Jumat, 17 Desember 2010

Pemburu Kersen

Kami lebih mengenal bandara Adisucipto dikenal dengan istilah Mbadhug atau Meguwo. Itu karena lokasi bandara yang berada di Maguwoharjo di dusun Mbadhug. Mendengar kata Mbadhug yang terbayang saat saya masih kecil adalah sebuah tempat di atas awan, tempat kapal terbang berhenti. Suatu definisi imajinatif yang absurd dan jauh dari kenyataan. Namun namanya juga anak kadang daya fikir dan daya nalar masih berbasis kira-kira.
Meskipun nama Mbadhug begitu lekat di telinga dan juga dekat secara geografis, namun saya belum pernah masuk ke tempat mendaratnya pesawat yang membawa turis lokal maupun dari manca itu. Saya juga tidak paham di mana terminal 1 terminal 2 dan sebagainya. Bahkan sampai hampir umur 40 tahun ini belum pernah sekalipun saya naik pesawat. Sungguh.
Ketika kelas 1 SMP, saya mempunyai urusan dengan Mbadhug karena di sana ada kolam renang, tempat saya beberapa kali mandi. Istilah mandi lebih tepat sebab memang saya tidak berlatih belajar teori maupun teknik berenang di sana. Kegiatan renang di Mbadhug biasanya saya lakukan saat liburan sekolah. Dengan bersepeda, saya dan beberapa teman kampung menuju kolam renang yang berada tidak jauh dari tempat landing pesawat militer AU. Adisucipto selain sebagai bandara udara juga merupakan pangkalan militer AU, juga tempat Akademi Angkatan Udara. Berangkat dari rumah jam tujuh pagi, satu jam lebih baru sampai di lokasi. Setelah melewati beberapa blok asrama tentara AU, akan ketemu kolam renang yang tidak begitu luas, berada di pinggir jalan dengan posisi di bawah bahu jalan. Jadi kami harus turun dulu dari jalan semacam lereng yang agak landai. Di sebelah kolam tumbuh pohon beringin besar dan juga ada gua Jepang yang tidak begitu dalam. Kata teman saya yang tinggal di asrama, banyak sekali gua Jepang di area pangkalan militer.
Selain terdapat kolam renang, di Mbadhug juga ada pesawat-pesawat kuno yang sudah rusak yang ditempatkan di beberapa lokasi. Kadang saat bermain, saya naik pesawat rusak itu dan bergaya mirip-mirip pilot. Pesawat semacam itu sebenarnya ada juga di kebun binatang Gembira Loka. Pesawat itu di tempatkan di area bermain anak-anak kebun binatang sehingga dengan mudah dinaiki.
Mbadhug juga dikabarkan memiliki banyak sekali pohon kersen. Namun saya mengenal buah itu dengan nama talok. Buahnya kecil berwarna merah dan manis. Saya menyebutkan sebagai kabar karena memang belum pernah membuktikan melihat langsung. Saat saya dan teman-teman akan membuktikan kabar itu ada kejadian tragis yang harus kami alami. Seperti biasa saya, Agus dan beberapa teman lain berangkat ke Mbadhug selain mau mandi di kolam renang juga mau memburu kersen. Lokasi kerumunan pohon kersen itu ada di sebelah timur kolam renang, sekitar satu kilo meter. Memang nampak pepohonan yang rimbun yang katanya itu adalah pohon kersen. Selesai mandi, saya, Agus dan 3 orang yang lain berlima memacu sepeda ke arah lokasi pepohonan itu.
Kami berlima sampai di suatu jalan yang di sekitrnya sangat sepi dan tidak dijumpai bangunan maupun pepohonan lainnya. Betul-betul lapang. Di depan kami ada rambu bulatan merah disilang dan tulisan merah berbahaya dilarang lewat. Kami masih belum paham maksud tanda itu, tiba-tiab dari atas arah barat terdengar suara gemuruh. Ternyata ada pesawat yang mau mendarat. Pesawat itu terasa begitu dekat, meskipun sebenarnya tempat mendaratnya masih jauh di timur dari posisi kami berdiri saat itu. Ada rasa takut juga membayangkan jika tiba-tiba pesawat yang mendarat itu jatuh dan menabrak kami. Namun keraguan itu hilang saat ada tukang pencari rumput naik sepeda melintasi jalur itu. Maka dengan memberanikan diri kami berlima melintasi jalur itu tentu dengan sedikit dipacu biar segera melewati jalur yang dilarang lewat itu. Setelah melewati area terlarang itu, kami sudah mendekati lokasi tumbuhnya pohon-pohon kersen. Dari tempat kami mengayuh sepeda memang nampak semacam perkebunan kersen. Namun belum sampai tempat yang kami tuju, tanpa kami sadari kami melewati pos tentara. Tentu saja petugas jaga berseragam loreng itu langsung mencegat kami. Begitu mendapat aba-aba berhenti dari tentara kami seketika berhenti. Suatu kondisi yang tidak pernah kami duga sebelumnya. Sebab menurut informasi, kersen-kersen itu boleh diambil sesukanya.
Sepeda kami jatuhkan, karena semua tidak ada jagrangnya. Seorang tentara berpangkat kopral menghampiri kami. Karena paklik saya polisi, saya tidak begitu takut dengan tentara. Oleh kopral itu kami ditanya, mau kemana? Kami jawab nyari kersen. Dengan agak galak dia membentak: “anak mana kamu, opo rak ngerti nek ora oleh lewat kono?!” sambil menunjuk jalur yang tadi kami lewati. Kemudian tanpa dapat memberikan pembelaan dia langsung menetapkan vonisnya dalam bentuk 3 perintah : 1. Sana pulang! 2. Ambil pentil ban sepedanya taruh di meja!, dan 3. Jangan pernah ke sini lagi!! Perintah yang langsung kami laksanakan tanpa reserve. Dengan tangan-tangan kami sendiri, kami ambil pentil ban itu. Tentu dengan terlebih dahulu mengeluarkan sampai habis seluruh angin yang ada di dalam ban. Kemudian satu per satu lima pentil itu kami letakkan di meja di dalam pos jaga. Tanpa menoleh lagi kami langsung kabur dengan menuntun sepeda yang sudah tanpa pentil dan kempes total itu. Kami menengadah ke atas, memastikan tidak ada pesawat yang akan mendarat sebelum kami melewati lagi jalur terlarang yang telah membuat kami sial itu. Setelah yakin, kami berlari dan istirahat di kolam renang. Di tempat itulah baru kami sadari betapa konyolnya nasib kami. Terbayang betapa nanti capeknya menuntun sepeda ke tempat tambal ban. Untungnya sebelum keluar dari jalan besar, di blok O ada tukang tambal ban yang cukup baik hati mau menyediakan pentil sepeda sejumlah 10 buah, sekalian termasuk dengan angina-anginnya. Saya lupa waktu itu kami membayar berapa. Yang jelas kerugian besar bagi kami, kersen satupun tidak didapat, malah 10 pentil hilang semua disita para tentara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar