi musik yang lebih rumit, bukan musik yang biasa-biasa saja.
Sebenarnya saya sudah cukup puas dengan penampilan El Pamas. Namun ternyata El Pamas bukan penyaji utama. Puncak konser malam itu adalah Godbless dengan formasi barunya. Tahun ’89 Ahmad Albar masih sangat gagah dengan kribonya. Iyek didukung oleh Jockey Suryoprayoga, Doni Fatah, Tedi Sujaya dan gitaris baru Eet Syahrani. Melihat track recordnya, kualitas tampilan mereka sudah tidak perlu diragukan lagi. Mereka membawakan hampir semua lagu di album Raksasa dan Semut Hitam. Semua lagu yang dibawakan selalu diikuti oleh penonton. Ahmad Albar begitu mampu mengusai penonton. Meskipun ada kerumunan massa begitu banyak namun tidak terjadi kerusuhan. Saya dan Hari tidak beranjak dari tempat duduk sejak semula kami duduk. Ada keinginan untuk maju ke depan untuk ikut jingkrak-jingkrak. Namun kembali saya masih punya teori, bahwa yang namanya kerumunan massa itu mudah tersulut. Sehingga lebih aman memang menjauh. Tujuannya itu untuk menikmati penampilan, bukan jingkrak-jingkrak sendiri, sehingga malah tidak melihat yang sedang beraksi di panggung.
Setelah beberapa lagu dinyanyikan, Iyek kemudian mempersilakan personel Godbless tampil solo. Yang pertama muncul adalah Doni Fatah dengan bas gitarnya. Kemudian disusul solo drum oleh Teddy Sujaya. Kemudian debutan Eet Syahrani selaku gitaris baru Godbless unjuk gigi. Saat dia unjuk kebolehan menyayat gitar, saya dengar celotehan orang-orang di sekitar saya yang mengomentari aksi Eet Syahrani. Katanya jauh dari Ian Antono. Saya sih diam saja. Tidak bisa membandingkan antara Eet dan Ian. Ilmu saya tidak sampai ke situ. Saya hanya mendengar Eet meraung-raungkan gitarnya. Kalau saya baca di majalah mirip dengan aksi Edward Van Hallen. Aksi solo terakhir Jockey dengan keyboardnya. Kali ini dia betul-betul menampilkan diri sebagai musisi yang luar biasa. Beberapa instrumental lagu klasik dia bawakan. Yang sangat special saat dia mengarransemen lagu Padamu Negrinya Kusbini, benar-benar membangkitkan semangat patriotisme yang mendalam. Selesai arransemen yang apik itu, Iyek muncul lagi dengan lagu Semut Hitam. Beberapa lagu selanjutnya masih dinyanyikan oleh Iyek dengan kekuatan yang penuh. Hingga memasuki lagu akhir, Iyek menyanyikan lagu Raksasa yang menjadi brand konser tersebut, sekaligus judul album terbarunya. Ketika lagu hampir mendekati usai, tiba-tiba di panggung bagian depan terjadi hujan kembang api. Aksi penutup itu benar-benar sangat memukau dan mengesankan. Saya sangat puas dengan aksi yang ditampilkan oleh Godbless. Tidak rugi saya harus antri satu jam lebih untuk melihat langsung penampilan Godbless dan El Pamas yang mengusung The Wall itu. Jam 10 malam konser usai, tanpa ada kerusuhan sedikitpun. Saya sukses nonton konser tanpa satu gangguan yang berarti kecuali panjangnya antri untuk masuk stadion.

Nonton Konser III (Rock Setengah Hari)

Budi Suryanto adalah salah satu punggawa Cabioma (Cah Biologi SMA5) yang keranjinga musik rock. Meskipun rumahnya di Siluk, lereng perbukitan Panggang, yang masih sekitar 10 Km sebelah selatan Imogiri tempat makam raja-raja Jogja dan Solo, namun untuk musik rock dia tak pernah ketinggalan. Di rumahnya banyak ditempeli poster musisi rock tenar saat itu. Poster ukuran standar Gun&Roses, Def Leppard, Skid Row, Van Hallen dan sebagainya di dindingnya. Karena rumahnya di Siluk dan dia adalah satu-satunya anak Siluk, maka kami memanggilnya dengan Siloek. Ekspresi kecintaan pada musik rock itu secara formal juga ditunjukkan di sekolah. Saat harus tampil ke depan untuk menyanyi, dia pasti menyanyikan lagu rock. Yang saya ingat dia pasti menyanyikan lagunya Nicky Astria, lady rocker nomer satu Indonesia.
Pada hari Sabtu dia mengajak saya nonton konser musik rock di Mandala Krida. Dua tiket sudah dia pegang dan ditunjukkan kepada saya. Di tiket dicantumkan konser dimulai jam 2 siang. Dia bilang akan menghampiri ke rumah Kepuh. Saya membayangkan, kalau harus pulang dulu ke Siluk, apa tidak kecapaian dia. Ternyata dia tidak pulang ke rumahnya. Siloek pulang ke rumah salah satu saudaranya di Umbulharjo. Hari sabtu seperti biasa jam 12.45 sekolah bubar. Saya tidak naik motor, namun ngontel sepeda pulang ke rumah. Waktu masih kelas II, saya belum naik motor, masih mengandalkan sepeda balap lungsuran dari mbak Jazim. Baru kelas III saya naik motor Honda Supercup 80, gantian dengan bapak. Kalau saya yang bawa, bapak saya anter ke kantor dulu, dan sorenya saya jemput. Kadang bapak tidak saya anter sampai kantor, namun hanya dari depan Tom Silver dekat sekolah, kemudian bapak naik bus kota.
Jam setengah dua saya sampai rumah. Setelah bersih-bersih dan makan, jam dua tet, Siloek sudah sampai di rumah saya. Waktu itu udara masih terasa panas. Hanya dengan kaos dan celana jeans, saya gonceng Siloek di atas motor Suzuki RC100 andalannya. Mandala Krida tidak begitu jauh dari rumah. Sekitar 15 menit sudah sampai area parkir stadion bola andalan Jogjakarta itu.
Meskipun di tiket konser dimulai jam 2 siang, ternyata sudah mendekati jam setengah tiga pintu masuk belum dibuka. Saya dan Siloek menunggu di pelataran stadion. Waktu itu udara terasa panas. Sambil menunggu saya dan Siloek jajan es dan beberapa cemilan dari warung yang ada di sekitar stadion. Baru sekitar jam 4 sore pintu dibuka. Saya dan Siloek masuk stadion dan mencari tempat duduk di tribun atas. Panggung nampak jelas dari tempat kami duduk, meskipun agak jauh. Panggung berjarak sekitar 50 meter dari saya dan Siloek duduk. Di panggung masih nampak aktifitas cek sound. Waktu itu nampak Arthur Kaunang sibuk melakukan cek sound bas gitarnya. Setelah dia turun, sekitar jam setengah lima sore, acara musik yang rencananya dimulai jam 2 siang itu baru dimulai.
Banyak kelompok musik yang tampil mengusung lagu-lagu rock manca di panggung itu. Setiap kelompok tampil sekitar 1 jam. Ada 6 hingga 8 lagu dimainkan oleh setiap penampil. Saya tidak ingat nama-nama grup musik sangar itu. Yang tersisa di memori saya adalah kelompok yang bernama Sharkleer, Java Box dan SKE. Nama-nama yang hanya saya dengar di panggung itu, setelahnya saya tidak pernah mendengarnya lagi. Lagu-lagu yang dinyanyikan umumnya milik Deep Purple, Led Zeppelin, Van Hallen, Yes dan yang lain. Satu dua lagu yang dinyanyikan masih saya ingat. Dream milik Van Hallen, highway starnya Deep Purple dan changes andalan Yes. Ada lagu yang dimainkan oleh dua grup berbeda di sesi yang berbeda. Seingat saya highway star lebih dari sekali dimainkan. Setiap ganti lagu vokalis selalu nenggak botol vodka. Hampir setiap grup yang tampil, tingkah vokalisnya sama. Teriak-teriak, jingkrak-jingkrak, lari-lari dan nenggak vodka.
Penonton yang berdiri di depan panggung juga nampak ikut jingkrak-jingkrak. Siloek yang duduk di tribun mengajak saya turun ikut bergabung dengan penonton depan panggung. Saya tidak mau. Ngeri juga melihat mereka jondhal-jondhil tidak karuan seperti itu. Dalam kondisi begitu saya yakin mereka tidak terkontrol. Melihat penyanyi nya menyanyi sambil mendem, saya yakin penonton juga melihatnya sambil mendem. Orang mendem berkerumunan bersama dalam suasana riuh, rawan rusuh. Saya lebih baik menghindari potensi itu. Siloek tidak jadi turun bergabubng dengan orang-orang mendem itu begitu saya jelaskan argumentasinya. Jadi saya dan Siloek cukup menggerakkan kaki dan tangan sambil tetap duduk di tribun. Saat itu sudah mendekati jam 11 malam. Hawa dingin sudah mulai terasa sejak jam sepuluh. Celakanya kami berdua sama sekali tidak membawa bekal cemilan. Kami sejak jam setengah lima, murni hanya menikmati sajian musik tanpa sajian yang lain. Penyakit kedinginan mulai menyerang saya. Saya yang hanya memakai kaos jelas terkena dampak langsung dari hawa dingin itu. Siloek yang memakai jaket jeans agak terbantu. Namun dia bilang masih merasakan dingin.
Sebagai penampil terakhir SAS kelompok rock veteran seangkatan Godbless muncul di panggung. Grup yang digawangi Sunata Tanjung pada gitar, Arthur Kaunang pada bas dan vokal, serta Syekh Abidin yang menggebuk drum itu tampil sekitar satu jam hingga pas jam 12 tengah malam. SAS membawakan lagu-lagunya sendiri, bukan lagu rock manca yang sudah digelontorkan oleh musisi sebelumnya dari sejak setengah hari tadi. Karena saya tidak begitu familiar dengan lagu-lagu SAS, maka saat Arthur Kaunang menyanyi saya tidak begitu ngeh. Saya hanya merasakan bedanya penampilan SAS dengan grup sebelumnya. SAS tidak banyak tingkah. Tidak lari ke sana ke mari. Mereka sudah nampak dewasa banget. Bermain lebih mengutamakan skill bermusik dari pada tingkahnya. Arthur Kaunang meskipun wajahnya sangar, namun suaranya empuk. Dia juga tidak nenggak vodka seperti musisi sebelumnya setiap selesai satu lagu. Saya hanya ingat satu lagu yang diucapkan Arthur Kaunang sebelum dinyanyikan, kalau tidak salah body rock. Tetapi lagu itu saya belum pernah mendengarnya. Penampilan mereka meskipun meriah namun tidak mampu mengusir rasa dingin yang menyergap tubuh saya. Jam 12 tepat konser ditutup. Lampu stadion dinyalakan. Seluruh stadion terasa terang benderang, meskipun tersaput kabut.
Saya dan Siloek turun dari tribun. Menunggu beberapa saat untuk menghindari kerumunan penonton yang mau keluar. Setelah keluar, saya dan Siloek menuju tempat parkir motor. Saya terus bersedakep untuk menahan hawa dingin. Gigi saya sudah bergerutuk sangking dinginnya. Siloek mengambil mantel dari bawah jok. Waktu itu sama sekali tidak hujan. Saya tidak paham maksudnya. Begitu dibuka, kemudian dia pakai mantel itu. Dia bilang “Untuk menghadang angin malam”. Saya baru paham. Saya pikir dengan memakai mantel bisa mengurangi dingin. Namun ternyata sama saja. Meski saya sudah di dalam mantel, hawa dingin itu masih menyertai. Di belakan Siloek, saya terus bekah-bekuh menahan dingin. Siloek terus mengarahkan motornya ke selatan. Saya membayangkan jika Siloek harus kembali pulang ke Siluk tengah malam seperti ini apa ya berani. Ternyata dia mengajak saya pulang ke rumah saudaranya di Umbulharjo. Saya dan Siloek tidur di rumah itu. Baru sekitar jam 7 pagi setelah mendapatkan sarapan kami berdua pulang. Siloek menurunkan saya di rumah Kepuh. Dia tidak mampir, langsung pulang ke Siluk sejauh sekitar 30km dari rumah saya.

Nonton Konser II (Dingin Setengah Gila)

Awaludin Suhono anak Ngipik dekat sekolah SMP, selepas Isya’ tiba-tiba tanpa memberi kabar apapun datang ke rumah saya di Kepuh. Tidak perlu basa-basi dia langsung ngajak pergi. Saat saya tanya “Mau ke mana? Dijawab dengan cepat “Kaliurang!”. Saya heran, malam-malam ngajak ke Kaliurang. Saat saya desak ada acara apa di Kaliurang, dia bilang lihat Gombloh. Berbekal uang ala kadarnya dan merangkapi kaus saya denganjaket tipis, saya pamitan ibu dan nggonceng Udin. Dia memakai jaket kulit hitam. Tanpa helm kami berangkat mengendarai Honda Astrea 800 hitam miliknya.
Jalanan menuju Kaliurang setelah lewat selokan Mataram, tidak begitu ramai. Udin memacu motornya dengan lumayan kencang. Saya yang di belakang kadang harus memejamkan mata merem untuk menghindari terjangan angin. Masuk daerah Mbesi hawa dingin sudah mulai masuk kulit. Jaket tipis saya tidak mampu menahannya. Udin karena jaketnya lumayan tebal mungkin belum terasa dingin meskipun dia di depan. Memasuki Pakem, hawa semakin dingin. Sampai di Kaliurang tingkat kedinginan sudah lumayan sampai menembus tulang. Kami menuju ke lokasi konser di area perkemahan. Setelah menitipkan motor di parkiran dadakan, saya dan Udin berjalan mendekat ke panggung. Ternyata sudah banyak orang berkerumun di situ. Udin mengajak untuk mencari tempat lain. Kami naik ke bukit. Lumayan tinggi kami mendaki. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman kami duduk di samping pohon. Dari kami duduk, pojok panggung terlihat jelas, meski terlihat agak jauh.
Jam 8.00 malam acara dimulai. Penyanyi pertama muncul adalah Ebiet G Ade. Dia menyanyi sambil duduk di kursi dengan gitar akustik. Beberapa lagu dia nyanyikan. Saya tidak ingat persis lagunya apa saja. Yang jelas lagu “untuk sebuah nama” dinyanyikan bersama-sama dengan penonton. Ebiet mampu mengajak penonton larut dengan lagu-lagunya. Terus terang saya kurang bisa menikmati konser itu. Saya terganggu oleh hawa dingin yang menusuk. Hawa dingin itu tidak dapat diusir dengan yang hangat-hangat. Posisi saya dan Udin waktu itu lumayan tinggi di lereng bukit. Sehingga tidak mungkin ada asongan yang lewat menawarkan teh panas atau kopi. Jadi saya lebih berkonsentrasi dengan bergerak-gerak sendiri mengusir hawa dingin.
Tak terasa tampilan Ebiet sudah usai. Tampil kemudian Gombloh. Dengan pakaian khas, kaos lengan panjang dibalut rompi, rambut ditutupi topi, dan berkaca mata. Saya tidak bisa memastikan kaca mata itu hitam atau coklat. Gombloh juga menenteng gitar akustik. Saat memulai dialog dengan penonton Gombloh minta maaf karena tidak membawa pengiring, maka dia akan tampil dengan iringan musik minus one. Lagu-lagu Gombloh saya juga tidak begitu banyak paham. Yang sering saya dengar adalah Kebyar-Kebyar. Kaset itulah yang dulu sering saya lihat di rumahnya Agus Kepuh Kidul.
Pada saat saya nonton konser Gombloh itu, eranya bukan lagi era lagu Kebyar-Kebyar. Gombloh sudah bergeser, dari lagu-lagu yang idealis dan berbobot tinggi ke pop yang pro pasar. Gombloh saat itu sudah populer dengan Apel dan Setengah Gila. Album Apel dan Setengah Gila itulah yang kemudian menjadikan Gombloh berkucukupan materi. Saat masih mengandalkan patriotisme dan kecintaan kepada alam, Gombloh kurang mendapatkan penghargaan. Baru setelah Gombloh tiada, muncul Setiawan Djodi yang mengangkat SWAMI tanpa mempedulikan pasar. Dia mampu mendikte pasar untuk mendengarkan lagu-lagu SWAMI yang tidak umum di pasaran pada masa itu. Lagu-lagu bertemakan kritik sosial yang keras dan musik yang berani dapat diterima oleh pendengar musik Indonesia yang cukup lama terlenakan dengan lagu pop cengeng mendayu. Seandainya Setiawan Djodi mau turun tangan sejak awal tahun ’80 mungkin Gombloh tidak harus menjual Apel hingga menjadi Setengah Gila untuk sekedar memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sebagai seniman.
Gombloh dengan iringan musik minus one, menyanyikan lagu-lagu Apel, Setengah Gila dan yang lain. Seingat saya dia tidak menyanyikan lagu-lagu kategori berbobot dan fenomenal semacam Kebyar-Kebyar itu. Mungkin lagu-lagu lawasnya saat itu belum dibuat karaokenya. Penonton begitu antusias menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Gombloh. Dia juga sangat mahir membangun komunikasi dengan penonton. Meskipun berbadan kurus, namun ternyata dia mampu tampil hampir satu jam penuh. Dia berdiri selama menyanyi dan berdialog dengan penonton. Sedangkan saya seperti saat tampilnya Ebiet sebelumnya, masih disibukklan oleh urusan perdinginan. Hawa dingin semakin malam bukan semakin berkurang justru semangkin menggila. Apalagi saat itu kabut sudah mulai turun. Dari saya duduk, saat memandang sejajar di depan saya sudah nampak kabut. Dengan sekuat tenaga saya berusaha mengurangi dingin yang sudah menusuk-nusuk sumsum itu. Bergerak-gerak, menggosok tangan dan membuang napas lewat mulut tidak mampu mengurangi bekunya malam itu. Jam sepuluh Gombloh selesai tampil. Konser juga selesai. Saya senang sekali saat itu. Senang karena konser selesai. Bukan senang karena telah melihat konser Ebiet dan Gombloh. Senang karena segera bisa terlepas dari siksaan hawa dingin. Saya dan Udin menuruni bukit untuk pulang. Untuk sampai rumah saya masih harus menahan hawa dingin lagi sekitar satu jam perjalanan.
Saya dan Udin menuju parkiran untuk mengambil motor. Jok sudah basah oleh embun. Begitu pantat nempel di jok motor, air embun menembus hingga celana dalam. Nyess dingin rasanya. Motor digenjot, langsung tancap gas menuruni jalanan Kaliurang. Saya masih nggonceng di belakang. Di perjalanan saya nempel terus di punggung Udin. Dingin udara ditambah terpaan angin sudah betul-betul menyiksa. Sampai di kampus Bulaksumur, kami berhenti dan mampir warung hik di pinggir jalan. Teh panas dan gorengan cukup mampu mengurangi dingin yang sudah terlanjur masuk sumsum itu. Setelah badan sudah tidak lagi kedinginan, saya ganti yang di depan mengendarai motor hingga Kepuh. Sekitar jam 12 malam sampai rumah. Udin tidak mampir rumah, langsung pamitan pulang. Pengalaman nonton konser Gombloh itu adalah pertama kali dan sekaligus terakhir saya melihatnya secara live. Sebab tidak lama setelah konsernya di Kaliurang itu Gombloh dikabarkan meninggal. Menurut berita yang saya baca karena sakit liver. Melihat tubuhnya yang kurus kering sepertinya Gombloh menyimpan penyakit di dalamnya. Penyakit itulah yang menghantarkan ruhnya menemui Khaliqnya. Meski Gombloh telah mati, namun hingga kini lagunya masih abadi. Setiap Agustus lagu Kebyar-Kebyar hampir setiap hari terdengar. Sedangkan Apel dan Setengah Gila hingga sekarang saya tetap tidak suka mendengarnya.

Selasa, 28 Desember 2010

Nonton Konser I (Beatles)

Beatles merupakan salah satu grup musik yang mampu menyeret saya untuk menggilainya, menjadikan saya keranjingan. Sebenarnya saya tertarik dengan Beatles secara tidak sengaja. Waktu itu saya membaca majalah Vista Musik yang memuat artikel bersambung tentang Beatles. Artikel seri ke dua itu mampu membuat saya langsung tertarik dengan Beatles. Artikel yang ada gambar kartun mereka berempat di dekat buaya itu memuat beberapa album yang sudah dikeluarkan Beatles. Juga memuat pernyataan John Lennon yang mengatakan Beatles lebih terkenal dari Jesus. Saya juga menemukan potongan koran di kebun mbah Adi yang memuat berita tentang John Lennon menjadi hantu pasca kematiannya. Sedangkan yang mampu membuat saya terobsesi dengan mereka adalah saat RRI Jogja mengudarakan lagu Obladi Oblada. Itulah lagu Beatles pertama yang saya dengar.
Wujud kecintaan saya pada Beatles, teraktualisasi pada gaya rambut yang saya buat mirip-mirip poni. Bermodalkan rambut lurus maka gaya poni saya lumayan mirip. Apa jadinya jika rambut saya kribo atau kriwil-kriwil, sangat susah untuk memponikannya. Selain gaya rambut, saya juga mengoleksi banyak poster dari mereka. Poster itu saya tempel di dinding ruang tamu, dinding kamar tidur, bahkan dinding kamar mandi pernah saya tempeli poster Beatles.
Koleksi kaset Beatles saya juga lumayan lengkap. Semua album studio yang pernah dikeluarkan Beatles dari Meet The Beatles hingga Let It Be saya punya. Waktu itu koleksi yang umum berupa pita kaset. Piringan hitam dan CD masih menjadi barang mewah. Satu biji kaset baru C-60,harganya Rp.1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Sedangkan untuk C-90 harganya Rp.2.250 (dua ribu dua ratus lima puluh rupiah). Maksud kode C-60 adalah masa putar kaset itu per sisi selama 30 menit sehingga total 60 menit. Sedangkan C-90 totalnya 90 menit. Hampir sebagian besar kaset saya keluaran dari Aquarius. Produsen rekaman itu biasanya mengeluarkan album seri bagi grup atau penyanyi solo. Di dalam album seri itu, lagu-lagu dalam satu album dari grup atau penyanyi solo dapat secara utuh dinikmati. Cover album biasanya juga sama persis dengan yang yang sebenarnya. Ada beberapa kaset koleksi saya keluaran dari label lain semacam Atlantik, A&M, Hins dan Yess, namun tidak banyak. Semua album Beatles saya keluaran Aquarius, dengan cover kaset sama persis dengan yang saya baca di majalah. Saya membeli kaset Beatles pertama kali di salah satu kios shooping center. Kaset bajakan seharga seribu perak itu saya simpan sampai saya tahu bahwa itu adalah kaset bajakan. Ketika saya mulai membeli kaset dari label Aquarius, kaset bajakan yang pernah saya beli di shooping center itu saya buang semuanya.
Setiap hari di rumah saya tidak pernah lepas dari suara lagu Beatles. Tape di rumah yang besar itu menjadi andalan untuk menyetel kaset-kaset Beatles. Meskipun tidak stereo, namun output yang dihasilkan cukup enak di telinga. Bas dan trebelnya lumayan jelas. Dan yang penting keras, sehingga dapat terdengar dari luar rumah saat saya pagi-pagi harus menyapu halaman yang luasnya 3x lapangan volley itu. Setiap minggu pagi jam 6 sampai 8 di radio Unisi yang waktu itu masih AM ada acara remember The Beatles. Penyiar rutin yang membawakan acara tersebut adalah Aditya atau nama udaranya mas Adit. Saya termasuk yang sering request lagu di acara tersebut. Maka bisa dipastikan setiap minggu pagi, saya tidak bisa diganggu oleh kegiatan yang lain karena konsentrasi dengan acara radio tersebut. Termasuk ketika di kampung ada kegiatan kerja bakti, saya ikut turun kerja bakti saat acara remember The Beatles selesai. Jadi saya datang ke arena kerja bakti, pas waktunya istirahat,saatnya turun minum dan makan snak.
Semua media yang dapat digunakan untuk menyalurkan kebeatlesan saya, selalu saya manfaatkan. Salah satunya adalah pelajaran seni lukis. Saat itu pak Manto guru seni lukis dan sekaligus wali kelas memberikan tugas untuk membuat gambar cover buku. Saya menggambar wajah John Lennon dari samping. Gambar itu saya tiru dari salah satu cover kaset. Gambar wajah dengan kaca mata khas itu saya beri judul Lennon&Me. Sebenarnya judul aslinya Elvis&Me karangannya mantan istri Elvis. Namun karena saya tidak suka Elvis, judul itu saya comot dan Elvis saya ganti dengan Lennon. Kemudian saat ada tugas membuat gambar cerita pendek empat babak. Saya membuat gambar dengan tokoh saya sendiri. Gambar satu adalah saya membeli kaset Beatles. Gambar dua saya membayangkan enaknya jadi Beatles yang terkenal. Gambar tiga saya tidur dan mimpi menjadi Beatles sedang konser ditepuki penonton. Gambar empat saya bangun dan muncul keinginan kuat mewujudkan mimpi dengan belajar dan berlatih keras.
Film tentang Beatles juga sebagian besar pernah saya lihat. Namun untuk bisa nonton film itu saya harus rela tinggal di asrama polisi Patuk. Di rumah Wiwit itu ada video. Berbekal uang dari rumah saya menyewa kaset video Beatles. Film pertama yang saya lihat adalah film hitam putih A Hard Days Night. Kemudian Help dan Let It Be yang konser di atas bangunan itu. Hanya tiga film itu, karena di rental yang ada juga hanya ada tiga judul. Saya belum punya referensi lain di luar tiga film itu. Ternyata belakangan baru saya paham ada film lain yang dibuat oleh mereka Magical Mysteri Tour. Buku-buku tulis saya saat SMP juga saya tempeli dengan potongan-potongan poster mereka. Karena itulah oleh sebagian teman SMP saya dipanggil John. Khususnya Zuni yang selalu memanggil saya John hingga SMA.
Menonton konser Beatles adalah sebuah obsesi yang tak pernah padam. Namun karena mereka sudah bubar sebelum saya lahir, maka hil yang mustahal untuk dapat melihatnya secara live. Maka kelompok Barata yang membawakan lagu-lagu Beatles di panggung menjadi penggantinya. Pengusung lagu Beatles paling laris di Indonesia itu dikomandani oleh Abadi Soesman yang memegang kibor dan kadang gitar. Jelly Tobing menabuh drum dan dua personel lainnya memegang gitar dan bas. Di Jogja juga ada kolompok musik yang khusus membawakan lagu Beatles, namanya agak panjang saya lupa. Ketika ada salah satu EO yang menyelenggarakan konser musik dengan tema Beatles saya semangat untuk menontonnya. Sebagai penyaji utama adalah Barata. Yang lain sebagai pembuka dari lokal Jogja. Sabtu siang sepulang sekolah saya mengendarai motor Yamaha L2 Super yang biasa dipakai harian oleh bapak ke kantor, menuju Kemetiran Kidul, tempat sekretariat panitia. Hari sabtu dan minggu adalah saat libur bagi bapak di kantor inspeksi pajak Jogja. Saya beli dua tiket. Harga tiket Rp.4.000,- per lembar. Seharga dua buah kaset saat itu. Jika menggunakan kurs saat ini sekitar Rp.50.000,- dengan asumsi harga kaset Rp.25.000 per bijinya. Rencana saya mau nonton bareng dengan Usman. Saya dan Usman sudah janjian. Dia akan menghampiri saya dengan Honda astreanya sore ba’da magrib. Manusia punya rencana, namun Tuhan yang menentukan. Sore jam 5 ada kejadian tragis yang membuyarkan rencana dan angan-angan saya untuk nonton konser grup musik mirip-mirip Beatles.
Ibuku ketika hendak memindah wajan penggoreng, tiba-tiba secara tak terduga wajan berisi minyak goreng yang masih super panas itu tumpah. Tumpahnya tidak di tempat yang tepat. Minyak goreng panas yang super kurang ajar itu menimpa kaki ibuku yang yang tercinta. Kontan ibu meraung kesakitan saking panasnya. Kami sekeluarga kaget dan panik atas tragedi yang terjadi menjelang maghrib itu. Keributan di rumah mengundang saudara dan tetangga mendatangi rumah saya. Dalam waktu sekejap rumah penuh dengan orang. Banyak saran yang diberikan untuk meredakan sakit. Ada yang bilang dengan odol. Saat itu memang kaki ibu sudah dipenuhi warna putih odol. Ada yang menyarankan diolesi dengan oli. Maka dengan ember diisi oli kaki ibu direndam di dalam ember isi oli itu. Butuh waktu lebih dari satu jam untuk meredakan rasa sakit akibat terjangan minyak panas itu. Waktu adzan maghrib orang yang berkerumun sudah mulai bekurang, pulang. Hanya ada keluarga dan saudara yang masih bertahan di teras, bagian depan rumah. Ibu duduk di kursi panjang dengan kaki masih terendam di ember oli. Saya lihat ibu masih menahan rasa sakit. Itu nampak dari ekspresi wajah dan juga gerakan tangannya. Di saat kondisi seperti itulah Usman datang. Melihat kerumunan keluarga di rumah, Usman nampak kaget. Apalagi saat melihat ibu duduk di kursi panjang dengan wajah menahan sakit dan kaki direndam di ember. Saya jelaskan kalau ibu baru saja kesiram minyak goreng. Saya kemudian masuk rumah dan mengambil dua tiket konser Beatles mirip-mirip itu. Tiket saya serahkan ke Usman. Saya minta dia mengajak teman lain untuk menggantikan saya. Sayang kalau tidak dilihat. Setelah basa-basi sebentar dia pamit dan pulang. Dia harus kembali ke Wonokromo dulu untuk mengajak teman yang lain. Saya mengiringnya hingga ke depan rumah. Kepergian Usman juga menghapus angan-angan saya melihat konser Beatles. Meskipun saya keranjingan Beatles, saya tidak sampai hati melihat ibu begitu. Ibu yang melahirkan saya sedang menderita, mosok saya tinggal untuk nonton konser sambil jingkrak-jingkrak dan berteriak yeah..yeah..alangkah durhakanya saya. Ternyata dua tahun setelah itu saya berkesempatan nonton Barata konser di Mandala Krida. Sayangnya saat itu saya sudah tidak lagi jatuh cinta kepada Beatles. Saya masih suka, namun saat itu hati saya sudah kecanthol pada grup musik yang lain. Grup musik itu tak lain adalah Pink Floyd.

Minggu, 26 Desember 2010

Parangtritis II (Nyaris Tenggelam)

Kumpulan pemuda Kepuh Lor menyelenggarakan karya wisata ke pantai Parangtritis dengan mengendarai sepeda ontel bersama. Sekitar 60 orang ikut piknik yang harus bemodalkan okol kuat itu. Bagaimana tidak, untuk sampai ke pantai Parangtritis kami harus mengenjot sepeda ontel sejauh 40km, di jalan perbukitan. Jam depalan pagi, kami sudah berangkat konvoi bersepeda. Butuh waktu tidak kurang tiga jam untuk sampai tempat tujuan. Namun karena dilakukan secara berjama’ah, perjuangan berat itu terasa tidak begitu berat. Rasanya senang saja.
Saya tidak ngontel sendiri, namun diboncengkan oleh Karno. Karno adalah anak dari mbah Yoso orang yang biasa diandalkan oleh keluarga saya dalam menjaga kebersihan lingkungan rumah. Umur Karno dengan saya terpaut jauh, lebih dari 10 tahun. Adiknya Karno, namanya Nurdi adalah teman saya bermain. Nurdi dengan saya ada selisih lebih dari 5 tahun. Sepeda yang dipakai adalah sepeda jengki phoenik milik saya. Jadi perjalanan selama hampir tiga jam itu saya tidak begitu capai. Rasanya cuma pantat jadi bebal. Rasa itu akibat kelamaan duduk di jok belakang yang tanpa ganjel sedikitpun. Karno yang ngontel jengki itu juga tidak kelihatan capai. Dia malah kadang ngepot sana sini menggoda peserta lain. Yang digoda tentunya yang cewek. Tetapi harus saya akui cewek-cewek di Kepuh Lor waktu itu menurut pandangan saya tidak ada yang bening.
Memasuki perbukitan Siluk Panggang, para peserta nampak kesulitan mengendalikan sepeda. Dapat dimaklumi, karena memang medan turun naik dengan kondisi jalan beraspal yang juga tidak mulus, penuh lobang. Namun medan tersebut bagi Karno bukanlah sesuatu yang berat. Dia dengan gayanya masih melaju dengan stabil dan masih juga menggoda peserta lain dengan kepotannya. Sekitar jam 11 kami sudah memasuki area pantai parangtritis. Semua peserta mampu finish secara aman, tidak ada yang mengalami hambatan.
Panitia mengatur posisi semua sepeda peserta. Kami istirahat untuk makan. Panitia menyediakan nasi bungkus. Saya lupa siapa yang mengkordinir. Selesai makan acara bebas. Semua menikmati pantai secara bergerombol. Namun ada juga yang berduaan. Karena saya masih kecil, baru kelas 5 SD, maka saya sendirian bermain. Saya sebenarnya sering diajak bersama bermain oleh cewek-cewek yang lebih tua dari saya. Tetapi ya tadi karena tidak ada yang cukup membuat saya senang, maka saya bermain sendiri. Namun jika butuh sesuatu, saya tinggal minta ke mbak-mbake itu pasti langsung dikasih. Ada yang selalu mengawasi saya, lek Jilah kalau tidak salah sebut nama. Jika ada apa-apa dia duluan yang mendekati dan memenuhi apa yang butuhkan. Dia selama ini sering membantu di rumah mbah Kaji Wir.
Melihat ombak dan juga pengunjung mandi, saya juga ingin mandi. Saya sebenarnya pernah mandi di laut Parangtritis waktu dulu bersama Wiwit dan Hari. Waktu itu kami piknik bersama sekeluarga dengan mobilnya pak Parjo. Memakai kaos model monyet warna merah dan celana pendek hitam, saya mendekati pantai. Di dalam laut saya melihat ada beberapa yang sudah mandi. Di bibir pantai banyak yang hanya berani menyentuh air saat ombak datang, namun tidak berani mandi. Saya masuk ke laut dengan cara berjalan perlahan ke arah yang berlawanan dengan datangnya ombak. Saat ada ombak datang saya merunduk. Begitu ombak sudah melewati tubuh saya, saya muncul lagi. Saya bertahan berenang di laut yang berjarak sekitar 10-15 dari bibir pantai. Di posisi itu masih banyak orang lain berenang. Sebenarnya bukan berenang, hanya bertahan untuk tidak tengelam. Jadi kaki dikibaskan untuk menahan tubuh. Tangan juga digerakkan. Kalau bergerak arahnya bukan menuju ke tengah, namun ke kiri dan kanan.
Saya tergerak untuk mencoba ke laut yang lebih jauh dan dalam, menuju ke selatan. Menggunakan teknik yang sama, merunduk saat ombak datang, saya secara perlahan mulai meninggalkan bibir pantai. Karena fokus menghadang ombak yang datang, saya tidak memperhatikan jarak saya dengan pantai. Begitu ada ombak saya menyelam beberapa saat, kemudian muncul kembali. Saat muncul posisi saya secara otomatis bergeser ke arah selatan, menjauh dari pantai. Hal itu saya lakukan dengan sangat tenang dan senang. Ada rasa bangga saat tubuh dilalui ombak. Namun begitu saya membalikkan badan ke arah utara, ke arah pantai, saya sangat terkejut. Ternyata saya sudah sangat jauh meninggalkan pantai. Di kiri kanan saya yang tadinya banyak orang berenang, sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka berada jauh di utara yang dekat pantai. Sementara orang-orang di pantai dari posisi saya memandang sudah nampak seperti orang-orangan bertubuh mungil. Artinya saya sudah benar-benar meninggalkan pantai jauh sekali. Pada saat itu saya merasa sangat kecil. Di sekeliling saya hanya terhampar biru air. Melihat ke timur hanya nampak biru air laut, ke barat sama saja. Memandang ke selatan justru yang nampak gulungan ombak yang akan menerjang. Saya panik saat itu. Muncul kekhawatiran tenggelam. Ditambah saya menggunakan kaos warna merah. Katanya ada pantangan memakai pakaian dengan warna tertentu. Yang saya ingat warna merah adalah termasuk pantangan. Dianggapnya menyaingi Ratu Kidul, sehingga bisa diambil olehnya. Kepanikan saya semakin menjadi mengingat itu. Kaki saya juga sudah mulai terasa tidak enak, capai bergerak terus menahan berat tubuh biar tidak tenggelam.
Saat kepanikan mencapai puncak, tiba-tiba ombak besar datang. Reflek saya adalah menyelam menghindari ombak. Begitu ombak lewat saya muncul. Saya lupa, jika saya menyelam saat ombak datang berarti saya justru semakin menjauh dari pantai. Menyadari itu saya tambah panik. Saya melihat orang-orang di pantai itu sudah sangat jauh sekali rasanya. Pingin nangis rasanya. Membayangkan betapa tak enaknya jika harus tenggelam. Rasa takut sudah menyergap pada diri saya. Saat sedang kalut tiba-tiba ombak besar datang lagi. Tidak mengulangi kesalahan sebelumnya, saya melompat menyambut ombak itu dengan tubuh saya. Byaar..ombak menyapu tubuh saya. Saat diterjang ombak itu saya berusaha untuk tetap dalam posisi yang terkontrol. Artinya saya berusaha untuk tidak tenggelam. Ternyata ombak itu tidak sampai di pantai. Namun saya sudah senang karena sudah menjauh dari tengah laut. Posisi saya sudah di tempat awal saya berenang. Banyak yang lain berenang di sekitar itu. Sambil menata nafas dan juga hati, saya tetap berenang menjaga tubuh agar tidak tenggelam. Begitu muncul ombak lagi saya langsung sambut ombak itu dengan tubuh saya. Tak berapa lama saya sudah terdampar di bibir pantai. Saya berjalan keluar dari air laut menuju pantai. Kaki rasanya kesemutan. Mungkin wajah saya nampak pucat saat itu. Namun karena tertutup oleh warna kulit yang beku kedinginan jadi tidak begitu nampak. Yang pasti hati saya sudah kecut sekali. Lepas dari laut saya duduk di bawah gubuk yang banyak berdiri di sepanjang pantai. Saya oleh Lek Jilah diberi roti dan the hangat dalam plastik. Rasanya nikmat sekali saat itu. Jika saya terseret ombak laut selatan, pasti saat itu saya sudah tidak bisa lagi makan roti dan minum the lagi.
Peristiwa itu tidak saya ceritakan ke yang lain. Pakaian yang melekat di tubuh basah semua oleh air laut asin. Rasanya lengket di badan. Saya mandi ke pancuran air dari rumah warga yang tidak asin. Saya samarkan kejadian tragis tadi dengan bermain-main di pegunungan pasir, sambil mengeringkan pakaian yang basah. Tak berapa lama kaos dan celana saya sudah kering. Sengatan matahari di pantai sangat cepat menguapkan air. Jam 3 sore ba’da ashar, kami meninggalkan pantai. Dalam perjalanan saya baru menceritakan peristiwa di laut tadi kepada Karno. Mendengar saya hampir tenggelam di laut, Karno kaget. Dia tidak tahu kalau saya mandi di laut sebegitu jauhnya meninggalkan pantai. Saya pesan ke dia supaya tidak menceritakan hal itu kepada ibu atau bapak. Saya saat itu bilang kapok mandi di laut lagi. Dan memang setelah itu jika saya ke Parangtritis, saya tidak berani lagi mandi di laut. Apalagi sudah ada papan pengumuman yang dipasang di pantai dengan tulisan besar-besar warna merah : DILARANG MANDI DI LAUT. BERBAHAYA!!!.

Sabtu, 25 Desember 2010

Sengatan Misterius

Kebiasaan mencoba sesuatu yang baru bagi kami sepertinya memberikan tantangan yang selalu harus dilakukan. Saya mendengar cerita bahwa di Segoroyoso Pleret ada sebuah gua, yang di dalamnya terdapat sumber air. Terdorong oleh rasa penasaran, saya dan Agus ingin melihat dan membuktikan. Kali ini tidak mengandalkan capunk merah Agus. Kami hanya bersepeda sejenis BMX. Hanya sejenis saja, karena memang bukan sepeda BMX, hanya sepeda mini yang sudah dicopot sana-sini hingga minimalis sekali. Berangkat dari Kepuh pagi hari sekitar jam sembilan. Melewati Pleret terus ke selatan masuk Kedaton, ke timur hingga melewati jembatan yang melintasi sungai Opak. Sungai ini konon merupakan semacam jalan tol bagi para tentara penguasa laut selatan ketika defile menuju gunung Merapi. Bagi Jogjakarta, gunung Merapi, Laut Kidul dan sungai Opak adalah tiga unsur yang sangat penting.
Dari atas jembatan, nampak aktifitas penduduk sekitar yang sedang mencuci dan juga menjemur kulit. Kulit dari binatang berkaki empat seperti kuda, sapi, kerbau dan juga kambing yang sudah dipotong kecil-kecil. Kami menyebutnya dengan krecek. Krecek baisanya dimasak dicampur dengan potongan daging atau daging giling yang dibentuk bulat-bulat kecil. Masakan yang disebut dengan sambel krecek itu merupakan jenis masakan yang saya sukai. Tetapi biasanya hanya dimasak ketika sedang memiliki hajad baik pernikahan atau hajadan lain. Setelah melewati sungai, kami menyusuri jalan di sisi perbukitan. Hanya beberapa menit kami berhenti dan meletakkan sepeda di kebun pinggir jalan. Saya dan Agus menyeberang jalan dan berjalan naik mengikuti jalan setapak. Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di lokasi yang dimaksud.
Gua yang dikabarkan orang itu memang benar adanya. Di depan kami berdua ada sebuah lobang besar menyobek dinding bukit. Lobang gua itu dari tempat kami berdiri, nampak seperti setengah lingkaran, semacam penggaris busur yang dipakai untuk menentukan besarnya sudut. Cukup besar. Saya mendongak ke atas tidak kurang dari sepuluh meter tingginya. Saya berdua mendekat. Kemudian mencoba melihat ke bawah. Di bawah dalam kedalaman yang tidak dapat saya terka, nampak samara-samar kilauan air. Dari sisi dinding tebing, ada semacam tangga yang memang diperuntukkan untuk turun. Agus mengajak saya turun. Namun entah mengapa saat itu nyali saya benar-benar raib. Ketika tadi saya melihat ke bawah itu, saya melihat asap putih yang tiba-tiba muncul dari bawah. Saya sayup-sayup juga mendengar suara-suara yang tidak jelas. Entah Agus melihat itu atau tidak. Yang jelas penampakan dan suara itu yang mencegah saya untuk turun. Tanpa saya, Agus turun sendirian. Saya melihat dari atas Agus menuruni tangga itu satu per satu. Sekitar sepuluh menit kemudian dia berteriak : “Wan, mudhun mrene adus”. Saya menjawab berteriak : “Emooh...”. Saya di atas sendirian menunggu Agus yang masih di bawah gua. Ada perasaan yang tidak enak saat saya memandang gua itu dari tempat saya duduk. Mungkin karena sendirian di bawah, Agus segera naik. Apakah dia juga takut saat di bawah, saya tidak mengetahuinya. Sampai di atas saya lihat Agus ngos-ngosan. Setelah istirahat sebentar kami berdua turun. Dari omongan Agus, di bawah gua memang ada sumber air semacam kolam yang kemudian dibuat sekat-sekat untuk mandi dan keperluan lain. Di bawah katanya gelap. Saat melihat ke atas yang nampak hanya lobang yang mengalirkan sinar matahari. Namun sinar itu tidak sampai bawah sehingga di dasar gua tetap gelap.
Sampai di sungai, saya mengajak Agus untuk mandi. Saat itu sungai Opak sedang tidak meluap sehingga air nampak jernih. Tidak tahu mengapa jika melihat sungai saya maunya terjun dan mandi di sungai itu. Padahal jika dilihat dari topografinya, sungai Opak memiliki kedalaman yang dalam. Ada palung sungai yang mengalirkan airnya dalam kondisi biasa. Palung itu memiliki kedalaman sekitar lima meter. Jadi dalam kondisi normal, jika ingin mandi kita harus turun dulu di bibir palung, kemudian baru meloncat ke air. Namun jika air meluap, maka palung itu akan terendam semua. Kiri kanan palung selebar lima meter juga terendam. Jadi sungai yang mengalirkan air dari gunung Merapi itu lebarnya lebih dari sepuluh meter. Saya pernah mandi di sungai Opak dalam kondisi sungai yang seperti itu. Maka melihat sungai yang mengalir biasa dan jernih itu, saya tergerak untuk mandi di dalamnya. Setelah meletakkan sepeda dan melepas kaos, dengan masih bercelana pendek saya dan Agus langsung masuk ke sungai. Berendam di air yang mengalir cukup deras. Di pinggir sungai saya melihat ada batang pisang yang tersangkut. Lebih dari tiga batang yang hanya muter-muter di pinggir sungai. Saya dan Agus kemudian mengambilnya dan menjadikannya sebagai pelampung. Dua tangan memegang ujung batang depan, badan di atas batang, kaki di belakang bergerak mendayung menjadikan kami leluasa mengarungi arus sungai. Ternyata batang pohon pisang itu selain membuat saya senang, juga menjadikan sumber malapetaka.
Sedang asyik mendayung pelampung, tiba-tiba tangan kiri saya terasa sangat sakit. Sakit oleh suatu sengatan yang tidak saya ketahui oleh binatang jenis apa. Yang jelas tulunjuk kiri saya sakitnya luar biasa. Batang pisang saya lepaskan, kemudian dengan sekuat tenaga saya berenang menepi. Begitu sampai di tepi saya berteriak ke Agus : “Gus aku dientup kalajengking!” Hanya asal berteriak menyebut kalajengking. Soalnya saya tidak tahu binatang apa yang kurang ajar itu. Saya pegangi tangan kiri saya yang terasa kaku. Agus setelah sampai di dekat saya mengambil sapu tangan dan mengikat lengan kiri saya dengan sapu tangan itu. Diikat begitu tangan saya terasa semakin kaku. Tangan kiri saya tidak bisa saya luruskan. Sakit itu semakin menjadi. Senut-senut tidak karuan. Rasanya seperti saat digigit kupu beracun di sore hari itu. Dengan tangan dibebat, saya mengambil sepeda dan mengendarainya dengan satu tangan kanan. Tangan kiri tidak mampu menjangkau stang karena tidak dapat diluruskan. Sambil menahan sakit saya terus menggenjot sepeda. Namun ternyata setelah sakitnya mencapai puncak, kemudian mulai reda. Ketika sampai di Jambidan, dusun sebelah timur Kepuh rasa sakit itu sudah sangat berkurang. Tangan juga sudah mulai tidak begitu kaku lagi. Sampai rumah meski masih sedikit ada rasa nyeri, namun sudah tidak saya rasakan. Hingga sekarang saya masih belum mengetahui jenis binatang apa yang menyengat saya. Namun demi sebuah gengsi dan biar terlihat gagah, saya mengklaimnya sebagai sengatan kalajengking. Padahal yang sebenarnya sengatan itu masih misterius hingga sekarang.

Parangtritis I (Nyaris Menangis)

Saya lupa persisnya, namun yang pasti hari Sabtu malam Minggu. Saya betiga dengan Agus dan Hartono berangkat ke pantai Parangtritis. Rencana awal mau menginap di pantai dan menunggu terbitnya matahari. Kami goncengan bertiga dengan satu motor Honda GL warna hitam. GL itu biasa dipakai pak Darmo untuk berangkat ke kantor kecamatan tempatnya mengabdi sebagai PNS selama ini. Setiap melakukan perjalanan seperti itu, memang tidak ada persiapan khusus. Yang penting jalan, bawa bekal uang secukupnya. Urusan di jalan dipikir sambil jalan. Bertiga dengan persiapan seperti seperi itu, kami berangkat ke Parangtritis. Meluncur dari Kepuh Kidul rumahnya Agus jam delapan malam. Perjalanan ditempuh dengan santai. Saat itu sedang tidak dalam momen khusus, sehingga lalu lintas jalan tidak begitu ramai, sepi malah. Sampai perempatan Jejeran, belok ke selatan ke arah makam Imogiri, tempat bersemayamnya jasad para raja kraton Jogja dan Solo. Pertigaan Imogiri kami belok kanan menuju Siluk. Sedangkan arah ke kiri adalah arah ke komplek makam Imogiri. Sepuluh menit berikutnya kami sudah melewati jembatan kali Opak, belok kanan sudah memasuki jalan di lereng-lereng perbukitan Siluk-Panggang.
Perjalanan di malam hari itu tidak dibantu sama sekali oleh terang bulan. Saya tidak tahu tanggal berapa, apakah masih muda atau sudah terlalu tua sehingga bulan tak kelihatan. Yang jelas kegelapan malam itu hanya disuluh oleh lampu motor saja. Empat puluh menit kami menyusuri jalan turun naik itu, hingga kami sampai di Kretek, tembusan jalan raya Parangtritis. Belok kiri kami menyusuri jalan raya itu, sepuluh menit kemudian kami sudah masuk pintu gerbang obyek wisata pantai laut selatan. Sampai di pantai yang berpasir lembut itu kami tidak menjumpai turis domestik maupun asing yang berada di situ. Rasanya memang aneh, malam-malam lepas jam sepuluh jalan-jalan di pantai kalau bukan kurang pekerjaan. Kami bertiga duduk-duduk beralaskan koran yang ada di sekitar situ. Mungkin bekas dipakai orang yang berwisata sore hari sebelumnya. Sambil ngobrol bermacam-macam tema, kami terus melewati malam. Sekitar jam dua belas tengah malam, Agus mengajak kami ke gua Langse. Gua itu berada di sebelah timur Parangtritis, sudah masuk kawasan Kabupaten Gunungkidul. Jika berjalan kaki butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai gua di bibir pantai itu. Gua yang terletak persis di bawah tebing itu memang cukup menantang untuk dikunjungi. Kami sudah beberapa kali ke sana. Di gua itu pula seniman asal Pati, Ragil Suwarno Pragola Pati raib jasadnya hingga sekarang belum diketahui keberadaannya.
Kami bertiga berangkat keluar dari pantai menuju ke arah timur. Namun baru sekitar satu kilo perjalanan, saya bilang ke Agus untuk berhenti dulu. Saat berhenti saya bilang, baiknya tidak usah ke gua Langse, sudah malam pulang saja. Tidak tahu mengapa saat itu ada perasaan malas untuk berjalan di kegelapan malam menuju gua yang konon tempat semedinya Panembahan Senopati itu. Pinginnya ya pulang saja. Tidak tahu juga mengapa mereka berdua menurut saja ketika saya provokasi begitu. Akhirnya kami atret, ambil arah ke barat untuk kembali pulang. Sampai pertigaan Kretek kami ambil ke kanan menyusuri jalan di pinggir perbukitan. Lima belas menit menyusuri jalan turun naik itu, saya merasakan ada hal yang tidak beres dengan motor GL yang kami kendarai. Suaranya mulai mbrebet-mbrebet seperti kehabisan bahan bakar. Dan benar saja tidak sampai lima menit setelah gejala awal, motor GL yang kami tumpangi bertiga berhenti kehabisan bensin.
Saat itu kami berada di jalan di antara perbukitan, jauh dari permukiman. Perkiraan waktu itu mendekati jam 1 malam, saatnya orang sudah terlelap dibuai mimpi. Begitu motor berhenti dan upaya menolong secara darurat dengan cara memiringkan tangki bensin tidak bisa, maka Agus selaku driver menuntun GL itu. Hartono di belakangnya mendorong, sedangkan saya berjalan di sampingnya. Kami bertiga berjalan melewati area pertegalan yang ditanami ketela. Menyusuri jalan turun naik, perjalanan sudah lima belas menit belum menemukan rumah penduduk. Setelah mengatur napas Agus berjalan lagi. Sepuluh menit kemudian kami menemukan gedung sekolah SD. Di sebelah SD itu ada rumah namun gelap. Hartono berjalan mendekati rumah itu kemudian mengetuknya. Beberapa kali ketukan, namun tidak ada respon dari empunya rumah. Hampir lima menit Hartono mencoba terus mengetuk, namun tetap tanpa hasil. Ada kemungkinan rumah itu memang tidak berpenghuni.
Usaha pertama gagal. Kami bertiga kembali mendorong motor mencoba mencari rumah yang lain. Ketika kami mulai berjalan, saya menoleh ke belakang. Secara samar saya menangkap seberkas cahaya api. Saya menduga itu bara api dari ujung rokok yang digerakkan. Posisi berkas cahaya itu agak jauh dari saya berdiri saat itu. Saya bilang ke Agus, ada orang di belakang. Agus menoleh namun dia tidak melihat apa yang saya lihat. Tanpa mempedulikan apa yang saya lihat, kami bertiga bergegas meninggalkan tempat itu. Rasa was-was sudah mulai muncul saat itu. Posisi kami bertiga ada di tengah bulak. Kami tidak tahu seberapa jauh dari perkampungan. Agus menuntun GL dengan agak lebih cepat. Saya dan Hartono mengikuti dari belakang. Kilatan api di belakang kami ternyata juga ikut bergerak. Hartono sambil berlari mendekat ke Agus berkata pelan,mengatakan kalau ada orang di belakang mengikuti. Agus menoleh ke belakang dan saat itu memang nampak oleh kami bertiga kilat yang bergerak-gerak. Saya menduga tidak hanya satu orang. Tanpa kami duga Agus melarikan motor itu. Kami berdua juga ikut lari. Terus terang saat itu saya terbayang di benak saya alangkah naasnya kalau kami bertiga dirampok. Motor dibawa, kami diikat atau bahkan mungkin dibuang di perbukitan atau tragisnya lagi dibunuh dan dibiarkan di pinggir jalan. Membayangkan tragedi yang akan menimpa itu, saya hampir saja menangis. Namun tidak sampai menangis. Saya termasuk anak yang kuat untuk tidak menangis menghadapi masalah. Namun saat itu saya hanya pada tahap hampir menangis, nyaris namun belum dan memang tidak sampai menangis.
Sambil terus berlari dan menoleh ke belakang, tiba-tiba Agus berteriak : “ Wan, bedhile disiapke. Nek nyerak tembak wae, mati rapopo “. Saya terus terang kaget. Kapan bawa bedhilnya. Namun reflek saya cukup bagus untuk mampu menangkap maksud Agus. Maka dengan berteriak pula saya menjawab : “Yo! Ngko nek nyerak tak tembake ndhase!” . Hartono saat itu juga lumayan bagus refleknya terus juga ikut teriak : “Nek mrene tak babate!”. Ternyata ide kreatif Agus mempu membangkitkan nyali kami. Sambil terus berlari dialog yang kami bangun adalah masalah senapan dan pedang. Maksudnya biar yang di belakang mendengar bahwa kami bertiga tidak bertangan kosong. Ada senapan dan pedang yang siap digunakan oleh ahlinya.
Terbukti setelah hampir lima belas menit berlari, orang-orang di belakang kami sudah tidak nampak lagi. Mungkin mereka memang mendengar apa yang kami teriakan sambil berlari tadi. Melihat itu, kami sudah mulai turun tingkat ketegangannya. Kami sudah tidak berlari lagi. Disamping sudah merasa aman, memang juga sudah ngos-ngosan. Niat hati mau berhenti istirahat, ternyata kami jumpai sebuah rumah di pinggir jalan. Meskipun gelap masih nampak temaram lampu teplok dari luar. Hartono kembali beraksi mengetuk pintu. Kami sudah tidak peduli dengan waktu yang mendekati dini hari. Ternyata hanya dengan tiga ketukan, sudah ada respon. Keluar dari balik pintu bapak-bapak setengah baya. Saat kami tanya bakul bensin terdekat mana, dia bilang sekitar sekilo dari rumahnya ada warung yang menjual bensin. Berdasarkan informasi itu kami kemudian berjalan lagi menuntun GL bertangki kosong itu. Tak sampai sepuluh menit kami melihat rumah yang ada rukonya. Di samping rumah itu ada rak yang dipakai untuk menempatkan botol bensin. Melihat itu kami sudah ayem. Ayem bakal mendapatkan bensin sehingga perjalanan yang melelahkan itu bisa segera berakhir. Saya dan Hartono maju bareng mengetuk pintu. Pada awalnya kami ketuk perlahan sambil kami berujar bensin. Namun ternyata ketukan kami tidak mendapatkan respon. Ketukan berikutnya lebih keras. Baru terdengar suara dari dalam, suara seorang laki-laki : “Siapa?” Kami berdua serentak : “Tumbas bensin”. Sambil membawa senter, seorang laki-laki bersarung keluar dari rumah itu. Begitu melihat orang itu, Hartono segera menghampiri dan bilang kehabisan bensin. Lelaki itu bilang sebentar dan kembali masuk ke rumah. Dia keluar lagi sudah membawa satu botol isi bensin dan saringannya. Agus segera membuka tutup tangki bensin. Tak butuh satu menit bensin dalam botol sudah masuk tangki. Dia masuk lagi saat kami bilang dua liter, dan keluar lagi sudah membawa satu botol bensin.
Mendapatkan bensin itu rasanya kami sudah terbebas dari himpitan masalah besar. Setelah membayar dengan uang pas dan ucapan terima kasih kami melanjutkan perjalanan pulang. Membutuhkan beberapa genjotan untuk menghidupkan GL pembawa sial itu. Begitu mesin hidup saya segera naik, kemudian diikuti Hartono di belakang saya. Perjalanan pulang sudah tidak kami rasakan lagi. Motor dipacu dengan cepat, tahu-tahu sudah masuk perempatan Jejeran. Belok kanan berhenti di dekat lapangan bola Wonokromo di warung hik pinggir jalan. Habis beberapa gorengan dan teh panas, GL digenjot lagi. Tak sampai lima belas menit kami sudah sampai di Kepuh Kidul. Kami bertiga tidur di mushola depan rumah, hingga saat subuh.

Rabu, 22 Desember 2010

Porbika II

Latihan di Porbika selain memberikan ilmu beladiri gabungan karate, yudo dan lainnya juga diberikan pelatihan tenaga dalam. Latihan itu dimaksudkan untuk mampu menggali tenaga inti yang tersimpan di dalam tubuh. Saya pernah mendapatkan porsi latihan itu. Dengan posisi duduk pelatih memberikan latihan pernapasan. Kami harus mengambil napas, menahan dan mengeluarkan napas dari hidung sesuai dengan aba-aba yang diberikan pelatih. Waktu itu kami dilatih menyalurkan tenaga dalam ke sebuah batu. Batu itu kami genggam, kemudian kami melakukan olah napas. Setelah selesai ritual pernapasan itu, jika berhasil maka sang batu akan mampu menahan si pemilik dari rasa sakit karena pukulan. Batu itu juga bisa digunakan untuk menyembuhkan. Mungkin kalau jaman sekarang seperti batunya Ponari itu. Pokoknya batu kali yang biasa saja itu, setelah disalurkan tenaga dalam kepadanya akan menjadi tidak biasa alias luar biasa. Sehingga kami diwanti-wanti oleh pelatih agar memperlakukan batu itu dengan semestinya. Menaruh di tempat yang baik, tidak di sembarang tempat dan sebagainya. Ya semacam benda keramat, tetapi tidak sampai harus diberi sesaji kembang setaman, kemenyan dan lainnya. Saya pernah mencoba keampuhan batu itu. Selesai latihan dengan tangan menggenggam batu, teman latihan yang lain Limpung, memukul saya di bahu kanan dengan keras. Ternyata terasa sakit. Namun karena dilihat orang banyak, saya bilang tidak sakit, dengan menahannya. Gantian saya membalas memukul dengan sekerasnya ke bahu Limpung. Saya tidak tahu dia merasakan sakit atau tidak. Yang jelas saking kerasnya tangan saya sampai terasa sakit. Maka bisa dipastikan bahu dia juga tidak kalah sakit dibandingkan tangan saya. Namun mungkin dengan alasan sama, Limpung juga menyembunyikan rasa sakit itu. Batu itu saya perlakukan dengan baik. Saya simpan di salah satu laci almari makan, dan tidak pernah saya sentuh lagi hingga tidak diketahui kebaradaannya kini.
Latihan bersama Porbika dilaksanakan dengan mengumpulkan semua siswa se Jogjakarta. Mereka datang dari Tempel Sleman, dan juga dari Potorono. Dengan menggunakan tiga truck, kami diberangkatkan ke tempat latihan. Berangkat dari balai desa Potorono pagi jam 8, menuju Parangtritis. Perjalanan dari Potorono hingga pantai Parangtritis sekitar 2 jam. Jalur yang kami tempuh melawati jalur barat. Tidak melewati Imogiri. Dari pojok beteng wetan, ke selatan masuk ke jalan Parangtritis. Jalur itu memang lebih jauh, namun kondisi jalan relative lebih datar. Berbeda jika menempuh jalur Imogiri-Siluk yang harus melewati jalan-jalan di daerah perbukitan. Jalannya turun naik, kadang curam, kadang landai.
Sampai di pantai Parangtritis, kami kemudian mengambil posisi berjajar menghadap pantai. Latihan yang dipimpin langsung oleh guru besar itu tidak banyak melakukan gerakan-gerakan kombinasi. Latihan yang dilakukan hanyalah gerakan-gerakan dasar yang lebih dimaksudkan untuk pemanasan. Selesai pemanasan kami diminta untuk saling memegang sabuk teman yang lain. Dengan posisi berjajar, tangan kanan saya memegang sabuk teman di kanan saya, sedangkan tangan kiri saya memegang sabuk teman di kiri saya. Demikian juga sabuk saya dipegang oleh dua orang di kiri dan kanan saya. Pelatih memberikan aba-aba untuk maju menuju bibir pantai. Kami maju hingga mencapai air laut. Pelatih yang memunggungi laut selatan itu kemudian memberi aba-aba untuk maju lagi. Kami maju hingga air laut merendam kami sebatas pusar. Pelatih terus memberi aba-aba supaya maju. Kami maju, dan saat ada ombak datang, diperintahkan untuk merunduk. Ombak melewati kami. Pelatih masih memberi aba untuk terus maju. Kami juga terus maju, dengan teknis merunduk jika ombak datang. Saat saya menengok ke belakang ke arah utara, ternyata kami sudah jauh meninggalkan pantai. Melihat orang-orang di pantai nampak kecil seperti boneka. Kemudian ketika datang ombak, pelatih meminta kami untuk menyambutnya. Maka blarr…kami terbawa ombak hingga ke tepi pantai. Formasinya sudah berantakan karena tangan kami saling terlepas dari sabuk teman yang dipegang sebelumnya.
Keluar dari laut, kami istirahat dan makan jatah dos yang disediakan panitia. Konsumsi berisi nasi dan lauk secukupnya serta air minum. Selesai makan dan istirahat secukupnya, latihan sesungguhnya yang diprogramkan sebenarnya baru dimulai. Yaitu melakukan long march dari pantai Parangtritis hingga Imogiri. Jaraknya sekitar 20 kilo meter. Kami harus berlari sejauh itu. Dan itulah sebenarnya porsi latihan kami. Dengan tanpa alas kaki dan baju seragam masih basah kami berlari meninggalkan pantai Parangtritis. Jalur long march tidak menempuh jalur yang kami lalui saat berangkat. Jalur pulang melalui jalur Siluk-Imogiri. Jalan turun naik dan berbatu kami lalui dengan kaki telanjang. Sudah pasti kaki rasanya sakit. Saya jadi ingat pesan bapak saat berangkat supaya pakai sepatu. Tapi mosok bersepatu. Karateka kok bersepatu seperi atlet lari marathon saja. Meskipun dengan kaki sakit saya terus berlari. Saat itu tekada saya ingin berlari hingga Imogiri. Memang pos pemberhentian ada di Imogiri. Namun ternyata lima kilo perjalanan rasanya saya sudah mau habis. Kaki semakin sakit untuk menapak, sementara napas sudah ngos-ngosan. Jalan satu-satunya adalah naik ke truck yang memang menjadi penjaring di belakang kami. Saat saya naik truck sudah ada beberapa teman yang berda di situ. Artinya saya bukan orang pertama yang bertekuk lutut di hadapan medan yang tidak bersahabat itu. Di atas bak truck saya bisa duduk-duduk sambil minum dan juga makan cemilan. Saya melihat teman yang masih kuat tetap berlari. Namun sedikit demi sedikit mereka juga memilih naik ke truck. Sepenglihatan saya tidak ada yang terus berlari hingga Imogiri. Sebelum masuk Siluk, semua sudah terangkut dalam truck. Maka acara berlari diganti menjadi acara naik truck.
Dengan truck itu kami meluncur hingga ke lapangan Karangsemut. Di lapangan Karangsemut kami berhenti. Saat itu sudah mendekati ashar. Kami melakukan latihan gerakan-gerakan kombinasi. Selesai latihan ringan itu kami istirahat. Waktu istirahat diisi dengan makan. Selesai makan rangkaian kegiatan latihan hari itu ditutup di lapangan Karangsemut. Setelah penutupan kami kembali naik truck dan truck meluncur ke balai desa Potorono bagi siswa yang berasal dari Potorono. Sedangkan yang dari Tempel Sleman, mereka langsung dibawa menuju Sleman, tidak mampir ke Potorono tempat pemberangkatan latihan hari itu. Sampai di balai desa Potorono sudah menjelang maghrib. Turun dari truck saya mengambil sepeda, bersama Limpung dan yang lain kemudian meluncur pulang ke Kepuh. Sampai rumah sudah hampir Isya’. Badan rasanya capek semua. Selesai mandi dan shalat Isya’ saya langsung masuk kamar dan tidur.

Selasa, 21 Desember 2010

Pra Ebta II ( Tragedi Gerombolan PKI )

Pelaksanaan les berjalan dengan baik. Semua mengambil peran masing-masing. Guru memberikan les sesuai bidangnya. Siswa menerima tambahan pelajaran meski juga sambil mengantuk. Persoalan baru muncul saat kelas saya IIIA sedang mendapatkan pelajaran PSPB. Waktu itu bu Sum guru PSPB memberikan lembar latihan soal pra ebta. Kami menerima soal-soal itu dan kemudian mengerjakannya. Selesai mengerjakan, lembaran soal dikembalikan lagi kepada guru. Saat itulah diketahui ternyata ada satu soal yang tidak kembali. Saat itu kami sama sekali tidak paham jika ada soal yang hilang. Baru saat bu Sum mengatakan ada satu soal yang belum kembali, kami jadi saling berpandangan dengan rasa heran. Sebab kami merasa sudah mengembalikan. Gophel selaku ketua kelas memerintahkan mencari dan juga menggeledah tas masing-masing. Tetapi meskipun seluruh ruang kelas sudah disisir dan juga tas sudah dikeluarkan isinya, lembaran kertas yang dimaksud tidak ditemukan. Sebenarnya kami juga tidak mengerti mengapa selembar kertas soal itu menjadi begitu penting. Bagi kami selembar soal itu tidak berarti. Sebagian besar dari kami sudah memiliki buku kumpulan soal ebta/ebtanas yang banyak beredar di shooping center. Tetapi ternyata bagi bu Sum hal itu menjadi masalah serius. Sangat serius malah.
Kasus hilangnya latihan soal pra ebta itu sampai ke guru BP. Pak Darno guru BP yang kurus itu langsung turun ke kelas dan melakukan investigasi. Hasilnya nihil. Tidak ada satupun dari kami yang mengaku membawa dan atau menyembunyikan lembar soal. Dan kami semua juga merasa tidak memiliki kepentingan dengan soal itu. Karena tidak ada yang mengaku, oleh pak Darno selaku guru BP, kasus itu akan disampaikan kepada kepala sekolah. Ketika pak Darno sudah selesai melakukan investigasi, bu Sum masuk ke ruang kelas. Dengan marah guru yang menurut ukuran kami saat itu lumayan semok itupun memberikan kata-kata ultimatum yang begitu menakutkan pada jaman Orde Baru. “ Kalian ini sama dengan PKI !! “. Ungkapkan yang biasa disampaikan kepada para pembangkang pemerintah. Mungkin kami kelas IIIA saat itu dianggapnya sebagai gerombolan pembangkang oleh ibu guru pengajar pelajaran sejarah itu. Terus terang saya tidak mendengarkan secara langsung ultimatum itu. Karena menurut saksi mata, beliau menyampaikan ketika hendak keluar dari ruang kelas. Ketika hampir sampai pintu beliau membalikkan badan dan keluarlah ungkapan yang menggetarkan itu. Namun bagi kami, peristiwa sore itu tidak begitu berpengaruh, karena memang setelah itu kami pulang.
Keesokan hari ketika kami masuk kelas, tema pembicaraan masih seputar hilangnya lembar soal itu. Obrolan kami cukup panjang dan tanpa sadar ternyata tidak ada guru yang masuk untuk mengajar di kelas IIIA. Namanya juga gerombolan PKI versi bu Sum, kami ya tidak mempermasalahkan, justru malah senang karena jam kosong. Kondisi itu berlalu hingga jam istirahat pertama. Saya dan Gophel saat akan membaca KR yang ditempel di samping ruang guru, tanpa sengaja membaca tulisan pengumuman di ruang guru. Tulisan itulah yang menjawab mengapa tidak ada guru yang masuk ke kelas kami pagi itu. Isi tulisan yang diparaf oleh kepala sekolah itu begini : KELAS IIIA UNTUK SEMENTARA WAKTU TIDAK DIBERIKAN PELAJARAN HINGGA PERMASALAHANNYA SELESAI. SUPAYA MENJADIKAN PERHATIAN SEMUA GURU. Ternyata kelas kami mendapatkan skorsing hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Saya dan Gophel tidak jadi membaca KR, langsung kembali ke kelas. Tak berapa lama bel berbunyi tanda jam istirahat berakhir. Semua siswa masuk kelas. Begitu juga kelas IIIA semua masuk kelas.
Saya tidak tahu ada skenario apa antara Gophel dan Diana yang kami panggil kuning. Sebenarnya mungkin maunya diberi nama Diono umumnya nama orang Jawa. Namun mungkin dalam akte atau dokumen lain tertulis dengan huruf “a” sehingga jadilah Diana. Diana cowok berperawakan sedang anak dusun Wotgaleh, Jawa tulen tetapi bermata sipit dan berkulit agak kuning mirip-mirip Cina. Itulah asbabnya dia mendapatkan panggilan kuning. Diana tampil ke depan kelas. Kemudian dia pidato macam-macam tentang latihan soal yang hilang itu. Dia singgung juga tentang ultimatum bu Sum bahwa kelas IIIA gerombolan PKI dan sebagainya. Terus terang saya ta’jub melihat Diana mampu berorasi di depan kelas. Suatu kemampuan yang tidak saya duga sebelumnya. Sebab jika saya maju ke depan kelas bisa dipastikan selalu keringatan karena nervous yang luar biasa. Lha ini, Diana ngoceh panjang lebar, dengan mimik, gesture, dan intonasi suara bermacam-macam. Kadang marah dengan mata mendelik, kadang sedih dengan wajah menunduk. Intinya dia ingin memastikan apakah ada teman-teman di kelas IIIA yang memang mengambil soal itu. Dari nada suaranya saya tahu dia mencurigai seseorang. Dan orang itu adalah Sulimawan anak Mbawuran Pleret, teman saya sejak kelas IA. Saya dan dia pisah di kelas II, dia IIA saya di IIC. Diana betul-betul mempresur Sulimawan dengan pertanyaan yang langsung ke sasaran, apakah mengambil, berani sumpah dan sebagainya. Agus, suadaraku dari Kepuh juga mendapatkan pertanyaan dan presur yang sama dengan Sulimawan. Akhirnya semua mendapatkan pertanyaan sama, apakah mengambil dan menyembunyikan soal itu. Sudah bisa diduga, hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mengaku. Meskipun Diana garang di depan kelas, namun saya dengan Zuni yang semeja, malah ngomong sendiri. Zuni, teman sekelas saya, cewek Kotagede yang putih tapi lumayan subur . Saya dan dia memang tidak begitu mempedulikan acting Diana. Saya dan dia asyik sendiri, ngomong dengan bisik-bisik dekat telinga, sambil sesekali menahan tawa. Dan ketika saya perhatikan Diana, memang dia berusaha tidak memandang ke arah kami. Ketika acting itu berakhir Diana keluar kelas. Tak lama kemudian dia masuk lagi, dengan muka basah habis dibasuh air. Mungkin dia keringatan juga berbicara lama di depan kelas. Tanpa terasa, bel berbunyi lagi tanda jam istirahat kedua. Karena sudah tahu bakal tidak mendapatkan pelajaran, maka kami tenang-tenang saja. Saya, Qusman, Udin jajan ke pak bon biasanya. Diana menyusul. Dia misuh-misuh ke saya. Ternyata ketika dia di depan kelas ceramah, dia berusaha tidak melihat ke meja saya dan Zuni itu, alasannya dia tidak tahan, pasti akan tertawa melihat ulah saya dan Zuni. Padahal tugasnya dia harus marah-marah di depan kelas. Maka wajar jika dia berusaha untuk tidak melihat saya dan Zuni, dengan cara membuang muka jika pandangan matanya hampir sampai ke meja kami berdua. Saya yang dikomplain hanya cengar-cengir. Saya bilang ke Kuning, mestinya bilang dulu kalau mau marah-marah, jadinya kami serius mendengarkannya. Kuning malah tambah ngedumel : “ ora ngrasakke gorokanku sampai kering, ngadeg sikil nganti pegel, malah wong loro kui mung cekikak cekikik, kurang ajaaar….” Melihat dia uring-uringan kami malah jadi ngakak berjamaah. Tetapi dengan sportif saya beri dia pujian atas acting dadakannya itu. Jika nanti ada lowongan pemain figuran saya sarankan supaya mendaftar dan ikut seleksi, pasti lolos.
Dua jam pelajaran terakhir, karena pasti kosong, saya main ke rumah Udin yang tidak jauh dari sekolah. Waktu itu ada Elvi dan Zuni yang juga bersama-sama ke rumah Udin. Di tempat Udin diambilkan kelapa muda juga ada cemilan. Waktu itu saya ingat Udin nyetel kaset Beatles pinjaman dari saya. Kaset bajakan yang saya beli dari shooping. Mendekati jam sekolah usai, saya , Udin, Zuni dan Elvi kembali ke sekolah untuk mengikuti les. Kemungkinan untuk les apakah akan ada guru yang mengajar, kami juga belum paham.
Saatnya makan siang menjelang les, tanpa dikordinir semua siswa kelas IIIA tidak ada satupun yang ke laborat untuk mengambil jatah makan. Saya yakin haqul yakin bahwa tak ada yang mengkordinir. Kami bergerombol di beberapa titik. Namun tidak ada yang beranjak. Ada beberapa guru yang menghimbau kami untuk makan, namun semua bergeming. Sampai saat masuk les, kami juga masuk kelas. Guru bahasa Indonesia kemudian mempertanyakan mengapa kelas IIIA tidak ada yang mau makan. Waktu itu Fajar nDut yang dipanggil ke depan. Saat ditanyakan mengapa tidak mau makan. Dengan jawaban spontan yang juga tidak disetel Fajar menjawab sudah menjadi kesepakatan, karena IIIA diskorsing maka semua tidak makan. Jika melanggar kesepakatan akan dicubiti seluruh tubuhnya oleh anak-anak seluruh kelas. Suatu jawaban yang cerdas. Padahal sebenarnya tidak ada kesepakatan itu. Semua hanya imajinasi Fajar sendiri. Kemudian pak guru mendata dan menanyakan satu per satu dari kami, apakah mau makan. Saya lupa persisnya siapa yang mencairkan suasana, namun akhirnya kami mampu dibujuk kemudian digiring ke laborat untuk makan. Pada saat kami sekelas bergerak ke laborat dan melewati kelas lain, kami mendengar suara huu..huu..dari mereka. Tentu mereka memiliki persepsi tentang kelas IIIA yang sok gaya, tidak mau makan, dan lainnya. Tetapi saat itu kami cuek saja. Memang kelas IIIA berbeda dengan kelas yang lain. Sore itu kami mampu ditundukkan. Kami juga belum mendapatkan les tambahan sore itu hingga saatnya pulang.
Pagi hari berikutnya seperti biasa kami hanya duduk-duduk saja. Hari itu hari Sabtu, jam pertama semestinya olah raga. Waktu terjadinya kasus hilangnya sola pra ebat, guru olah raga Pak Sujadi tidak masuk, maka beliau tidak memahami skorsing yang diterima kelas IIIA. Dengan sudah berpakain olah raga Pak Jadi masuk kelas dan memerintahkan kumpul ke lapangan. Padahal kami tidak ada yang membawa seragam olah raga. Ghopel menyampaikan ke Pak Jadi, kalau kelas IIIA diskorsing. Pak Jadi kaget. Ternyata Pak Jadi belum sempat membaca pengumuman di board ruang guru. Begitu membaca pengumuman, maka serta merta beliau tidak jadi mengajar olah raga. Mundur teratur. Itu korban pertama dari guru atas skorsing yang kami terima. Korban yang lain menimpa wali kelas IIIA pak Manto, guru seni rupa dan elektronik. Begitu mendengar kasus yang menimpa kelas IIIA dan juga sanksi yang diberikan kepala sekolah, pak Manto kemudian jatuh sakit dan tidak masuk sekolah. Siang kami menggelar rapat kilat yang memutuskan untuk menengok wali kelas kami. Yang menjadi utusan waktu itu saya, Gophel, Usman, Udin. Ada juga yang perempuan namun saya lupa siapa. Kalau tidak salah Rini Astuti, anak Kemasan Wiroketen, salah satu cewek yang saya taksir diam-diam. Minggu pagi kami berangkat ke rumah pak Manto di daerah Gedongkuning. Kami belum ada yang pernah ke rumahnya. Setelah bertanya ke bebarapa orang, kami temukan rumahnya. Beliau menemui kami masih dengan sarung. Memang dari raut wajah nampak jika sedang sakit. Kemudian kami serahkan oleh-oleh buah yang kami bawa. Ghopel mewakili kami menyampaikan permintaan maaf atas ulah anak-anak kelas IIIA yang membuat pak Manto tidak nyaman. Ghopel juga mengharapkan pak Manto segera sembuh dan kembali mengajar. Dalam obrolan setelah tujuan inti kami sampaikan, kami juga menjelaskan dan meyakinkan bahwa diantara kami betul-betul tidak ada yang mengambil lembar latihan soal sumber malapetaka itu. Setelah semua dapat kami jelaskan secara gamblang, kami pamitan untuk pulang.
Hari Senin, seperti biasa upacara bendera pada jam pertama. Kepala sekolah selaku pembina upacara tidak menyinggung masalah kelas IIIA dalam amanatnya. Namun selesai upacara, pelajaran matematika sudah ada guru yang masuk dan mengajar di kelas IIIA. Tidak ada pembicaraan apapun tentang kejadian sebelumnya. Bu guru menjelaskan seperti biasanya, dengan kata-kata yang khas dan monoton “Ya Tidak”. Usut punya usut ternyata tulisan yang sebelumnya terpampang di board ruang guru sudah tidak ada, dihapus. Jadi secara otomatis skorsing untuk kelas IIIA sudah berakhir. Tanpa penjelasan, tanpa pembelaan. Persis seperti nasib para tapol PKI yang juga tanpa prosedur apapun. Ditangkap, dipersalahkan, dihukum, dibebaskan. Sudah begitu saja. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Pra Ebta I ( Tragedi Nasi Bungkus )

Kelas 3 SMP menjelang akhir ujian nasional yang dulu dikenal dengan EBTANAS, pihak sekolah mengadakan les tambahan bagi seluruh siswa. Les dilakukan siang hari setelah selesai jam sekolah. Siswa tidak pulang, namun menunggu jadwal les di sekolah yang dimulai jam 2. Pelaksanaan les untuk siswa ini benar-benar sudah dipersiapkan secara matang. Selain guru yang memberikan tambahan bimbingan belajar sesuai dengan bidang studinya, logistik berupa konsumsi pun disiapkan. Jadi siswa tidak perlu membawa bekal makan, karena pihak sekolah sudah menyiapkan makan untuk siswa. Betul-betul pengorbanan yang patut mendapat apresiasi. Saya hingga sekarang masih belum lupa bagaimana para guru itu menjadi relawan masak bagi sekitar 103 siswa. Suatu pekerjaan yang tidak ringan. Dan itu rencananya akan dilakukan setiap hari selama pelaksanaan les kurang lebih satu bulan.
Upaya keras dan ikhlas para guru demi siswanya, ternyata tidak mendapatkan respon yang semestinya. Hari pertama pelaksaan les, konsumsi yang disiapkan berupa nasi bungkus. Tiap kelas mendapatkan jatah nasi bungkus sesuai jumlah siswa. Dalam hal distribusi ini sama sekali tidak timbul masalah. Ketua kelas mampu mendistribusikan kepada semua siswa di kelasnya. Persoalan timbul ketika mulai membuka makanan dalan bungkus. Setelah beberapa suap menelan nasi bungkus itu, sebagian siswa kemudian meletakkan nasi bungkus itu. Satu siswa mengeluh nasinya keras. Siswa lain menyahut dan mengamini. Akhirnya terbentuk jama’ah yang memiliki kesamaan pemahaman bahwa nasi bungkusnya keras dan tidak enak. Reaksi atas nasi keras yang kemudian muncul, sungguh tidak terduga. Jika sebatas tidak memakannya dan kemudian membuangnya secara diam-diam ke tempat sampah, itu masih sangat wajar. Sisa nasi bungkus atau bahkan yang masih utuh, tetapi sudah dibuka itu tidak dibuang di tempat sampah. Mereka digantung di ranting-ranting pohon, di paku-paku tembok, di tempat-tempat yang memungkinkan untuk menggantungkan bungkusan nasi yang tak berdosa tapi naas itu. Jadilah parade nasi bungkus yang menggantung hampir di tiap sudut sekolah. Bungkusan nasi itu dapat dijumpai di depan sekolah, menggantung di ranting pohon akasia, di atas tumbuhan tetehan, di sela-sela tulisan SMPN Baturetno, di tiang bendera, di pintu kelas, di tower air, termasuk di kamar mandi dan WC. Suatu pemandangan yang benar-benar tak terduga. Itu hasil dari demo yang juga tidak terencana, namun sangat anarkhis meskipun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Tetapi efek yang ditimbulkan oleh demo anak-anak berseragam biru putih itu membuat shock para guru. Saya sempat melihat ibu guru (saya tidak sebutkan namanya) mantan wali kelas saya di kelas IA yang terlihat menangis di salah satu ruang kelas. Beberapa guru umumnya yang ibu menampakkan wajah dengan ekspresi yang susah diinterpretasikan. Kecewa, marah, nelongso dan lainnya mengumpul dalam satu wajah.
Melihat demo siswa yang begitu anarkhis, tentu para guru harus mengambil langkah radikal. Namun namanya guru, para beliau tetap menempatkan siswa bagai anaknya sendiri. Bertingkah apapun tetap diberikan kasih sayang yang tidak pernah berkurang. Langkah kepala sekolah yang waktu itu dijabat selaku pjs JT Santosa, mengubah pelayanan konsumsi siswa dengan cara prasmanan. Suatu langkah pelayanan yang tak pernah pudar dari para pejuang tanpa tanda jasa. Bukti bahwa para guru memiliki komitmen yang sangat tinggi demi keberlangsungan pendidikan anak didiknya. Maka pada hari berikutnya, acara makan setelah selesai jam sekolah dipusatkan di laboratorium. Nasi, sayur, lauk dan piring serta sendoknya diletakkan di meja praktikum. Kursi-kursi ditata di meja-meja permanent yang terletak di semua sisi laboratorium. Suatu strategi yang sangat jitu. Demo anarkhis para siswa sehari sebelumnya langsung bisa dipadamkan. Mereka dengan tertib dapat digiring menuju laborat untuk mendapatkan jatah makan. Entah kebetulan atau memang disengaja, menu makan siang saat itu menurut saya cukup enak. Kami mengambil sendiri nasi, sayur dan lauknya. Nasinya tidak lagi keras, sayurnya juga enak, ditambah lauk sepotong ayam goreng. Sangat signifikan untuk mengisi perut yang memang sudah waktunya minta diisi. Ternyata menyelesaikan persoalan tidak bisa lepas dari urusan hal ihwal kebutuhan perut. Strategi memenuhi kebutuhan perut inilah yang kemudian mampu menopang kegiatan les tambahan belajar bagi semua siswa hingga menghadapi praebta, ebta dan ebtanas.

Jumat, 17 Desember 2010

Kupu-Kupu Malam Beracun

Setiap sore di jalan-jalan kampung saya biasanya muncul kupu-kupu yang beterbangan liar. Habis bermain-main, sebelum kembali ke rumah, saya suka iseng nyampluki dengan tangan saya kupu-kupu yang terbang mendekat. Kadang kupu yang sedang tidak bernasib baik terkena pukulan tangan saya langsung jatuh. Biasanya mati, atau paling tidak dia akan menggelepar-menggelepar dan kesulitan untuk terbang lagi.
Suatu hari, saat saya pulang dari bermain, banyak kupu-kupu yang beterbangan di jalanan. Saya dengan bersemangat menampari kupu-kupu itu. Ada yang kena, banyak juga yang lolos. Saat tangan kanan saya mengenai kupu berwarna coklat dengan ukuran sedang, tiba-tiba tangan saya terasa sakit seperti tersengat lebah. Kupu itu lepas dari tangan saya dengan meninggalkan rasa nyeri. Sambil memegangi jari tengah tangan saya yang sakit, saya pulang ke rumah. Sampai di rumah, rasa sakit itu bukan hilang, justru semakin menjadi. Ibu yang melihat saya meringis menahan sakit dan memegang tangan, bertanya mengapa. Saya jawab digigit kupu. Tentu jawaban itu tidak bisa dipercaya ibu. Lha wong kupu kok menggigit. Setelah diperiksa ternyata jari tengah tangan kanan saya bengkak, dan sakitnya semakin tak tertahankan. Rasanya snut snut tidak karu-karuan. Saya sampai menangis gereng-gereng menahan sakit. Ibu kebingungan tidak tahu harus diobati apa. Bapaklah yang berinisiatif menanyakan obat digigit serangga. Oleh mbah Warno, tetangga depan rumah disarankan ke Kepuh Kidul ke rumah seorang mbah. Saya lupa siapa nama mbah yang di Kepuh Kidul itu.
Saya digoncengkan nmotor oleh bapak menuju rumahnhya. Setelah memberikan prolog musibah yang menimpa saya, kemudian oleh mbah yang pakai peci itu, tangan kanan saya dipegang. Sambil berdoa dia mengeluarkan batu akik warna hijau kemudian ditempelkan ke jari tengah saya yang bengkak. Batu akik sebesar kelereng jumbo itu saat menyentuh jari tengah saya yang sakit, terasa dingin. Setelah beberapa saat ditempel dan juga dioles dengan batu akik hijau itu kami pulang. Waktu itu memang sudah mulai reda sakitnya. Saya yakin akan segera hilang sakitnya begitu sampai rumah. Namun begitu sampai rumah, ternyata sakitnya muncul lagi dengan kadar nyeri yang sama. Kali ini saya tahan untuk tidak menangis. Namun saya bilang ke bapak kalau masih terasa sakit sekali. Bapak juga heran, tadi sudah tidak sakit kok sampai rumah kambuh lagi.
Atas saran mbah Warno lagi, bapak diminta kembali ke Kepuh Kidul. Ada orang lain yang juga memiliki akik ampuh katanya. Ternyata dia bapaknya Ponidi teman sekolah saya SD. Oleh bapaknya Ponidi, tangan saya yang sakit ditempelkan pada batu akik warna coklat sebesar kelereng normal. Jadi lebih kecil dibandingkan batu akik hijau dari mbah yang sebelumnya. Agak lama saya di sana. Sampai sekitar jam sembilan jari saya masih terus ditempel dan digosok dengan akik coklat itu. Karena sudah larut, oleh bapaknya Ponidi, bapak saya diminta membawa pulang akik itu. Nanti akik itu supaya ditalikan ke jari yang sakit dengan kain. Setelah pamitan kami pulang. Tentu saya masih memegang akik untuk tetap menempel di jari yang bengkak. Rasanya memang agak berkurang sakitnya. Sampai rumah bapak kemudian mencari sapu tangan, dan akik itu diikatkan di jari tengah saya. Karena sudah capai, saya pun beranjak tidur. Masih dengan menahan rasa sakit yang belum hilang, saya tertidur. Bagi subuh saya terbangun, dan tanpa saya sadari sudah tidak terasa sakit lagi di jari tengah saya. Batu akik masih menempel dalam balutan sapu tangan bapak. Begitu melihat saya bangun dan tidak merasakan sakit lagi, akik yang masih terikat di jari saya dilepas oleh bapak. Sebelum berangkat ke kantor, bapak membawa akik itu dan mengembalikan ke Kepuh Kidul.

Pemburu Kersen

Kami lebih mengenal bandara Adisucipto dikenal dengan istilah Mbadhug atau Meguwo. Itu karena lokasi bandara yang berada di Maguwoharjo di dusun Mbadhug. Mendengar kata Mbadhug yang terbayang saat saya masih kecil adalah sebuah tempat di atas awan, tempat kapal terbang berhenti. Suatu definisi imajinatif yang absurd dan jauh dari kenyataan. Namun namanya juga anak kadang daya fikir dan daya nalar masih berbasis kira-kira.
Meskipun nama Mbadhug begitu lekat di telinga dan juga dekat secara geografis, namun saya belum pernah masuk ke tempat mendaratnya pesawat yang membawa turis lokal maupun dari manca itu. Saya juga tidak paham di mana terminal 1 terminal 2 dan sebagainya. Bahkan sampai hampir umur 40 tahun ini belum pernah sekalipun saya naik pesawat. Sungguh.
Ketika kelas 1 SMP, saya mempunyai urusan dengan Mbadhug karena di sana ada kolam renang, tempat saya beberapa kali mandi. Istilah mandi lebih tepat sebab memang saya tidak berlatih belajar teori maupun teknik berenang di sana. Kegiatan renang di Mbadhug biasanya saya lakukan saat liburan sekolah. Dengan bersepeda, saya dan beberapa teman kampung menuju kolam renang yang berada tidak jauh dari tempat landing pesawat militer AU. Adisucipto selain sebagai bandara udara juga merupakan pangkalan militer AU, juga tempat Akademi Angkatan Udara. Berangkat dari rumah jam tujuh pagi, satu jam lebih baru sampai di lokasi. Setelah melewati beberapa blok asrama tentara AU, akan ketemu kolam renang yang tidak begitu luas, berada di pinggir jalan dengan posisi di bawah bahu jalan. Jadi kami harus turun dulu dari jalan semacam lereng yang agak landai. Di sebelah kolam tumbuh pohon beringin besar dan juga ada gua Jepang yang tidak begitu dalam. Kata teman saya yang tinggal di asrama, banyak sekali gua Jepang di area pangkalan militer.
Selain terdapat kolam renang, di Mbadhug juga ada pesawat-pesawat kuno yang sudah rusak yang ditempatkan di beberapa lokasi. Kadang saat bermain, saya naik pesawat rusak itu dan bergaya mirip-mirip pilot. Pesawat semacam itu sebenarnya ada juga di kebun binatang Gembira Loka. Pesawat itu di tempatkan di area bermain anak-anak kebun binatang sehingga dengan mudah dinaiki.
Mbadhug juga dikabarkan memiliki banyak sekali pohon kersen. Namun saya mengenal buah itu dengan nama talok. Buahnya kecil berwarna merah dan manis. Saya menyebutkan sebagai kabar karena memang belum pernah membuktikan melihat langsung. Saat saya dan teman-teman akan membuktikan kabar itu ada kejadian tragis yang harus kami alami. Seperti biasa saya, Agus dan beberapa teman lain berangkat ke Mbadhug selain mau mandi di kolam renang juga mau memburu kersen. Lokasi kerumunan pohon kersen itu ada di sebelah timur kolam renang, sekitar satu kilo meter. Memang nampak pepohonan yang rimbun yang katanya itu adalah pohon kersen. Selesai mandi, saya, Agus dan 3 orang yang lain berlima memacu sepeda ke arah lokasi pepohonan itu.
Kami berlima sampai di suatu jalan yang di sekitrnya sangat sepi dan tidak dijumpai bangunan maupun pepohonan lainnya. Betul-betul lapang. Di depan kami ada rambu bulatan merah disilang dan tulisan merah berbahaya dilarang lewat. Kami masih belum paham maksud tanda itu, tiba-tiab dari atas arah barat terdengar suara gemuruh. Ternyata ada pesawat yang mau mendarat. Pesawat itu terasa begitu dekat, meskipun sebenarnya tempat mendaratnya masih jauh di timur dari posisi kami berdiri saat itu. Ada rasa takut juga membayangkan jika tiba-tiba pesawat yang mendarat itu jatuh dan menabrak kami. Namun keraguan itu hilang saat ada tukang pencari rumput naik sepeda melintasi jalur itu. Maka dengan memberanikan diri kami berlima melintasi jalur itu tentu dengan sedikit dipacu biar segera melewati jalur yang dilarang lewat itu. Setelah melewati area terlarang itu, kami sudah mendekati lokasi tumbuhnya pohon-pohon kersen. Dari tempat kami mengayuh sepeda memang nampak semacam perkebunan kersen. Namun belum sampai tempat yang kami tuju, tanpa kami sadari kami melewati pos tentara. Tentu saja petugas jaga berseragam loreng itu langsung mencegat kami. Begitu mendapat aba-aba berhenti dari tentara kami seketika berhenti. Suatu kondisi yang tidak pernah kami duga sebelumnya. Sebab menurut informasi, kersen-kersen itu boleh diambil sesukanya.
Sepeda kami jatuhkan, karena semua tidak ada jagrangnya. Seorang tentara berpangkat kopral menghampiri kami. Karena paklik saya polisi, saya tidak begitu takut dengan tentara. Oleh kopral itu kami ditanya, mau kemana? Kami jawab nyari kersen. Dengan agak galak dia membentak: “anak mana kamu, opo rak ngerti nek ora oleh lewat kono?!” sambil menunjuk jalur yang tadi kami lewati. Kemudian tanpa dapat memberikan pembelaan dia langsung menetapkan vonisnya dalam bentuk 3 perintah : 1. Sana pulang! 2. Ambil pentil ban sepedanya taruh di meja!, dan 3. Jangan pernah ke sini lagi!! Perintah yang langsung kami laksanakan tanpa reserve. Dengan tangan-tangan kami sendiri, kami ambil pentil ban itu. Tentu dengan terlebih dahulu mengeluarkan sampai habis seluruh angin yang ada di dalam ban. Kemudian satu per satu lima pentil itu kami letakkan di meja di dalam pos jaga. Tanpa menoleh lagi kami langsung kabur dengan menuntun sepeda yang sudah tanpa pentil dan kempes total itu. Kami menengadah ke atas, memastikan tidak ada pesawat yang akan mendarat sebelum kami melewati lagi jalur terlarang yang telah membuat kami sial itu. Setelah yakin, kami berlari dan istirahat di kolam renang. Di tempat itulah baru kami sadari betapa konyolnya nasib kami. Terbayang betapa nanti capeknya menuntun sepeda ke tempat tambal ban. Untungnya sebelum keluar dari jalan besar, di blok O ada tukang tambal ban yang cukup baik hati mau menyediakan pentil sepeda sejumlah 10 buah, sekalian termasuk dengan angina-anginnya. Saya lupa waktu itu kami membayar berapa. Yang jelas kerugian besar bagi kami, kersen satupun tidak didapat, malah 10 pentil hilang semua disita para tentara.

Mayat Hidup Lahir Dalam Kubur

Kebiasaan tidur tidak di rumah sendiri sudah saya mulai sejak SD. Seringnya saya tidur di rumah saudara, salah satunya adalah Agus. Dia secara nasab masih adik sepupu saya. Mbahnya adalah adik mbahku. Jadi menurut perhitungan Jawa dia memanggil saya mas, meskipun secara umur dia dua tahun lebih tua dari aku. Tetapi saya dan Agus sehari-hari cukup memanggil nama, tidak menggunakan embel-embel mas.
Rumah Agus merupakan peninggalan dari mbah Kaji. Rumah dengan bergaya Jawa. Seingat saya ada tiga rumah yang ukuran dan bentuknya persis dengan rumah itu. Selain rumah keluarga Agus di Kepuh Kidul, adalah rumah mbah Wondo di Kepuh Lor, dan rumah mbah Lurah di Wirokerten. Meskipun besar, namun hampir tidak ada kamarnya, hanya berupa ruangan-ruangan. Untuk menjadikannya kamar, biasanya disekat dengan almari pakaian. Jadi tempat tidur ada di belakang almari pakaian itu. Di depan rumah ada halaman yang cukup luas yang diplester semen. Halaman itu fungsi utamanya untuk menjemur gabah yang baru dipanen. Ruang depan dibagi tiga bagian. Ruang utama bisanya untuk menerima tamu, persis di bawah limasan dengan empat tiang kayu jati. Di samping kanan dan belakang ada ruangan lagi yang juga difungsikan untuk tamu. Tiga ruang itu dipisah oleh semacam lorong membentuk huruf U. Kemudian di ruang tengah juga dibagi menjadi tiga ruangan. Disamping kanan ada gandok, kemudian yang tengah merupakan ruang khusus keluarga. Di dalam ruang keluarga ini ada ruangan kecil yang disebut dengan senthong. Biasanya untuk menyimpan barang berharga. Di samping ruang keluarga dibatasi tembok ada ruangan namun mirip lorong. Ruangan itu saya pernah lihat berisi berbagai koleksi senjata tajam semacam tombak, keris, pedang dan lainnya. Ruang belakang difungsikan sebagai dapur dan area mandi cuci kakus. Selain ada sumur di dalam, di depan rumah juga ada sumur untuk keperluan wudhu bagi jama’ah yang hendak sholat di mushola depan rumah. Ada mushola ukuran sedang berdiri di depan sisi kanan rumah..Sebelah barat mushola terdapat sungai dan langsung bersinggungan dengan kuburan. Sebelah barat kuburan terdapat sungai yang membelah dusun Kepuh Wetan dan Kepuh Kulon.
Suatu ketika saat menginap di rumahnya, kebetulan oranya tuanya pak Darmo dan mbak Zaenab sedang tidak di rumah. Agus, saya dan Hartono tidur di rumah itu. Awalnya kami bertiga ngobrol macam-macam sambil makan kacang dan minum teh. Kebiasaan yang sampai sekarang masih terpelihara, utamanya minum teh. Sambil ngobrol itu ditemani musik dari tape recorder. Saat itu pita kaset yang diputar adalah lagu-lagu dari Gombloh, milik mas Gandung. Menjelang larut, kaset diganti dengan kethoprak RRI dengan lakon lahir sakjroning kubur, saduran dari karangan Abdullah Harahap. Pemeran dalam lakon itu utamanya adalah Widayat, Marsidah, Wahono, Marjiyo dan lainnya. Ceritanya memang cukup menyeramkan untuk ukuran anak saat itu. Berawal dari kisah istri raja yang dibunuh oleh ibu mertua dan adik iparnya, dalam kondisi mengandung. Ternyata saat dikubur, janin yang ada di dalam perut tidak mati, dan lahir di dalam kubur. Ibu bayi yang masih gentayangan itupun memburu satu persatu para pembunuhnyua dengan cara dicekik hingga mati. Saat kemunculannya itu disertai suara khas yang bikin bulu kuduk berdiri hii.hii.hii..serem banget pokoknya. Saat cerita pada fase puncak kengerian, tiba-tiba saja semua lampu mati. Tentu kami panik, untuk tidak menyatakan diri dengan takut. Sebab dalam kegelapan total itu suara horror hii.hii..,masih terus terdengar, sebab tape tidak mati, kaset masih berputar. Tanpa dikomando kami pun tiarap dan masuk ke dalam sarung masing-masing. Tidak ada satupun yang berinisiatip mematikan tape yang menebar horor itu. Baru ketika pita habis, maka terdengar bunyi glek, kaset secara otomatis berhenti. Setelah itu kami baru bangun dari tiarap, mencari korek api dan menyalakan lampu yang mati.
Kejadian yang sama terulang saat kami tidur di rumah Agus, namun kaset kethoprak yang diputar dengan lakon mayat hidup. Dengan para pemain yang hampir sama. Ceritanya bermula dari sayembara memperebutkan seorang putri bernama Maya sebagai calon istri. Dalam satu perang tanding Yudas kalah oleh musuhnya. Permintaan terakhirnya agar mayatnya disimpan dan diawetkan. Sebelum mati dia menulis surat untuk pujaan hatinya yang tak kesampaian. Sekian tahun kemudian di tempat mayat Yudas itu disimpan ada maling yang mengambil barang-barang berharga. Tanpa sengaja pencuri mengambil kain berisi surat untuk Maya. Selesai dibacakan isi surat, tiba-tiba mayat itu hidup dan berjalan. Tentu sang maling ketakutan dan ambil langkah seribu. Munculnya mayat hidup itu membuat panik penduduk. Kata-kata yang terucap hanya satu Maya.. Maya..Saat lakon itu dimunculkan di TVRI, mayat hidup yang berbentuk mumi itu benar-benar menakutkan. Keseraman itu masih terekam dan melekat saat kami mendengarkan lakon itu dari kaset. Kondisi gelap gulita, dengan suara Maya.. Maya.. itu membuat kami benar-benar mati kutu. Entah kejadian itu ada kaitan dengan rumah Agus yang hanya berjarak kurang dari 3 meter dengan kuburan atau bagaimana, yang jelas dua kali mendengarkan kaset yang berhubungan dengan orang mati, pasti endingnya horror.

Capunk Jelajah Gunung

Saat kelas 2 SMP, saya dan Agus menggunakan capunk atau sipitung andalannya kembali mengadakan perjalanan ke luar kota. Lokasi yang dituju adalah Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah sebelah timur kota Solo. Rencana awal yang akan berangkat 5 orang yaitu saya, Agus, Wiwit dari Kepuh, ditambah Wuri dan Edi dari Glondhong. Semua masih saudara. Wiwit dan saya adalah sepupu. Wiwit adalah anaknya bulik Jazim, adiknya bapak persis. Wuri dan Edi adalah sepupunya Agus, anak dari pak dhenya. Jadi secara kekerabatan antara saya dan Agus, lebih jauh dibandingkan dengan Agus dan mereka berdua. Demikian juga antara saya dan Wiwit lebih dekat kekerabatannya dibandingkan dengan saya dan Agus. Ketika saya bertiga menghampiri Wuri dan Edi di Glondhong, menjelang detik-detik akhir keberangkatan, Wuri dan Edi tidak jadi ikut. Sebenarnya dengan hanya bertiga, sudah hampir dibatalkan tour itu. Namun karena sudah terlanjur pamitan pada ibu, saya, Agus dan Wiwit memutuskan tetap berangkat bertiga. Tentu setelah memberikan ceramah panjang kepada Wuri dan Edi yang membatalkan rencana di detik-detik akhir. Isi ceramah tentang kesetia kawananan, tepatnya kesetia saudaraan.
Kami bertiga berangkat dari Glondhong dengan dua motor. Agus sendirian mengemudikan sipitung merah andalannya, saya dan Wiwit goncengan mengendarai motor Honda Astrea 800 hitam. Start jam 5 sore, langsung meluncur ke arah timur, masuk jalan Wonosari terus ke timur hingga Piyungan, belok ke utara terus sampai candi Prambanan, baru masuk jalan Solo. Di Prambanan kami berhenti di warung pinggir jalan, makan gorengan dan teh panas. Habis maghrib perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan Solo. Laju motor dipacu tidak terlalu kencang, Klaten lewat, Delanggu terus, Solo masuk. Kami berhenti dan istirahat sebelum masuk Karanganyar. Sholat isya’ di sebuah masjid pinggir jalan, kemudian minta ijin kepada penjaga masjid untuk nginap di masjid. Tentu dengan basa-basi pertanyaan dari mana mau kemana dan sebagainya. Yang jelas karena capai, sekitar jam 9 malam lewat sedikit, kami bertiga sudah tertidur. Hawa yang dingin ternyata mampu menembus selimut jaket dan sarung. Beberapa kali saya terbangun dan merasakan dinginnya malam menusuk tulang. Sebelum jam 4 subuh saya terbangun, dan membangunkan Agus dan Wiwit. Saya ajak untuk segera cuci muka karena sudah ada jama’ah masjid yang hendak sholat subuh. Selesai sholat, kami sempat mandi secukupnya sebelum melanjutkan perjalanan. Begitu siap kami pamit kepada penjaga masjid tentu disertai basa-basi terimakasih.
Perjalanan dari masjid hingga Tawangmangu ditempuh sekitar 2 jam. Sepanjang perjalanan menuju Tawangmangu, banyak sawah di kanan kiri jalan. Tanpa hambatan berarti kami bertiga sampai juga di pintu masuk obyek wisata Tawangmangu. Yang dimaksud dengan hambatan yang berarti itu bukan berarti kami lancar jaya dalam perjalanan. Dengan modal motor ’70 an jelas dibutuhkan banyak keberanian dalam mendaki area pegunungan hingga mencapai pintu masuk. Jalan yang dilalui memang turun naik dengan kiri kanan jalan adalah pegunungan yang dipenuhi pohon-pohon besar. Di sepanjang jalan banyak orang yang memberikan bantuan bagi mobil yang tidak kuat melaju dalam tanjakan. Saat mobil sudah dalam limit mendekati mogok, maka dengan sigap orang-orang yang standby di kiri kanan jalan segera memasang ganjel tepat di bawah ban sebagai penghalang laju mundur mobil. Dan selama perjalanan kami tidak hanya menemukan satu mobil yang mengalami nasib naas itu. Ada beberapa mobil yang mengalami kejadian yang sama. Jadi meskipun dengan tertatih-tatih kami kategorikan perjalanan kami dengan sipitung tanpa hambatan berarti.
Meskipun sudah berada di pintu gerbang masuk kawasan wisata Tawangmangu, kami tidak masuk. Kurang paham apa pertimbangan saat itu, namun faktor dana sepertinya yang mendorong kami memutuskan hal itu. Sebagai gantinya kami bertiga membeli sate kelinci dan lontong yang memang banyak dijajakan di sekitar lokasi itu. Karena belum sarapan, sate kelinci dan lontong langsung habis dan terasa enaknya. Perut terisi, pikiran terang muncul ide untuk melanjutkan perjalanan. Di peta yang sebelumnya dibaca, sebelah timur Tawangmangu terdapat telaga Sarangan. Maka kami memutuskan untuk meneruskan sampai telaga Sarangan. Terus terang waktu itu kami sama sekali buta dan memang belum pernah ada yang sampai telaga Sarangan. Namun mendengar kata telaga Sarangan sudah sering. Lokasinya secara administrasi sudah masuk provinsi Jawa Timur.
Turun dari pintu masuk Tawangmangu, kami menyusuri jalan ke arah timur, berbekal jawaban dari warga arah ke telaga Sarangan. Rute menuju ke Sarangan ternyata lebih sulit dibandingkan saat naik ke Tawangmangu. Tanjakan yang curam, dan kelokan tajam sangat sering kami lalui. Tentu kondisi itu menjadikan sipitung harus bekerja sangat-sangat keras. Saking kerasnya usahanya itu, knalpotnya harus copot yang berakibat suara yang keluar keras tidak karuan. Masih untung ada kawat, sehingga dengan diikat knalpot itu sedikit berkurang bisingnya. Setelah hampir 3 jam berjuang, akhirnya sampai juga kami ke telaga Sarangan. Perjalanan ini masuk kategori sangat tidak lancar. Kami masuk ke lokasi wisata telaga Sarangan dan istirahat menikmati pemandangan di pinggir telaga sambil makan dan minum. Waktu itu ingin rasanya naik kuda yang banyak ditawarkan para pemilik kuda. Namun terus terang kembali duwit yang menentukan. Tidak ada keberanian sekedar menawar untuk naik kuda. Akhirnya cuma kembali duduk-duduk di pinggir telaga. Ternyata hanya duduk-dudukpun ada capeknya. Sekitar jam 2 siang setelah benar-benar jenuh di situ, kami putuskan untuk pulang. Dengan perhitungan kasar waktu untuk perjalanan pulang, Sarangan-Tawangmangu 3 jam, Tawangmangu-Solo 2 jam, Solo-Jogja 2 jam. Jadi jika berangkat jam 2 siang sampai rumah paling cepat jam 9 malam.
Agus kembali dengan sipitung yang knalpotnya sudah diikat dengan kawat, saya dan Wiwit berboncengan. Pengemudi motor saat pulang gantian saya yang di depan, Wiwit yang gonceng. Terus terang saya belum biasa bahkan tidak pernah megang motornya Wiwit. Jadi terasa kaku dan butuh penyesuaian. Saat mengendarai di turunan yang cukup tajam, saya agak grogi. Motor agak oleng ke kiri kanan. Saya ingat persis saat itu ada orang yang sedang mencari rumput di pinggir jalan berdiri memegang sabit. Motor yang saya kendarai hampir-hampir menyerempet orang itu. Hanya tinggal beberapa centimeter saja. Yang terbayang saat itu adalah kaki saya kebacok sabit orang itu. Andaikan benar kebacok meski tidak sengaja, pasti kaki putus dan yang jelas akan mengalami luka sangat-sangat parah. Untungnya kejadian itu tidak sampai menimpa saya dan Wiwit. Begitu memahami kondisi itu, Wiwit kemudian ambil alih kemudi, dan saya kembali gonceng di belakang. Dan itu sebenarnya yang saya harapkan. Saya mengemudikan motor itu karena terpepet. Pertama karena kasihan melihat Wiwit sejak kemarin yang di depan. Kedua juga ada unsur pingin memacu adrenalin dan merasakan sensasi melaju dengan motor di area yang menantang itu. Ternyata kenyataannya saya tidak begitu mampu mengendalikan laju motor. Daripada saya membahayakan diri saya dan Wiwit, maka keputusan bijak jika saya di belakang saja.
Sipitung tidak seperti saat berangkat, dia ternyata mengalami kesulitan mengikuti ritme tanjakan dan turunan medan. Sering terdengar dia batuk-batuk, yang sangat jelas dari suara knalpotnya. Beberapa kali Agus harus turun untuk sekedar membenahi kembali knalpotnya yang diikat secara darurat itu. Namun secara umum, perjalanan dapat dilalui dengan selamat. Sampai Tawangmangu kami pacu lagi motor menuju Solo. Sekitar jam 7 malam kami sampai di Solo, dan istirahat setelah hampir 5 jam menggeber sipitung. Biasa warung angkringan jadi tumpuan. Teh panas dan gorengan jadi langganan. Tidak lama kami istirahat, perjalanan dilanjutkan. Agus sejak dari Solo lebih sering berhenti untuk kembali mengikat knalpotnya. Namun begitu sudah sampai Prambanan, dia putus asa. Knalpot yang sudah berulang kali copot itu dia masukan tas, dan sipitung melaju tanpa knalpot yang memadai. Tentu suara yang ditimbulkan sangat tidak merdu. Namun karena sudah terlanjur mangkel, sipitung tetap digeber hingga sampai Kepuh. Meleset dari prediksi, kami sampai Kepuh sudah jam 11 malam, 2 jam terlambat dari perkiraan. Meskipun demikian kami cukup senang karena selamat sampai rumah, meskipun sipitung tidak dapat diselamatkan knalpotnya. Kami tiba di rumah meskipun sudah larut malam, tidak muncul masalah, karena sebelumnya sudah pamit kalau mau pergi ke Tawangmangu. Tidak seperti saat saya dan Agus menyusuri pantai laut selatan beberapa waktu sebelumnya.