Minggu, 26 Desember 2010

Parangtritis II (Nyaris Tenggelam)

Kumpulan pemuda Kepuh Lor menyelenggarakan karya wisata ke pantai Parangtritis dengan mengendarai sepeda ontel bersama. Sekitar 60 orang ikut piknik yang harus bemodalkan okol kuat itu. Bagaimana tidak, untuk sampai ke pantai Parangtritis kami harus mengenjot sepeda ontel sejauh 40km, di jalan perbukitan. Jam depalan pagi, kami sudah berangkat konvoi bersepeda. Butuh waktu tidak kurang tiga jam untuk sampai tempat tujuan. Namun karena dilakukan secara berjama’ah, perjuangan berat itu terasa tidak begitu berat. Rasanya senang saja.
Saya tidak ngontel sendiri, namun diboncengkan oleh Karno. Karno adalah anak dari mbah Yoso orang yang biasa diandalkan oleh keluarga saya dalam menjaga kebersihan lingkungan rumah. Umur Karno dengan saya terpaut jauh, lebih dari 10 tahun. Adiknya Karno, namanya Nurdi adalah teman saya bermain. Nurdi dengan saya ada selisih lebih dari 5 tahun. Sepeda yang dipakai adalah sepeda jengki phoenik milik saya. Jadi perjalanan selama hampir tiga jam itu saya tidak begitu capai. Rasanya cuma pantat jadi bebal. Rasa itu akibat kelamaan duduk di jok belakang yang tanpa ganjel sedikitpun. Karno yang ngontel jengki itu juga tidak kelihatan capai. Dia malah kadang ngepot sana sini menggoda peserta lain. Yang digoda tentunya yang cewek. Tetapi harus saya akui cewek-cewek di Kepuh Lor waktu itu menurut pandangan saya tidak ada yang bening.
Memasuki perbukitan Siluk Panggang, para peserta nampak kesulitan mengendalikan sepeda. Dapat dimaklumi, karena memang medan turun naik dengan kondisi jalan beraspal yang juga tidak mulus, penuh lobang. Namun medan tersebut bagi Karno bukanlah sesuatu yang berat. Dia dengan gayanya masih melaju dengan stabil dan masih juga menggoda peserta lain dengan kepotannya. Sekitar jam 11 kami sudah memasuki area pantai parangtritis. Semua peserta mampu finish secara aman, tidak ada yang mengalami hambatan.
Panitia mengatur posisi semua sepeda peserta. Kami istirahat untuk makan. Panitia menyediakan nasi bungkus. Saya lupa siapa yang mengkordinir. Selesai makan acara bebas. Semua menikmati pantai secara bergerombol. Namun ada juga yang berduaan. Karena saya masih kecil, baru kelas 5 SD, maka saya sendirian bermain. Saya sebenarnya sering diajak bersama bermain oleh cewek-cewek yang lebih tua dari saya. Tetapi ya tadi karena tidak ada yang cukup membuat saya senang, maka saya bermain sendiri. Namun jika butuh sesuatu, saya tinggal minta ke mbak-mbake itu pasti langsung dikasih. Ada yang selalu mengawasi saya, lek Jilah kalau tidak salah sebut nama. Jika ada apa-apa dia duluan yang mendekati dan memenuhi apa yang butuhkan. Dia selama ini sering membantu di rumah mbah Kaji Wir.
Melihat ombak dan juga pengunjung mandi, saya juga ingin mandi. Saya sebenarnya pernah mandi di laut Parangtritis waktu dulu bersama Wiwit dan Hari. Waktu itu kami piknik bersama sekeluarga dengan mobilnya pak Parjo. Memakai kaos model monyet warna merah dan celana pendek hitam, saya mendekati pantai. Di dalam laut saya melihat ada beberapa yang sudah mandi. Di bibir pantai banyak yang hanya berani menyentuh air saat ombak datang, namun tidak berani mandi. Saya masuk ke laut dengan cara berjalan perlahan ke arah yang berlawanan dengan datangnya ombak. Saat ada ombak datang saya merunduk. Begitu ombak sudah melewati tubuh saya, saya muncul lagi. Saya bertahan berenang di laut yang berjarak sekitar 10-15 dari bibir pantai. Di posisi itu masih banyak orang lain berenang. Sebenarnya bukan berenang, hanya bertahan untuk tidak tengelam. Jadi kaki dikibaskan untuk menahan tubuh. Tangan juga digerakkan. Kalau bergerak arahnya bukan menuju ke tengah, namun ke kiri dan kanan.
Saya tergerak untuk mencoba ke laut yang lebih jauh dan dalam, menuju ke selatan. Menggunakan teknik yang sama, merunduk saat ombak datang, saya secara perlahan mulai meninggalkan bibir pantai. Karena fokus menghadang ombak yang datang, saya tidak memperhatikan jarak saya dengan pantai. Begitu ada ombak saya menyelam beberapa saat, kemudian muncul kembali. Saat muncul posisi saya secara otomatis bergeser ke arah selatan, menjauh dari pantai. Hal itu saya lakukan dengan sangat tenang dan senang. Ada rasa bangga saat tubuh dilalui ombak. Namun begitu saya membalikkan badan ke arah utara, ke arah pantai, saya sangat terkejut. Ternyata saya sudah sangat jauh meninggalkan pantai. Di kiri kanan saya yang tadinya banyak orang berenang, sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka berada jauh di utara yang dekat pantai. Sementara orang-orang di pantai dari posisi saya memandang sudah nampak seperti orang-orangan bertubuh mungil. Artinya saya sudah benar-benar meninggalkan pantai jauh sekali. Pada saat itu saya merasa sangat kecil. Di sekeliling saya hanya terhampar biru air. Melihat ke timur hanya nampak biru air laut, ke barat sama saja. Memandang ke selatan justru yang nampak gulungan ombak yang akan menerjang. Saya panik saat itu. Muncul kekhawatiran tenggelam. Ditambah saya menggunakan kaos warna merah. Katanya ada pantangan memakai pakaian dengan warna tertentu. Yang saya ingat warna merah adalah termasuk pantangan. Dianggapnya menyaingi Ratu Kidul, sehingga bisa diambil olehnya. Kepanikan saya semakin menjadi mengingat itu. Kaki saya juga sudah mulai terasa tidak enak, capai bergerak terus menahan berat tubuh biar tidak tenggelam.
Saat kepanikan mencapai puncak, tiba-tiba ombak besar datang. Reflek saya adalah menyelam menghindari ombak. Begitu ombak lewat saya muncul. Saya lupa, jika saya menyelam saat ombak datang berarti saya justru semakin menjauh dari pantai. Menyadari itu saya tambah panik. Saya melihat orang-orang di pantai itu sudah sangat jauh sekali rasanya. Pingin nangis rasanya. Membayangkan betapa tak enaknya jika harus tenggelam. Rasa takut sudah menyergap pada diri saya. Saat sedang kalut tiba-tiba ombak besar datang lagi. Tidak mengulangi kesalahan sebelumnya, saya melompat menyambut ombak itu dengan tubuh saya. Byaar..ombak menyapu tubuh saya. Saat diterjang ombak itu saya berusaha untuk tetap dalam posisi yang terkontrol. Artinya saya berusaha untuk tidak tenggelam. Ternyata ombak itu tidak sampai di pantai. Namun saya sudah senang karena sudah menjauh dari tengah laut. Posisi saya sudah di tempat awal saya berenang. Banyak yang lain berenang di sekitar itu. Sambil menata nafas dan juga hati, saya tetap berenang menjaga tubuh agar tidak tenggelam. Begitu muncul ombak lagi saya langsung sambut ombak itu dengan tubuh saya. Tak berapa lama saya sudah terdampar di bibir pantai. Saya berjalan keluar dari air laut menuju pantai. Kaki rasanya kesemutan. Mungkin wajah saya nampak pucat saat itu. Namun karena tertutup oleh warna kulit yang beku kedinginan jadi tidak begitu nampak. Yang pasti hati saya sudah kecut sekali. Lepas dari laut saya duduk di bawah gubuk yang banyak berdiri di sepanjang pantai. Saya oleh Lek Jilah diberi roti dan the hangat dalam plastik. Rasanya nikmat sekali saat itu. Jika saya terseret ombak laut selatan, pasti saat itu saya sudah tidak bisa lagi makan roti dan minum the lagi.
Peristiwa itu tidak saya ceritakan ke yang lain. Pakaian yang melekat di tubuh basah semua oleh air laut asin. Rasanya lengket di badan. Saya mandi ke pancuran air dari rumah warga yang tidak asin. Saya samarkan kejadian tragis tadi dengan bermain-main di pegunungan pasir, sambil mengeringkan pakaian yang basah. Tak berapa lama kaos dan celana saya sudah kering. Sengatan matahari di pantai sangat cepat menguapkan air. Jam 3 sore ba’da ashar, kami meninggalkan pantai. Dalam perjalanan saya baru menceritakan peristiwa di laut tadi kepada Karno. Mendengar saya hampir tenggelam di laut, Karno kaget. Dia tidak tahu kalau saya mandi di laut sebegitu jauhnya meninggalkan pantai. Saya pesan ke dia supaya tidak menceritakan hal itu kepada ibu atau bapak. Saya saat itu bilang kapok mandi di laut lagi. Dan memang setelah itu jika saya ke Parangtritis, saya tidak berani lagi mandi di laut. Apalagi sudah ada papan pengumuman yang dipasang di pantai dengan tulisan besar-besar warna merah : DILARANG MANDI DI LAUT. BERBAHAYA!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar