Senin, 06 Desember 2010

Korespondensi

Saat ini marak adanya korban karena melakukan korespondensi melalui berbagai jejaring di dunia maya. Sebenarnya itu merupakan hal lumrah, efek dari kemajuan teknologi. Di jaman pra jahiliyah dulu, hingga jaman terang benderang kini, yang namanya tipu menipu adalah bagian dari seni hidup. Dalam salah satu kutipan ayat juga disebutkan bahwa Gusti Allah yang kita sembah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.
Saya, Agus adik sepupu anaknya Paklik Darmo, dan Aris adiknya pada dekade 80an sudah melakukan aksi tipu menipu di dalam dunia maya, dalam skala kecil. Dulu belum ada komputer maupun HP seperti sekarang. Sehingga untuk melakukan komunikasi jarak jauh masih sangat mengandalkan surat menyurat.
Ceritanya, suatu hari saya membaca majalah Bobo bekas. Di dalam majalah khusus anak-anak itu ada nama yang tertera di kawan Bobo yang fotonya menarik. Maksudnya dari pas photo hitam putih itu keliatan lumayan cantik. Namanya Yuli Astuti, anak Surabaya. Karena tertarik dengan anak itu, saya ingin menyurati Yuli Astuti yang salah satu hobinya surat menyurat. Meskipun hanya sekedar mau berkirim surat, ternyata membutuhkan nyali juga. Dan saat itu sendirian saya tidak ada yang berani. Maka kompromi dan sekaligus persekongkolanpun dibuat, meskupun bukan bermaksud jahat. Hanya menggunakan teorinya Zainudin MZ sang dai sejuta umat itu yang pernah bilang bahwa 1 orang takut yang sendirian maka sama dengan 1 orang takut. Jika ada 2 orang takut berkumpul, jadinya adalah 2 orang yang setengah takut. Jika ada 3 orang takut berkumpul, jadilah 3 orang yang berani. Karena bertiga, saya yang tadinya takut menjadi berani. Berani bersekongkol. Dan untuk itu harus ada metode pengamanan yang diaplikasikan. Resiko itupun dibagi bertiga. Nama yang dipakai adalah Agus, foto yang disertakan adalah pas photo hitam putihnya Aris ukuran 3x4, sedangkan bertindak selaku konseptor dan penulis sekaligus yang membubuhkan tanda tangan tentu saya. Maka dengan mengandalkan pelajaran bahasa Indonesia bab mengarang dan menulis surat, saya cukup berhasil menuliskan maksud dan keinginan dari isi kepala tiga orang yang berbeda.
Setelah dipandang cukup, kertas surat itu kemudian dimasukan dalam surat air mail putih. Berdasarkan alamat yang tertera di Bobo, surat itupun kemudian diposkan melalui bus surat di dekat pasar Pleret. Dalam imaji saya surat itu kemudian diangkut oleh bus surat dan diantar ke Surabaya dan diterima Yuli Astuti.
Kami bertiga sebenarnya tidak mengharapkan balasan surat yang super fiktif itu. Dengan hanya ditempel prangko minimalis bergambar pak Harto harapan untuk sampai kepada yang dituju sangat tipis. Namun selang sekitar sebulan ada surat datang dari surabaya kepada Agus, dari pengirim atas nama Yuli Astuti Surabaya. Berarti kira-kira perjalanan surat itu begini: masuk bus surat, menunggu bus berangkat, perjalanan Pleret sampai Surabaya sekitar 10 hari, mencari rumah Astuti butuh 2 hari. Astuti membaca surat dan dengan suka cita karena merasa punya teman baru segera membalasnya dan segera pula mengeposkanya. Dari Surabaya sampai Bantul ditempuh 10 hari, mencari rumah Agus mudah, karena surat itu sebelumnya berangkat dari rumah Agus. Jadi sang surat tidak perlu susah mencari rumah yang dituju. Jadi memang butuh waktu sekitar sebulan untuk pp Bantul-Surabaya. Kami bertiga tentu senang bukan alang kepalang ketika menerima surat itu. Dengan penuh deg-degan, surat kami buka dan kami baca. Pembuka surat berupa pantun yang sampirannya senyum dulu baru dibaca. Isi surat berikutnya berisi ungkapan senang atas suratnya dan minta dilanjutkan saling memberi kabar. Di dalam surat juga ada fotonya. Masih berupa pas photo hitam putih ukuran 3x4. Ternyata foto yang sekarang tidak sama dengan yang di majalah. Mungkin karena foto yang dicantumkan di Bobo adalah foto dia 10 tahun sebelumnya, sehingga tentu ada perubahan. Celakanya perubahan itu tidak lebih baik, namun sebaliknya. Agus dengan bangga menyimpan surat dan foto itu, karena nama yang dituju adalah Agus. Sedangkan saya selaku penulis, dan Aris yang dicatut wajahnya menjadi hak Yuli Astuti selaku penerima surat. Yang ada di benak dia, pengirim surat itu adalah Agus. Sehingga dengan modal namanya dicantumkan mampu menyingkirkan penulis yang mengungkap kata, dan wajah yang nampak nyata. Maka sangatlah tidak tepat jika masih ada yang beranggapan apalah arti sebuah nama. Saya dan Aris sudah membuktikan itu, ternyata nama lebih diakui dari sekedar kemampuan menulis dan ketampanan wajah. Nama juga merupakan bentuk tanggung jawab. Surat tanpa nama disebut surat kaleng yang pengirimnya tidak berani bertanggung jawab. Orang yang mau mengajukan pendapat juga menyebutkan namanya dulu sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang disampaikan.
Saya tidak tahu apakah surat itu masih tersimpan hingga sekarang, sebagai bentuk tanggung jawab Agus atas persekongkolan kami bertiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar