Selasa, 21 Desember 2010

Pra Ebta I ( Tragedi Nasi Bungkus )

Kelas 3 SMP menjelang akhir ujian nasional yang dulu dikenal dengan EBTANAS, pihak sekolah mengadakan les tambahan bagi seluruh siswa. Les dilakukan siang hari setelah selesai jam sekolah. Siswa tidak pulang, namun menunggu jadwal les di sekolah yang dimulai jam 2. Pelaksanaan les untuk siswa ini benar-benar sudah dipersiapkan secara matang. Selain guru yang memberikan tambahan bimbingan belajar sesuai dengan bidang studinya, logistik berupa konsumsi pun disiapkan. Jadi siswa tidak perlu membawa bekal makan, karena pihak sekolah sudah menyiapkan makan untuk siswa. Betul-betul pengorbanan yang patut mendapat apresiasi. Saya hingga sekarang masih belum lupa bagaimana para guru itu menjadi relawan masak bagi sekitar 103 siswa. Suatu pekerjaan yang tidak ringan. Dan itu rencananya akan dilakukan setiap hari selama pelaksanaan les kurang lebih satu bulan.
Upaya keras dan ikhlas para guru demi siswanya, ternyata tidak mendapatkan respon yang semestinya. Hari pertama pelaksaan les, konsumsi yang disiapkan berupa nasi bungkus. Tiap kelas mendapatkan jatah nasi bungkus sesuai jumlah siswa. Dalam hal distribusi ini sama sekali tidak timbul masalah. Ketua kelas mampu mendistribusikan kepada semua siswa di kelasnya. Persoalan timbul ketika mulai membuka makanan dalan bungkus. Setelah beberapa suap menelan nasi bungkus itu, sebagian siswa kemudian meletakkan nasi bungkus itu. Satu siswa mengeluh nasinya keras. Siswa lain menyahut dan mengamini. Akhirnya terbentuk jama’ah yang memiliki kesamaan pemahaman bahwa nasi bungkusnya keras dan tidak enak. Reaksi atas nasi keras yang kemudian muncul, sungguh tidak terduga. Jika sebatas tidak memakannya dan kemudian membuangnya secara diam-diam ke tempat sampah, itu masih sangat wajar. Sisa nasi bungkus atau bahkan yang masih utuh, tetapi sudah dibuka itu tidak dibuang di tempat sampah. Mereka digantung di ranting-ranting pohon, di paku-paku tembok, di tempat-tempat yang memungkinkan untuk menggantungkan bungkusan nasi yang tak berdosa tapi naas itu. Jadilah parade nasi bungkus yang menggantung hampir di tiap sudut sekolah. Bungkusan nasi itu dapat dijumpai di depan sekolah, menggantung di ranting pohon akasia, di atas tumbuhan tetehan, di sela-sela tulisan SMPN Baturetno, di tiang bendera, di pintu kelas, di tower air, termasuk di kamar mandi dan WC. Suatu pemandangan yang benar-benar tak terduga. Itu hasil dari demo yang juga tidak terencana, namun sangat anarkhis meskipun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Tetapi efek yang ditimbulkan oleh demo anak-anak berseragam biru putih itu membuat shock para guru. Saya sempat melihat ibu guru (saya tidak sebutkan namanya) mantan wali kelas saya di kelas IA yang terlihat menangis di salah satu ruang kelas. Beberapa guru umumnya yang ibu menampakkan wajah dengan ekspresi yang susah diinterpretasikan. Kecewa, marah, nelongso dan lainnya mengumpul dalam satu wajah.
Melihat demo siswa yang begitu anarkhis, tentu para guru harus mengambil langkah radikal. Namun namanya guru, para beliau tetap menempatkan siswa bagai anaknya sendiri. Bertingkah apapun tetap diberikan kasih sayang yang tidak pernah berkurang. Langkah kepala sekolah yang waktu itu dijabat selaku pjs JT Santosa, mengubah pelayanan konsumsi siswa dengan cara prasmanan. Suatu langkah pelayanan yang tak pernah pudar dari para pejuang tanpa tanda jasa. Bukti bahwa para guru memiliki komitmen yang sangat tinggi demi keberlangsungan pendidikan anak didiknya. Maka pada hari berikutnya, acara makan setelah selesai jam sekolah dipusatkan di laboratorium. Nasi, sayur, lauk dan piring serta sendoknya diletakkan di meja praktikum. Kursi-kursi ditata di meja-meja permanent yang terletak di semua sisi laboratorium. Suatu strategi yang sangat jitu. Demo anarkhis para siswa sehari sebelumnya langsung bisa dipadamkan. Mereka dengan tertib dapat digiring menuju laborat untuk mendapatkan jatah makan. Entah kebetulan atau memang disengaja, menu makan siang saat itu menurut saya cukup enak. Kami mengambil sendiri nasi, sayur dan lauknya. Nasinya tidak lagi keras, sayurnya juga enak, ditambah lauk sepotong ayam goreng. Sangat signifikan untuk mengisi perut yang memang sudah waktunya minta diisi. Ternyata menyelesaikan persoalan tidak bisa lepas dari urusan hal ihwal kebutuhan perut. Strategi memenuhi kebutuhan perut inilah yang kemudian mampu menopang kegiatan les tambahan belajar bagi semua siswa hingga menghadapi praebta, ebta dan ebtanas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar