Sabtu, 04 Desember 2010

Kethoprak Sayembara

Kethoprak Sayembara
Pesawat tivi dan TVRI sebelum muncul RCTI sebagai stasiun tivi swasta pertama merupakan satu-satunya yang stasiun tivi dan bisa dikatakan rajanya tivi. Sebagai stasiun tivi pelat merah, TVRI betul-betul dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang berbagai hal menurut versi pemerintah. Namun bagi kami warga dusun Kepuh Lor, tidak begitu mempersoalkan apakah yang dibawa itu untuk kepentingan pemerintah atau untuk kepentingan siapa, yang penting acaranya menyenangkan. Acara tivi yang begitu populer saat itu adalah aneka ria safari, selekta pop untuk acara musik. Sedangkan untuk seni pertunjukan adalah kethoprak dan wayang orang. Saat itu kami sudah dibuat takjub dengan penampakkan gambar Bima yang lebih besar dari tokoh yang lain. Juga saat Gatotkaca bisa terbang di atas awan. Belakangan juga acara mbangun desa yang diperankan oleh sebagaian besar awak Teater Gandrik. Tokoh-tokoh seperti Pak Bina, Kang Kuriman, Lek Sronto, dan tentu Baguse Ngarso begitu melekat di ingatan.
Namun yang fenomenal adalah acara kethoprak. Setiap malam rabo bisa dipastikan perhatian warga terfokus pada acara kethoprak di tivi. Antusiasme warga untuk melihat acara tivi kesayangan tersebut memang betul-betul signifikan. Saya dan keluarga merasakan denyut antusiasme itu. Alasannya tentu karena keluarga kami saat itu adalah pemilik pesawat tivi satu-satunya. Meskipun ada juga tetangga lain memiliki pesawat tivi, tetapi yang open haouse memang hanya di rumah saya saja. Penayangan acara kethoprak mulai jam 7 malam, namun kegiatan yang mendukung sudah dilakukan setelah maghrib. Mereka dengan kesadaran sendiri menyiapkan pesawat tivi tentu dengan akinya ke halaman depan rumah. Kebetulan halaman depan rumah kami berupa lantai pleseteran semen yang biasanya dipakai untuk menjemur padi setelah panen. Halaman itu disapu, kemudian digelar tikar. Di tempat itulah nanti hampir seluruh warga tumplek duduk lesehan melihat acara tivi kesayangannya.
Melihat fenomena seperti itu, ada yang cukup kreatif menangkap peluang bisnis di kerumunan orang. Orang itu bukanlah jebolan sarjana ekonomi atau minimalnya SMEA, namun hanyalah seorang embah putri yang sudah sepuh mbah Rono namanya. Rumahnya berdiri di bantaran sungai yang membelah antara Kepuh Wetan dan Kepuh Kulon. Beliau selalu menggelar berbagai macam cemilan mulai dari pisang godog, kacang godog dan jajanan model kampung lainnya. Bahkan juga pernah saya lihat menyediakan es sirup. Jadi ketika asyik melihat kethoprak, mereka juga asyik makan cemilan. Tetapi mbah Rono adalah penggemar fanatik kethoprak sehingga begitu acara dimulai dia tutup dagangannya dan tidak mau lagi melayani pembeli. Dia asyik bersama yang lain larut melihat acara kethoprak kesayangannya di tivi.
Pemandangan seperti itu terus akan terulang lagi nanti pada hari selasa malam rabo. Baru ketika saya lulus SMP, sudah mulai ada orang lain yang memiliki tivi. Orang yang tadinya rajin melihat tivi di rumah saya secara bertahap memiliki pesawat tivi sendiri, sehingga tidak harus mendatangi rumah saya untuk sekedar melihat tivi. Namun bagi yang belum memiliki pesawat tivi sendiri mereka masih tettap setia dengan tivi di rumah saya. Bukan hanya saat penayangan acara kethoprak saja yang memang menjadi acara idola, tetapi juga pada saat hari yang lain. Bahkan mereka menonton hingga acara tivi itu hingga TVRI selesai mengudara sekitar jam 10 malam, kecuali hari sabtu malam minggu ada penanyangan film akhir pekan, TVRI tutup jam 12 malam.
Kami tentu tidak selamanya harus menunggu mereka melihat tivi. Jika memang sudah mengantuk, mereka dibiarkan melihat sendiri. Baru ketika sudah saatnya mau pulang, mereka memberesi seluruh perangkat tivi itu, kemudian membangunkan kami untuk pamit dan juga agar kami mengunci pintu. Sepanjang pengalaman berlangsungnya open house tivi itu, mereka selalu disiplin dengan mekanisme tak tertulis itu. Jika kami agak susah dibangunkan, terpaksa mereka menunggui sampai salah satu dari kami bangun untuk kemudian pamit. Belum pernah ada kejadian satu kalipun mereka meninggalkan tivi tanpa pamit kepada kami.
Kethoprak di tivi mengalami masa jaya saat dibuat model kethoprak sayembara. Cerita dibuat bersambung menjadi 4-5 episode , di akhir cerita ada jawaban pertanyaan yang dijadikan sebagai sayembara. Tentu sayembara ini berhadiah bagi yang beruntung. Beruntung karena jawabannya benar, dan beruntung karena muncul namanya sebagai pemenang saat diundi. Dengan model bersambung seperti itu, rasa penasaran selalu hinggap di setiap episode cerita, dan selalu mengharapkan kelanjutannya. Saya tidak begitu ingat apa judul ceritanya karena agak panjang, seingatku ada kat langitnya. Alur cerita juga sudah sama sekali lupa. Hanya ada satu tokoh yang tidak lupa sampai sekarang yaitu Ki Bongol, tetapi siapa pemerannya saat saya menulis juga lupa. Kalau tidak salah Yoyok Aryo. Ada yang ingat?
Kethoprak agaknya tidak bisa dijauhkan dari keluarga saya. Pak Tuwo sebutan mbah, dari ibu adalah seorang pemain kethoprak yang cukup disegani pada jamannya. Jika menyebut Darmo Dalimun pasti orang yang pernah hidup sejaman dengan mbah saya dan hoby dengan kethoprak pasti mengenalnya, paling tidak pernah mendengar namanya. Kemampuan bermain kethoprak Pak Tuwo itu menurun pada Lek Sapar adiknya ibu. Meskipun sekedar untuk solidaritas , tetapi saat pentas kethoprak 17an Lek Sapar pasti menjadi pemeran utama protagonis.
Bapak saya juga tak kalah fanatiknya. Bapak berasal dari Sekarsuli Sendangtirto Berbah Sleman. Berbah sudah dikenal oleh oleh masyarakat perkethoprakan sebagai gudangnya pemain kethoprak dan juga kelompok kethoprak. Meskipun bukan pemain, namun setiap ada pentas kethoprak tobong tidak pernah absen menonton. Waktu itu kethoprak Sapta Mandala binaan Kodam Diponegoro biasa mengadakan pertunjukan keliling selama 30 hari nonstop. Saat Sapta Mandala menggelar pentas di lapangan Pleret Bantul, bapak selalu melihatnya. Saya kadang diajak melihat. Dari situ saya sedikit banyak mengenal tokoh-tokoh kethoprak. Nama-nama seperti Widayat, Marjiyo, Marsidah, Darsono, Miyanto, Dirjo Tambur, Sopyan dan lainnya begitu familiar. Yang paling terkenal dan menjadi idola saat itu adalah Widayat dan istrinya Marsidah. Pasangan suami istri itu sering memerankan tokoh utama pria dan wanita. Karena suami istri, maka saat adegan romantis mereka melakukannya juga tanpa sungkan. Merangkul, memegang janggut dan menggendong dan adegan roman lain yang umum dipentaskan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ternyata Widayat itu adalah kakak sepupu dari teman sekelas saya waktu SMA.
Lek Gi yang merupakan adik bungsu bapak saya juga pernah ikut main kethoprak saat usianya masih 10 tahunan. Saya ingat waktu pentas kethorak di rumah pak Tuwo di Sekarsuli Berbah Sleman. Lek Gi memerankan sebagai anak raja yang masih kecil. Jadi adegan yang harus diperankan hanyalah duduk dan kemudian ditandu oleh para abdi, tanpa sepatah katapun dialog. Namun begitu penampilan Lek Gi sudah membuat kami-kami ini bangga.
Generasi terakhir yang pernah terlibat dalam dunia perkethoprakan adalah adik saya Igun. Saat acara 17an di Kepuh Lor, adik saya ikut bermain kethoprak yang dipentaskan. Meskipun bukan menjadi tokoh utama, tetapi bukan sekedar sebagi pemain figuran atau baladupak yang sekali muncul langsung mati dan tidak muncul lagi. Baladupak tidak perlu menghafal dialog, cukup ciat ciat dan adegan jotosan dengan durasi maksimal 3 menit. Igun cukup sering muncul, dan dialognya juga lumayan banyak. Tentu kami sekeluarga ikut euphoria menanti kemunculan Igun di panggung. Pentas itu adalah pentas pertama dan juga yang terakhir. Sebab setelah itu Kepuh Lor sudah tidak pernah menggelar acara kethoprakan saat 17an. Alasannya tentu karena biaya yang tinggi dan mungkin juga sudah mulai tidak minat lagi. Seiring dengan berjalannya waktu, sepertinya kethoprak akan menjauh dari keluarga kami, bersamaan dengan kepergian Igun selamanya pada tahun 2007 yang lalu.

1 komentar: