Sabtu, 04 Desember 2010

Listrik Kampung

Listrik Kampung

Kalau saat ini Dahlan Iskan selaku dirut PLN sedang getol-getolnya memperbaiki perlistrikan Indonesia itu adalah hal yang wajar. Sebab memang jaringan listrik yang mampu menghidupkan berbagai kebutuhan mendasar manusia itu saat ini selayaknya sudah menjadi kebutuhan primer, setara dengan sembako. Hampir semua kegiatan manusia berhubungan dan memerlukann listrik. Semoga saja seluruh rakyat Indonesia segera dapat menikmati listrik. Bisa dipahami karena bumi Indonesia itu sangat-sangat luasnya dan beragam tingkat kemajuan peradabannya. Masih banyak dijumpai suku di sudut pulau luar Jawa yang belum tersentuh kemajuan teknologi, termasuk listrik. Jangankan di luar Jawa. Saya yang tinggal di sentral Jawa, Jogjakarta Hadiningrat pusatnya budaya dan peradaban Jogja baru menikmati listrik pertengahan tahun 1990. Mungkin tidak dapat dipercaya di desa saya yang tidak jauh dari kota Jogja baru mendapatkan akses jaringan listrik tepat sehari menjelang saya menempuh ujian pra ebta sekitar bulam Mei 1990. Dusun saya Kepuh Lor, Desa Wirokerten, Banguntapan Bantul Jogja, berjarak tidak lebih dari 8 Km dari Kotagede yang legendaris dengan kerajian perak dan juga pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Hanya berjarak sekitar 4 Km dari monumen Ngoto, tempat jatuhnya pesawat yang dipiloti oleh Adisucipto. Juga hanya sekitar 5 Km dari Sanggrahan yang sangat terkenal di kalangan kaum pencari kepuasan bawah perut. Tetapi faktanya, baru pertengahan tahun 1990, saya dan warga dusun bisa menikmati listrik. Saya tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi. Bahkan jika dibandingkan dengan penduduk di lereng pegunungan Muria di Kudus pun kalah jauh dalam urusan perlistrikan ini. Menurut warga di sana, mereka sudah mendapatkan jaringan kabel listrik sejak awal tahun 1980, berarti dusun saya yang masih sangat dekat dengan kota tertinggal satu decade dengan dusun di lereng gunung yang lebih dekat dengan batu. Kutho cerak karo ratu, gunung cerak karo watu, kata orang Jawa. Namun dekat dengan ratu tidak menjamin lebih cepat mendapatkan kemudahan dalam urusan perlistrikan ini.
Untuk urusan listrik, sebenarnya dusun saya sejak akhir tahun ‘70an sudah mengenal jaringan listrik tegangan tinggi atau yang disebut dengan sutet itu. Beberapa meter dari rumah saya berdiri tower yang sangat tinggi yang di atasnya menggantung 4 kabel listrik bertegangan tinggi. Tower itu dibangun saat saya masih duduk di TK. Waktu itu beberapa orang dari PLN menggali empat lubang selebar sumur dengan kedalaman lebih dari 10 meter. Kemudian secara bertahap dipasang tiang-tiang besi membentuk tower dengan pondasi di dalam 4 lubang yang sudah digali. Beberapa hari pemasangan tiang-tiang besi itu selesai membentuk tower yang nampak sangat tinggi. Warga dusun dan terutama anak-anak memanfaatkan tower itu untuk bermain. Bahkan ada yang sengaja memanjat sampai atas untuk menerbangkan layang-layang, atau bahasa lokalnya ngundho layangan. Meskipun bagi sebagian anak, tower itu memberikan inspirasi dalam bermain, namun bagi saya menyimpan kengerian dalam di hati. Saya akan mengalami ketakutan jika berjalan melewati bawah tower itu. Tiap sore atau malam bapak selalu mengajak saya ke warung mbah Mar untuk membeli bakmi godhog atau yang lain. Saya selalu merapat kemudian memegang erat tangan bapak saat tepat berjalan di samping tower itu yang memang hanya berjarak kurang dari 2 meter dari jalan. Dalam diri saya muncul kekhawatiran jika tower itu tiba-tiba roboh. Ketakutan yang menurut saya saat ini menggelikan, tetapi bagi anak seusia TK saat itu ya masih bisa diterima.
Selang beberapa waktu kemudian, tidak sampai 1 bulan setelah tower berdiri, datang truck yang memuat gulungan kabel yang sangat banyak jumlahnya. Kabel itu kemudian ditarik dari tower satu ke tower lain. Oleh orang-orang PLN kabel-kabel itu dipasang di atas tower. Namun pemasangan seperti apa saat itu, saya tidak berkempatan melihatnya. Yang saya lihat sepulang sekolah TK, tower itu sudah memiliki kabel yang terhubung dengan tower-tower lain. Waktu kabel belum dipasang di atas tower, masih menjalar di tanah kabel itu juga menjadi ajang bermain. Kabel itu ditali dengan berbagai macam benda, plastic, kawat, daun dan yang lain. Benda-benda yang diikatkan pada kabel itu akan terbawa bersama dengan kabel yang terseret. Saya dan teman yang lain berlomba mengikat benda apapun ke kabel itu sebanyak-banyaknya.
Ketika tower-tower sutet itu sudah berfungsi, kami warga dusun Kepuh Lor tidak bisa menikmati aliran listrik yang lewat di atas dusun kami. Listrik bertegangan tinggi itu sekedar lewat saja di atas kepala kami, tidak peduli dengan warga di bawahnya yang sangat ingin dusunnya diterangi listrik. Malah burung nerpati saya yang menikmati betul-betul menik mati. Merpati saya mati oleh tower sutet itu. Saya biasa melepas merpati dari ujung dusun tepatnya di prapatan. Merpati saya itu tidak mampu menukik tajam. Namun saya sempat heran begitu dari jauh saya lihat merpati saya menukik sangat tajam bahkan ekstrim dengan kemiringan hampir 90*. Namun ternyata bukan karena kemampuan merpati saya meningkat drastis. Tukikan tajam sempurna itu dikarenakan merpati saya menabrak kabel listrik bertegangan tinggi kemudian terjatuh dan mati seketika. Jatuhnya merpati dilihat dari jauh itu seperti aksi menukik merpati yang terlatih. Saat saya ambil persis di bawah kabel yang melintang di atas dusun Kepuh Lor, kondisi merpati itu sudah tewas mengenaskan dengan luka gosong di leher.
Memasuki pertengahan tahun ‘80an saat dusun kami menyelenggarakan turnamen bola volley yang mendatangkan klub-klub bola volley se Jogjakarta, wacana mewujudkan penerangan listrik juga digulirkan. Selaku bendahara turnamen, bapak menginginkan hasil keuntungan dari penyelenggaraan turnamen itu digunakan untuk membeli tiang listrik, sehingga jaringan listrik dapat sampai ke dusun Kepuh Lor. Meskipun turnamen itu sukses, karena memang saat itu pertandingan volley masih merupakan tontonan favorit. Pertandingan volley mampu menyedot penonton sangat banyak. Karena yang bertanding adalah klub-klub volley yang cukup terkenal semacam Yuso, Pertamina, Mataram Timur, Baja 78 dan sebagainya. Juga ada beberapa pemain nasional yang turut bertanding memperkuat klubnya. Pemasukan dari karcis masuk dan juga sponsor saat itu mampu memberikan keuntungan yang besar. Namun lagi-lagi keinginan untuk segera mendapatkan listrik tidak dapat diwujudkan. Menurut bapak, tidak ada kata sepakat menggunakan hasil keuntungan turnamen untuk mewujudkan listrik bagi dusun kami. Saya tidak peham persis bagaimana alotnya pembahasan saat itu, namun yang pasti listrik yang sudah diharapkan masuk dusun kami tidak jadi, batal, urung menyala.
Upaya mendapatkan energi listrik akhirnya pupus sudah. Kami harus mengandalkan aki (bunyi tulisan accu) untuk menyalakan tv, mengandalkan minyak tanah untuk penerangan, dan tentu arang untuk menyeterika. Saya masih ingat betapa dongkolnya saat asyik-asyiknya nonton film minggu siang tiba-tiba akinya habis. Kami harus pontang-panting lari ke rumah tetangga untuk melanjutkan nonton combat yang saat itu jadi film favorit selain film raksasa. Celakanya di dusun saya yang saat itu memiliki tv hanya ada dua orang, bapak saya dan budhe. Namun rumah budhe itu tidak tv diletakkan di ruang dalam dan memang tidak untuk umum. Jadi kami harus lari meyeberang sungai ke dusun Kepuh Kulon sekedar untuk melihat combat hingga kelar. Tetapi kalau film londen (maksudnya film little housenya Michael London) kami tidak begitu antusias meskipun aki habis ya sudah tidak perlu lari-lari seperti halnya film combat atau raksasa. Untuk penerangan masih mengandalkan lampu teplok, dan petromak. Mungkin keluarga saya satu-satunya yang selalu menyalakan petromak setiap hari. Baru setelah jam 9 malam petromak dimatikan dan yang tetap menyala adalah lampu teplok. Sebagai anak tertua saya yang ditugaskan menjabat menteri penerangan yang bertanggung jawab terhadap penerangan dalam rumah. Kewajiban menyalakan teplok dan petromak itu rutin setiap menjelang magrib. Sehingga ketika saatnya harus menyalakan lampu saya masih asyik bermain, pasti ibu sudah mencari dan nyuruh segera menyalakan lampu. Untuk stok minyak tanah, biasanya ibu berlangganan kepada pak Pringgo, pemilik warung kelontong terlengkap di Kepuh Kidul saatn itu. Biasanya sekali anter sekitar 40 liter, yang kemudian dituangkan dalam ember plastic besar. Urusan merapikan baju dengan seterika juga tak kalah ribetnya. Menyiapkan seterika hingga siap dipakai bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan perjuangan ekstra agar arang di dalam seterika itu bisa menjadi bara sesuai harapan. Kadang api abru menyala sebentar kemudian mati, sehingga arang masih dalam keadaan semula. Cara jitu adalah dengan mengguyur minyak tanah, kemudian saat api masih menyala dikipasi perlahan-lahan hingga nampak bara merah di tiap-tiap bongkahan arang. Resikonya memang sedikit terasa aroma minyak tanah. Belum resiko terbakar, atau baju jadi meleleh jika tingkat kepanasannya sudah sangat tinggi. Begitu seterika diletakkan di baju langsung lengket, dan dijamin baju sudah tidak bisa dipakai. Itu kalau seterika yang dipakai masih seterika besi yang berat yang umumnya merk jago, yang pengaitnya memang berbentuk jago. Namun jika seterika dari kuningan yang lebih kecil dan ringan, resiko tadi bisa lebih diminimalisir. Karena ribetnya, saya kadang membawa baju seragam SMA saya ke rumah Memet di Kanggotan ketika berangkat belajar bersama. Malam diseterika, pagi dipakai sekolah.
Kehadiran listrik mampu mengatasi segala keribetan itu. Dan memang selayaknya listrik dapat dinikmati oleh seluruh warga Negara tanpa kecuali, tentu dengan harga yang murah. Saya tidak mau ikut pusing mengkalkulasi biaya produksi, harga jual, subsidi dan tetek bengek lainnya. Mauku sederhana, listrik menyala, kalau bisa malah menyala terus, terang terus sepanjang masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar