Rabu, 22 Desember 2010

Porbika II

Latihan di Porbika selain memberikan ilmu beladiri gabungan karate, yudo dan lainnya juga diberikan pelatihan tenaga dalam. Latihan itu dimaksudkan untuk mampu menggali tenaga inti yang tersimpan di dalam tubuh. Saya pernah mendapatkan porsi latihan itu. Dengan posisi duduk pelatih memberikan latihan pernapasan. Kami harus mengambil napas, menahan dan mengeluarkan napas dari hidung sesuai dengan aba-aba yang diberikan pelatih. Waktu itu kami dilatih menyalurkan tenaga dalam ke sebuah batu. Batu itu kami genggam, kemudian kami melakukan olah napas. Setelah selesai ritual pernapasan itu, jika berhasil maka sang batu akan mampu menahan si pemilik dari rasa sakit karena pukulan. Batu itu juga bisa digunakan untuk menyembuhkan. Mungkin kalau jaman sekarang seperti batunya Ponari itu. Pokoknya batu kali yang biasa saja itu, setelah disalurkan tenaga dalam kepadanya akan menjadi tidak biasa alias luar biasa. Sehingga kami diwanti-wanti oleh pelatih agar memperlakukan batu itu dengan semestinya. Menaruh di tempat yang baik, tidak di sembarang tempat dan sebagainya. Ya semacam benda keramat, tetapi tidak sampai harus diberi sesaji kembang setaman, kemenyan dan lainnya. Saya pernah mencoba keampuhan batu itu. Selesai latihan dengan tangan menggenggam batu, teman latihan yang lain Limpung, memukul saya di bahu kanan dengan keras. Ternyata terasa sakit. Namun karena dilihat orang banyak, saya bilang tidak sakit, dengan menahannya. Gantian saya membalas memukul dengan sekerasnya ke bahu Limpung. Saya tidak tahu dia merasakan sakit atau tidak. Yang jelas saking kerasnya tangan saya sampai terasa sakit. Maka bisa dipastikan bahu dia juga tidak kalah sakit dibandingkan tangan saya. Namun mungkin dengan alasan sama, Limpung juga menyembunyikan rasa sakit itu. Batu itu saya perlakukan dengan baik. Saya simpan di salah satu laci almari makan, dan tidak pernah saya sentuh lagi hingga tidak diketahui kebaradaannya kini.
Latihan bersama Porbika dilaksanakan dengan mengumpulkan semua siswa se Jogjakarta. Mereka datang dari Tempel Sleman, dan juga dari Potorono. Dengan menggunakan tiga truck, kami diberangkatkan ke tempat latihan. Berangkat dari balai desa Potorono pagi jam 8, menuju Parangtritis. Perjalanan dari Potorono hingga pantai Parangtritis sekitar 2 jam. Jalur yang kami tempuh melawati jalur barat. Tidak melewati Imogiri. Dari pojok beteng wetan, ke selatan masuk ke jalan Parangtritis. Jalur itu memang lebih jauh, namun kondisi jalan relative lebih datar. Berbeda jika menempuh jalur Imogiri-Siluk yang harus melewati jalan-jalan di daerah perbukitan. Jalannya turun naik, kadang curam, kadang landai.
Sampai di pantai Parangtritis, kami kemudian mengambil posisi berjajar menghadap pantai. Latihan yang dipimpin langsung oleh guru besar itu tidak banyak melakukan gerakan-gerakan kombinasi. Latihan yang dilakukan hanyalah gerakan-gerakan dasar yang lebih dimaksudkan untuk pemanasan. Selesai pemanasan kami diminta untuk saling memegang sabuk teman yang lain. Dengan posisi berjajar, tangan kanan saya memegang sabuk teman di kanan saya, sedangkan tangan kiri saya memegang sabuk teman di kiri saya. Demikian juga sabuk saya dipegang oleh dua orang di kiri dan kanan saya. Pelatih memberikan aba-aba untuk maju menuju bibir pantai. Kami maju hingga mencapai air laut. Pelatih yang memunggungi laut selatan itu kemudian memberi aba-aba untuk maju lagi. Kami maju hingga air laut merendam kami sebatas pusar. Pelatih terus memberi aba-aba supaya maju. Kami maju, dan saat ada ombak datang, diperintahkan untuk merunduk. Ombak melewati kami. Pelatih masih memberi aba untuk terus maju. Kami juga terus maju, dengan teknis merunduk jika ombak datang. Saat saya menengok ke belakang ke arah utara, ternyata kami sudah jauh meninggalkan pantai. Melihat orang-orang di pantai nampak kecil seperti boneka. Kemudian ketika datang ombak, pelatih meminta kami untuk menyambutnya. Maka blarr…kami terbawa ombak hingga ke tepi pantai. Formasinya sudah berantakan karena tangan kami saling terlepas dari sabuk teman yang dipegang sebelumnya.
Keluar dari laut, kami istirahat dan makan jatah dos yang disediakan panitia. Konsumsi berisi nasi dan lauk secukupnya serta air minum. Selesai makan dan istirahat secukupnya, latihan sesungguhnya yang diprogramkan sebenarnya baru dimulai. Yaitu melakukan long march dari pantai Parangtritis hingga Imogiri. Jaraknya sekitar 20 kilo meter. Kami harus berlari sejauh itu. Dan itulah sebenarnya porsi latihan kami. Dengan tanpa alas kaki dan baju seragam masih basah kami berlari meninggalkan pantai Parangtritis. Jalur long march tidak menempuh jalur yang kami lalui saat berangkat. Jalur pulang melalui jalur Siluk-Imogiri. Jalan turun naik dan berbatu kami lalui dengan kaki telanjang. Sudah pasti kaki rasanya sakit. Saya jadi ingat pesan bapak saat berangkat supaya pakai sepatu. Tapi mosok bersepatu. Karateka kok bersepatu seperi atlet lari marathon saja. Meskipun dengan kaki sakit saya terus berlari. Saat itu tekada saya ingin berlari hingga Imogiri. Memang pos pemberhentian ada di Imogiri. Namun ternyata lima kilo perjalanan rasanya saya sudah mau habis. Kaki semakin sakit untuk menapak, sementara napas sudah ngos-ngosan. Jalan satu-satunya adalah naik ke truck yang memang menjadi penjaring di belakang kami. Saat saya naik truck sudah ada beberapa teman yang berda di situ. Artinya saya bukan orang pertama yang bertekuk lutut di hadapan medan yang tidak bersahabat itu. Di atas bak truck saya bisa duduk-duduk sambil minum dan juga makan cemilan. Saya melihat teman yang masih kuat tetap berlari. Namun sedikit demi sedikit mereka juga memilih naik ke truck. Sepenglihatan saya tidak ada yang terus berlari hingga Imogiri. Sebelum masuk Siluk, semua sudah terangkut dalam truck. Maka acara berlari diganti menjadi acara naik truck.
Dengan truck itu kami meluncur hingga ke lapangan Karangsemut. Di lapangan Karangsemut kami berhenti. Saat itu sudah mendekati ashar. Kami melakukan latihan gerakan-gerakan kombinasi. Selesai latihan ringan itu kami istirahat. Waktu istirahat diisi dengan makan. Selesai makan rangkaian kegiatan latihan hari itu ditutup di lapangan Karangsemut. Setelah penutupan kami kembali naik truck dan truck meluncur ke balai desa Potorono bagi siswa yang berasal dari Potorono. Sedangkan yang dari Tempel Sleman, mereka langsung dibawa menuju Sleman, tidak mampir ke Potorono tempat pemberangkatan latihan hari itu. Sampai di balai desa Potorono sudah menjelang maghrib. Turun dari truck saya mengambil sepeda, bersama Limpung dan yang lain kemudian meluncur pulang ke Kepuh. Sampai rumah sudah hampir Isya’. Badan rasanya capek semua. Selesai mandi dan shalat Isya’ saya langsung masuk kamar dan tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar