Jumat, 10 Desember 2010

Porbika I

Sejak kecil saya sudah senang dengan olah raga beladiri. Alasannya karena senang melihat orang bisa berantem dan menang, kelihatan gagah, heroik dan laki-laki benaran. Selain itu pengaruh film-film laga baik film lokal maupun film Mandarin yang saya sebut sebagai film Chino ngamuk. Pemain film laga lokal yang cukup terkenal saat itu Barry Prima, Advent Bangun, Geoger Rudy dan lainnya. Sedangkan pemeran film Chino ngamuk yang sering saya lihat adalah Liu Tek Hua yang kemudian jadi Andy Lau, Ti Lung, Chen Lung yang menjadi Jacky Chan, Samo Hung dan lainnya. Sedangkan Bruce Lee saya belum pernah nonton di bioskop. Film Bruce Lee hanya bisa dilihat di video sewaan saja. Semua film Bruce Lee sudah saya lihat, dan dialah idola untuk urusan jotosan ini.
Dari keluarga juga sebenarnya mengalir darah pendekar. Pak Tuwo, mbah saya dari ibu, selain tokoh kethoprak juga pelatih dan memiliki padepokan perguruan silat dengan banyak murid. Saya sering mendengar cerita mengenai sepak terjang Pak Tuwo ini dari tetangga-tetangga. Namun Pak Tuwo tidak mau menurunkan kemampuan silatnya kepada saya, meskipun saya adalah cucu kesayangannya. Pak Tuwo hanya minta kalau mau belajar bela diri ikut saja perguruan yang ada.
Saya pertama ikut latihan beladiri waktu saat kelas 4 SD. Saat itu ada tetangga yang umurnya beberapa tahun lebih tua dari saya, Harjiu namanya, yang biasa dipanggil Jiu atau Gedud. Dia ikut latihan karate di Kota Gede. Karena baru awal-awal ikut, maka dia memiliki kepedean yang cukup lumayan. Meskipun baru beberapa bulan latihan dia sudah mengajak anak-anak berumur di bawahnya termasuk saya untuk ikut latihan karate. Tempat latihan di lapangan volley dekat rumah saya. Lapangan volley di kampungku menggunakan kebun milik mbak Jazim bulik saya. Latihan karate dilakukan malam hari sepekan sekali setiap sabtu. Cukup banyak yang ikut, belasan anak tapi persisnya berapa saya lupa. Saya dan yang lain dibariskan dengan jarak antar anak cukup lebar, dan kemudian oleh Jiu diberikan latihan pemanasan beberapa saat. Jiu juga memberikan contoh gerakan yang kemudian ditirukan, mulai kuda-kuda dan juga pukulan. Dengan gaya mirip-mirip pelatih Jiu kemudian memberikan aba-aba dengan teriakan lantang kuda-kuda dan yang lain. Juga teriakan yang menurut kadar telinga saya terdengar sebagai, cu dang cu ki, jirijemi dan lainnya saya tidak ingat. Saya dan anak-anak lain juga bergerak sesuai aba-aba Jiu. Karena dilakukan di malam hari tanpa lampu penerang, gerakan yang dilakukan jelas tidak bisa dikontrol benar atau salah. Namun bagi saya saat itu yang penting keras berteriaknya maka sudah dianggap benar. Ternyata latihan model seperti itu tidak bisa berlangsung lama. Seingatku saya hanya ikut sekali itu dan selanjutnya tidak pernah ikut lagi. Dan sepertinya yang lain juga sama, tidak ada anak-anak yang ikut latihan.
Kelas 5 SD saya diajak Isul, teman SD yang sekarang jadi Lurah Wirokerten untuk ikut latihan bela diri Tapak Suci di Kotagede. Latihan juga dilakukan malam hari. Karena tidak punya seragam saya dipinjami celana silat warna putih oleh Odin. Seragam latihan masih bebas, yang penting celana silat dan berkaos. Berangkat bersama-sama dari Glondong bersepeda. Ada beberapa anak, namun yang saya ingat cuma saya, Isul dan Odin. Tempat latihannya saya sudah tidak ingat perisnya, tetapi kalau tidak salah di utara kantor pos Kotagede, toko silver HS masuk gang ke timur. Ada sebuah aula seluas sekitar 150 meter persegi di samping rumah. Pelatihnya masih muda, kulit kuning, rambut lurus dan badan langsing tidak seperti orang yang jagoan berantem. Namanya tidak tahu siapa, sepertinya saat itu tidak sempat menanyakan nama. Latihan dimulakan dengan berdoa, kemudian pemanasan dan dilanjutkan latihan jurus. Setelah mempelajari jurus, kemudian duduk membuat lingkaran, untuk latihan body contac. Dua orang berdiri kemudian memberi hormat pada pelatih dan berantemlah mereka. Saya sudah mulai deg-degan, soalnya baru ikut sekali latihan sudah langsung berantem. Tapi saya nekat dan siap-siap pakai jurus ngamuk yang penting bisa mukul atau nendang. Ternyata latihan itu hanya berlangsung untuk 3 pasang saja. Setelah 3 kali diperagakan adu jotos oleh 6 orang, sesi itu diakhiri dan sekaligus mengakhiri latihan hari itu. Latihan di Kotagede ini juga tidak berlangsung lama. Seingat saya tidak sampai 10x saya ikut latihan. Faktornya karena dilakukan malam, sehingga sampai rumah sudah jam 10 malam. Saat itu jam segitu sudah sangat gelap. Maka penyakit malasnya muncul dan menyerang dengan sangat hebat. Ketika latihan itu sudah tidak saya ikuti lagi, namun celana milik Odin belum saya kembalikan masih tersimpan dalam kondisi bersih.
Kelas 6 saya diajak Limpung ikut latihan beladiri di Balai Desa Potorono. Dengan bekal celana milik Odin yang masih saya simpan dan kaos saya berangkat dengan Limpung ke Balai Desa Potorono. Sebelumnya mampir ke Dusun Balong untuk menghampiri Sulis, seorang kerabat Limpung yang sudah mendaftar duluan. Nama perguruan itu Porbika kalau tidak salah Persatuan Olah Raga Beladiri Karate. Pendirinya adalah para tentara TNI AD, katanya dari garnizun Sleman. Tetapi sebenarnya bagaimana saya tidak tahu. Yang jelas perguruan itu pusatnya di Sleman, sedangkan di Potorono adalah cabangnya. Waktu latihan pertama hanya ditanyakan namanya dan kemudian diminta ikut langsung latihan. Saat itu ada sekitar empat puluh orang baik laki maupun perempuan. Rata-rata masih muda, dan saya yang paling muda. Pelatihnya saat itu adalah Suhadi dan Darno dari Nggandu Berbah. Ada satu lagi saya lupa namanya yang jelas dia kakaknya Darno. Ada teman yang sampai sekarang masih saya ingat, yaitu Kelik panggilannya anaknya Pak Lurah Potorono yang sekolah SMPN Baturetno, tempat saya sekolah kemudian.
Latihan yang diajarkan dasarnya adalah karate, namun katanya perguruan ini bukan hanya mengajarkan karate. Berbagai seni beladiri digabungkan dan diajarkan mialnya jiu jitsu, yudo bahkan gulat. Makanya di ujung sabuk ada tulisan kajigawa yang katanya bermaksud karate,jiu jitsu, gulat dan yudo. Tetapi kok tidak pas rasanya akronim itu. Biarlah namanya juga singkatan yang penting menarik saja. Berbagai gerakan diajarkan yang dibedakan menjadi jurus dan kombinasi. Tahap awal adalah gerakan dasar semacam kuda-kuda, cara menggenggam tangan, memukul dan menendang. Setelah itu baru diberikan latihan jurus yang disebut dengan jurus dan kombinasi. Jurus satu diajarkan pertama, kemudian jurus dua dan seterusnya. Setelah jurus baru diajarkan kombinasi satu, kemudian kombinasi dua dan seterusnya. Saya juga belum bisa membedakan antara jurus dan kombinasi, sebab sepertinya sama saja. Ohnya sebelum latihan ada ritual doa. Kami duduk bersila berjajar. Pelatih di depan menghadap kami. Kemudian kami mengatur pernapasan dengan mengambil dan membuang napas dalam-dalam. Setelah cukup kemudian berdoa menurut keyakinan masing-masing. Dan saya kira semua Islam, karena saat itu non muslim jarang di antara kami. Selesai doa kami kemudian berdiri dengan cara meloncat dari posisi duduk dan berteriak yaa’ dengan keras. Itu ritual yang selalu saya ingat. Salah satunya saat ada acara di Kalurahan Potorono, kami dilibatkan untuk menjadi pengaman sekaligus pendamping sisi kiri kanan pembicara di panggung. Tidak tahu apa alasannya kok kami mesti naik di panggung mendapingi para bapak yang sedang pidato. Meski begitu rasanya ya bangga saja, menggunakan uniform beladiri dan berdiri tegak di belakang kanan kiri pejabat desa, mirip ajudan presiden saat pidato itu. Saat kami persiapan di aula balai desa, kami duduk untuk berdoa dan selesai kami berdiri meloncat dan berteriak yaa’ itu orang-orang pada kaget dan kemudian melihat kami. Wah saat itu rasanya bagaimana gitu.
Kejadian yang tidak mungkin lupa adalah saat saya latihan menggunakan celana Odin yang memang sudah buluk dan mungkin lapuk. Saat melakukan latihan tendangan, saking semangatnya saya melakukan tendangan dengan melemparkan kaki tinggi-tinggi. Dan untuk gerakan tendangan ini saya memang mendapat pujian dari pelatih, sebagai tendangan bagus. Saat itu saya betul-betul pol menendangnya dan tanpa diduga terdengar suara prĂȘt wek dari selangkangan saya. Tentu semua mencari dan melihat sumber suara. Dan saya sumbernya. Celana Odin sobek persis di selangakangan. Karuan semua pada tertawa yang tidak terbendung. Saya yang jadi obyek tentu saja merah padam. Untungnya saya masih menggunakan celana pendek warna hijau jadi masih mampu menahan isi celana untuk tidak melesat keluar. Tak terbayang jika saya tidak pakai celana dobel, atau malah sama sekali tidak pakai celana dalam. Karena sudah terlanjur malu, saya tetap ikut latihan dengan celana sobek itu hingga selesai. Begitu selesai celana saya lepas dan saya buang. Saya pulang hanya bercelana pendek dan berkaos. Baru setelah itu saya membuat celana latihan dari kantong gandum. Karena hampir semua saat itu menggunakan seragam latihan berbahan kantong gandum. Hanya satu dua orang itupun pelatih yang menggunakan seragam latihan yang bagus beli di toko olah raga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar