Sabtu, 25 Desember 2010

Sengatan Misterius

Kebiasaan mencoba sesuatu yang baru bagi kami sepertinya memberikan tantangan yang selalu harus dilakukan. Saya mendengar cerita bahwa di Segoroyoso Pleret ada sebuah gua, yang di dalamnya terdapat sumber air. Terdorong oleh rasa penasaran, saya dan Agus ingin melihat dan membuktikan. Kali ini tidak mengandalkan capunk merah Agus. Kami hanya bersepeda sejenis BMX. Hanya sejenis saja, karena memang bukan sepeda BMX, hanya sepeda mini yang sudah dicopot sana-sini hingga minimalis sekali. Berangkat dari Kepuh pagi hari sekitar jam sembilan. Melewati Pleret terus ke selatan masuk Kedaton, ke timur hingga melewati jembatan yang melintasi sungai Opak. Sungai ini konon merupakan semacam jalan tol bagi para tentara penguasa laut selatan ketika defile menuju gunung Merapi. Bagi Jogjakarta, gunung Merapi, Laut Kidul dan sungai Opak adalah tiga unsur yang sangat penting.
Dari atas jembatan, nampak aktifitas penduduk sekitar yang sedang mencuci dan juga menjemur kulit. Kulit dari binatang berkaki empat seperti kuda, sapi, kerbau dan juga kambing yang sudah dipotong kecil-kecil. Kami menyebutnya dengan krecek. Krecek baisanya dimasak dicampur dengan potongan daging atau daging giling yang dibentuk bulat-bulat kecil. Masakan yang disebut dengan sambel krecek itu merupakan jenis masakan yang saya sukai. Tetapi biasanya hanya dimasak ketika sedang memiliki hajad baik pernikahan atau hajadan lain. Setelah melewati sungai, kami menyusuri jalan di sisi perbukitan. Hanya beberapa menit kami berhenti dan meletakkan sepeda di kebun pinggir jalan. Saya dan Agus menyeberang jalan dan berjalan naik mengikuti jalan setapak. Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di lokasi yang dimaksud.
Gua yang dikabarkan orang itu memang benar adanya. Di depan kami berdua ada sebuah lobang besar menyobek dinding bukit. Lobang gua itu dari tempat kami berdiri, nampak seperti setengah lingkaran, semacam penggaris busur yang dipakai untuk menentukan besarnya sudut. Cukup besar. Saya mendongak ke atas tidak kurang dari sepuluh meter tingginya. Saya berdua mendekat. Kemudian mencoba melihat ke bawah. Di bawah dalam kedalaman yang tidak dapat saya terka, nampak samara-samar kilauan air. Dari sisi dinding tebing, ada semacam tangga yang memang diperuntukkan untuk turun. Agus mengajak saya turun. Namun entah mengapa saat itu nyali saya benar-benar raib. Ketika tadi saya melihat ke bawah itu, saya melihat asap putih yang tiba-tiba muncul dari bawah. Saya sayup-sayup juga mendengar suara-suara yang tidak jelas. Entah Agus melihat itu atau tidak. Yang jelas penampakan dan suara itu yang mencegah saya untuk turun. Tanpa saya, Agus turun sendirian. Saya melihat dari atas Agus menuruni tangga itu satu per satu. Sekitar sepuluh menit kemudian dia berteriak : “Wan, mudhun mrene adus”. Saya menjawab berteriak : “Emooh...”. Saya di atas sendirian menunggu Agus yang masih di bawah gua. Ada perasaan yang tidak enak saat saya memandang gua itu dari tempat saya duduk. Mungkin karena sendirian di bawah, Agus segera naik. Apakah dia juga takut saat di bawah, saya tidak mengetahuinya. Sampai di atas saya lihat Agus ngos-ngosan. Setelah istirahat sebentar kami berdua turun. Dari omongan Agus, di bawah gua memang ada sumber air semacam kolam yang kemudian dibuat sekat-sekat untuk mandi dan keperluan lain. Di bawah katanya gelap. Saat melihat ke atas yang nampak hanya lobang yang mengalirkan sinar matahari. Namun sinar itu tidak sampai bawah sehingga di dasar gua tetap gelap.
Sampai di sungai, saya mengajak Agus untuk mandi. Saat itu sungai Opak sedang tidak meluap sehingga air nampak jernih. Tidak tahu mengapa jika melihat sungai saya maunya terjun dan mandi di sungai itu. Padahal jika dilihat dari topografinya, sungai Opak memiliki kedalaman yang dalam. Ada palung sungai yang mengalirkan airnya dalam kondisi biasa. Palung itu memiliki kedalaman sekitar lima meter. Jadi dalam kondisi normal, jika ingin mandi kita harus turun dulu di bibir palung, kemudian baru meloncat ke air. Namun jika air meluap, maka palung itu akan terendam semua. Kiri kanan palung selebar lima meter juga terendam. Jadi sungai yang mengalirkan air dari gunung Merapi itu lebarnya lebih dari sepuluh meter. Saya pernah mandi di sungai Opak dalam kondisi sungai yang seperti itu. Maka melihat sungai yang mengalir biasa dan jernih itu, saya tergerak untuk mandi di dalamnya. Setelah meletakkan sepeda dan melepas kaos, dengan masih bercelana pendek saya dan Agus langsung masuk ke sungai. Berendam di air yang mengalir cukup deras. Di pinggir sungai saya melihat ada batang pisang yang tersangkut. Lebih dari tiga batang yang hanya muter-muter di pinggir sungai. Saya dan Agus kemudian mengambilnya dan menjadikannya sebagai pelampung. Dua tangan memegang ujung batang depan, badan di atas batang, kaki di belakang bergerak mendayung menjadikan kami leluasa mengarungi arus sungai. Ternyata batang pohon pisang itu selain membuat saya senang, juga menjadikan sumber malapetaka.
Sedang asyik mendayung pelampung, tiba-tiba tangan kiri saya terasa sangat sakit. Sakit oleh suatu sengatan yang tidak saya ketahui oleh binatang jenis apa. Yang jelas tulunjuk kiri saya sakitnya luar biasa. Batang pisang saya lepaskan, kemudian dengan sekuat tenaga saya berenang menepi. Begitu sampai di tepi saya berteriak ke Agus : “Gus aku dientup kalajengking!” Hanya asal berteriak menyebut kalajengking. Soalnya saya tidak tahu binatang apa yang kurang ajar itu. Saya pegangi tangan kiri saya yang terasa kaku. Agus setelah sampai di dekat saya mengambil sapu tangan dan mengikat lengan kiri saya dengan sapu tangan itu. Diikat begitu tangan saya terasa semakin kaku. Tangan kiri saya tidak bisa saya luruskan. Sakit itu semakin menjadi. Senut-senut tidak karuan. Rasanya seperti saat digigit kupu beracun di sore hari itu. Dengan tangan dibebat, saya mengambil sepeda dan mengendarainya dengan satu tangan kanan. Tangan kiri tidak mampu menjangkau stang karena tidak dapat diluruskan. Sambil menahan sakit saya terus menggenjot sepeda. Namun ternyata setelah sakitnya mencapai puncak, kemudian mulai reda. Ketika sampai di Jambidan, dusun sebelah timur Kepuh rasa sakit itu sudah sangat berkurang. Tangan juga sudah mulai tidak begitu kaku lagi. Sampai rumah meski masih sedikit ada rasa nyeri, namun sudah tidak saya rasakan. Hingga sekarang saya masih belum mengetahui jenis binatang apa yang menyengat saya. Namun demi sebuah gengsi dan biar terlihat gagah, saya mengklaimnya sebagai sengatan kalajengking. Padahal yang sebenarnya sengatan itu masih misterius hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar