Selasa, 21 Desember 2010

Pra Ebta II ( Tragedi Gerombolan PKI )

Pelaksanaan les berjalan dengan baik. Semua mengambil peran masing-masing. Guru memberikan les sesuai bidangnya. Siswa menerima tambahan pelajaran meski juga sambil mengantuk. Persoalan baru muncul saat kelas saya IIIA sedang mendapatkan pelajaran PSPB. Waktu itu bu Sum guru PSPB memberikan lembar latihan soal pra ebta. Kami menerima soal-soal itu dan kemudian mengerjakannya. Selesai mengerjakan, lembaran soal dikembalikan lagi kepada guru. Saat itulah diketahui ternyata ada satu soal yang tidak kembali. Saat itu kami sama sekali tidak paham jika ada soal yang hilang. Baru saat bu Sum mengatakan ada satu soal yang belum kembali, kami jadi saling berpandangan dengan rasa heran. Sebab kami merasa sudah mengembalikan. Gophel selaku ketua kelas memerintahkan mencari dan juga menggeledah tas masing-masing. Tetapi meskipun seluruh ruang kelas sudah disisir dan juga tas sudah dikeluarkan isinya, lembaran kertas yang dimaksud tidak ditemukan. Sebenarnya kami juga tidak mengerti mengapa selembar kertas soal itu menjadi begitu penting. Bagi kami selembar soal itu tidak berarti. Sebagian besar dari kami sudah memiliki buku kumpulan soal ebta/ebtanas yang banyak beredar di shooping center. Tetapi ternyata bagi bu Sum hal itu menjadi masalah serius. Sangat serius malah.
Kasus hilangnya latihan soal pra ebta itu sampai ke guru BP. Pak Darno guru BP yang kurus itu langsung turun ke kelas dan melakukan investigasi. Hasilnya nihil. Tidak ada satupun dari kami yang mengaku membawa dan atau menyembunyikan lembar soal. Dan kami semua juga merasa tidak memiliki kepentingan dengan soal itu. Karena tidak ada yang mengaku, oleh pak Darno selaku guru BP, kasus itu akan disampaikan kepada kepala sekolah. Ketika pak Darno sudah selesai melakukan investigasi, bu Sum masuk ke ruang kelas. Dengan marah guru yang menurut ukuran kami saat itu lumayan semok itupun memberikan kata-kata ultimatum yang begitu menakutkan pada jaman Orde Baru. “ Kalian ini sama dengan PKI !! “. Ungkapkan yang biasa disampaikan kepada para pembangkang pemerintah. Mungkin kami kelas IIIA saat itu dianggapnya sebagai gerombolan pembangkang oleh ibu guru pengajar pelajaran sejarah itu. Terus terang saya tidak mendengarkan secara langsung ultimatum itu. Karena menurut saksi mata, beliau menyampaikan ketika hendak keluar dari ruang kelas. Ketika hampir sampai pintu beliau membalikkan badan dan keluarlah ungkapan yang menggetarkan itu. Namun bagi kami, peristiwa sore itu tidak begitu berpengaruh, karena memang setelah itu kami pulang.
Keesokan hari ketika kami masuk kelas, tema pembicaraan masih seputar hilangnya lembar soal itu. Obrolan kami cukup panjang dan tanpa sadar ternyata tidak ada guru yang masuk untuk mengajar di kelas IIIA. Namanya juga gerombolan PKI versi bu Sum, kami ya tidak mempermasalahkan, justru malah senang karena jam kosong. Kondisi itu berlalu hingga jam istirahat pertama. Saya dan Gophel saat akan membaca KR yang ditempel di samping ruang guru, tanpa sengaja membaca tulisan pengumuman di ruang guru. Tulisan itulah yang menjawab mengapa tidak ada guru yang masuk ke kelas kami pagi itu. Isi tulisan yang diparaf oleh kepala sekolah itu begini : KELAS IIIA UNTUK SEMENTARA WAKTU TIDAK DIBERIKAN PELAJARAN HINGGA PERMASALAHANNYA SELESAI. SUPAYA MENJADIKAN PERHATIAN SEMUA GURU. Ternyata kelas kami mendapatkan skorsing hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Saya dan Gophel tidak jadi membaca KR, langsung kembali ke kelas. Tak berapa lama bel berbunyi tanda jam istirahat berakhir. Semua siswa masuk kelas. Begitu juga kelas IIIA semua masuk kelas.
Saya tidak tahu ada skenario apa antara Gophel dan Diana yang kami panggil kuning. Sebenarnya mungkin maunya diberi nama Diono umumnya nama orang Jawa. Namun mungkin dalam akte atau dokumen lain tertulis dengan huruf “a” sehingga jadilah Diana. Diana cowok berperawakan sedang anak dusun Wotgaleh, Jawa tulen tetapi bermata sipit dan berkulit agak kuning mirip-mirip Cina. Itulah asbabnya dia mendapatkan panggilan kuning. Diana tampil ke depan kelas. Kemudian dia pidato macam-macam tentang latihan soal yang hilang itu. Dia singgung juga tentang ultimatum bu Sum bahwa kelas IIIA gerombolan PKI dan sebagainya. Terus terang saya ta’jub melihat Diana mampu berorasi di depan kelas. Suatu kemampuan yang tidak saya duga sebelumnya. Sebab jika saya maju ke depan kelas bisa dipastikan selalu keringatan karena nervous yang luar biasa. Lha ini, Diana ngoceh panjang lebar, dengan mimik, gesture, dan intonasi suara bermacam-macam. Kadang marah dengan mata mendelik, kadang sedih dengan wajah menunduk. Intinya dia ingin memastikan apakah ada teman-teman di kelas IIIA yang memang mengambil soal itu. Dari nada suaranya saya tahu dia mencurigai seseorang. Dan orang itu adalah Sulimawan anak Mbawuran Pleret, teman saya sejak kelas IA. Saya dan dia pisah di kelas II, dia IIA saya di IIC. Diana betul-betul mempresur Sulimawan dengan pertanyaan yang langsung ke sasaran, apakah mengambil, berani sumpah dan sebagainya. Agus, suadaraku dari Kepuh juga mendapatkan pertanyaan dan presur yang sama dengan Sulimawan. Akhirnya semua mendapatkan pertanyaan sama, apakah mengambil dan menyembunyikan soal itu. Sudah bisa diduga, hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mengaku. Meskipun Diana garang di depan kelas, namun saya dengan Zuni yang semeja, malah ngomong sendiri. Zuni, teman sekelas saya, cewek Kotagede yang putih tapi lumayan subur . Saya dan dia memang tidak begitu mempedulikan acting Diana. Saya dan dia asyik sendiri, ngomong dengan bisik-bisik dekat telinga, sambil sesekali menahan tawa. Dan ketika saya perhatikan Diana, memang dia berusaha tidak memandang ke arah kami. Ketika acting itu berakhir Diana keluar kelas. Tak lama kemudian dia masuk lagi, dengan muka basah habis dibasuh air. Mungkin dia keringatan juga berbicara lama di depan kelas. Tanpa terasa, bel berbunyi lagi tanda jam istirahat kedua. Karena sudah tahu bakal tidak mendapatkan pelajaran, maka kami tenang-tenang saja. Saya, Qusman, Udin jajan ke pak bon biasanya. Diana menyusul. Dia misuh-misuh ke saya. Ternyata ketika dia di depan kelas ceramah, dia berusaha tidak melihat ke meja saya dan Zuni itu, alasannya dia tidak tahan, pasti akan tertawa melihat ulah saya dan Zuni. Padahal tugasnya dia harus marah-marah di depan kelas. Maka wajar jika dia berusaha untuk tidak melihat saya dan Zuni, dengan cara membuang muka jika pandangan matanya hampir sampai ke meja kami berdua. Saya yang dikomplain hanya cengar-cengir. Saya bilang ke Kuning, mestinya bilang dulu kalau mau marah-marah, jadinya kami serius mendengarkannya. Kuning malah tambah ngedumel : “ ora ngrasakke gorokanku sampai kering, ngadeg sikil nganti pegel, malah wong loro kui mung cekikak cekikik, kurang ajaaar….” Melihat dia uring-uringan kami malah jadi ngakak berjamaah. Tetapi dengan sportif saya beri dia pujian atas acting dadakannya itu. Jika nanti ada lowongan pemain figuran saya sarankan supaya mendaftar dan ikut seleksi, pasti lolos.
Dua jam pelajaran terakhir, karena pasti kosong, saya main ke rumah Udin yang tidak jauh dari sekolah. Waktu itu ada Elvi dan Zuni yang juga bersama-sama ke rumah Udin. Di tempat Udin diambilkan kelapa muda juga ada cemilan. Waktu itu saya ingat Udin nyetel kaset Beatles pinjaman dari saya. Kaset bajakan yang saya beli dari shooping. Mendekati jam sekolah usai, saya , Udin, Zuni dan Elvi kembali ke sekolah untuk mengikuti les. Kemungkinan untuk les apakah akan ada guru yang mengajar, kami juga belum paham.
Saatnya makan siang menjelang les, tanpa dikordinir semua siswa kelas IIIA tidak ada satupun yang ke laborat untuk mengambil jatah makan. Saya yakin haqul yakin bahwa tak ada yang mengkordinir. Kami bergerombol di beberapa titik. Namun tidak ada yang beranjak. Ada beberapa guru yang menghimbau kami untuk makan, namun semua bergeming. Sampai saat masuk les, kami juga masuk kelas. Guru bahasa Indonesia kemudian mempertanyakan mengapa kelas IIIA tidak ada yang mau makan. Waktu itu Fajar nDut yang dipanggil ke depan. Saat ditanyakan mengapa tidak mau makan. Dengan jawaban spontan yang juga tidak disetel Fajar menjawab sudah menjadi kesepakatan, karena IIIA diskorsing maka semua tidak makan. Jika melanggar kesepakatan akan dicubiti seluruh tubuhnya oleh anak-anak seluruh kelas. Suatu jawaban yang cerdas. Padahal sebenarnya tidak ada kesepakatan itu. Semua hanya imajinasi Fajar sendiri. Kemudian pak guru mendata dan menanyakan satu per satu dari kami, apakah mau makan. Saya lupa persisnya siapa yang mencairkan suasana, namun akhirnya kami mampu dibujuk kemudian digiring ke laborat untuk makan. Pada saat kami sekelas bergerak ke laborat dan melewati kelas lain, kami mendengar suara huu..huu..dari mereka. Tentu mereka memiliki persepsi tentang kelas IIIA yang sok gaya, tidak mau makan, dan lainnya. Tetapi saat itu kami cuek saja. Memang kelas IIIA berbeda dengan kelas yang lain. Sore itu kami mampu ditundukkan. Kami juga belum mendapatkan les tambahan sore itu hingga saatnya pulang.
Pagi hari berikutnya seperti biasa kami hanya duduk-duduk saja. Hari itu hari Sabtu, jam pertama semestinya olah raga. Waktu terjadinya kasus hilangnya sola pra ebat, guru olah raga Pak Sujadi tidak masuk, maka beliau tidak memahami skorsing yang diterima kelas IIIA. Dengan sudah berpakain olah raga Pak Jadi masuk kelas dan memerintahkan kumpul ke lapangan. Padahal kami tidak ada yang membawa seragam olah raga. Ghopel menyampaikan ke Pak Jadi, kalau kelas IIIA diskorsing. Pak Jadi kaget. Ternyata Pak Jadi belum sempat membaca pengumuman di board ruang guru. Begitu membaca pengumuman, maka serta merta beliau tidak jadi mengajar olah raga. Mundur teratur. Itu korban pertama dari guru atas skorsing yang kami terima. Korban yang lain menimpa wali kelas IIIA pak Manto, guru seni rupa dan elektronik. Begitu mendengar kasus yang menimpa kelas IIIA dan juga sanksi yang diberikan kepala sekolah, pak Manto kemudian jatuh sakit dan tidak masuk sekolah. Siang kami menggelar rapat kilat yang memutuskan untuk menengok wali kelas kami. Yang menjadi utusan waktu itu saya, Gophel, Usman, Udin. Ada juga yang perempuan namun saya lupa siapa. Kalau tidak salah Rini Astuti, anak Kemasan Wiroketen, salah satu cewek yang saya taksir diam-diam. Minggu pagi kami berangkat ke rumah pak Manto di daerah Gedongkuning. Kami belum ada yang pernah ke rumahnya. Setelah bertanya ke bebarapa orang, kami temukan rumahnya. Beliau menemui kami masih dengan sarung. Memang dari raut wajah nampak jika sedang sakit. Kemudian kami serahkan oleh-oleh buah yang kami bawa. Ghopel mewakili kami menyampaikan permintaan maaf atas ulah anak-anak kelas IIIA yang membuat pak Manto tidak nyaman. Ghopel juga mengharapkan pak Manto segera sembuh dan kembali mengajar. Dalam obrolan setelah tujuan inti kami sampaikan, kami juga menjelaskan dan meyakinkan bahwa diantara kami betul-betul tidak ada yang mengambil lembar latihan soal sumber malapetaka itu. Setelah semua dapat kami jelaskan secara gamblang, kami pamitan untuk pulang.
Hari Senin, seperti biasa upacara bendera pada jam pertama. Kepala sekolah selaku pembina upacara tidak menyinggung masalah kelas IIIA dalam amanatnya. Namun selesai upacara, pelajaran matematika sudah ada guru yang masuk dan mengajar di kelas IIIA. Tidak ada pembicaraan apapun tentang kejadian sebelumnya. Bu guru menjelaskan seperti biasanya, dengan kata-kata yang khas dan monoton “Ya Tidak”. Usut punya usut ternyata tulisan yang sebelumnya terpampang di board ruang guru sudah tidak ada, dihapus. Jadi secara otomatis skorsing untuk kelas IIIA sudah berakhir. Tanpa penjelasan, tanpa pembelaan. Persis seperti nasib para tapol PKI yang juga tanpa prosedur apapun. Ditangkap, dipersalahkan, dihukum, dibebaskan. Sudah begitu saja. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar