Jumat, 10 Desember 2010

Capunk Jelajah Pantai

Kelas 2 SMP aku dan Agus satu level kelas 2. Sebenarnya aku dan dia beda tingkat. Tahun kelulusan Agus lebih duluan satu tahun dibandingkan saya. Tetapi aku lupa kapan dia tidak naik kelas sehingga bisa selevel dengan saya di SMPN Baturetno. Yang pasti saat saya di kelas 2C dia di kelas 2A. Kemudian saat kelas 3 baru kami sama-sama di kelas 3A.
Saya dan Agus memang sering sekali main bersama. Kebersamaan itu sudah berlangsung sejak SD. Dia ikut di rumah mbah Kaji adiknya mbah saya. Rumah mbah Kaji dengan rumah saya hanya berjarak 10 meter, terpisah oleh kebun. Jadi intensitas ketemu cukup tinggi. Kebersamaan itu banyak melahirkan kejadian-kejadian yang cukup membuat geleng-geleng kepala orang tua.
Salah satu kejadiannya adalah saat saya dan dia goncengan menggunakan motor Honda 70 yang biasa disebut motor capunk. Ada juga yang menyebut dengan sipitung. Mungkin maksudnya motor pitung puluh. Motor bebek warna merah itu memang menjadi andalan kami kemana-mana. Kami meluncur ke arah selatan ke arah Bantul. Tujuannya ke pantai di daerah Bantul, kemudian berniat menyusuri pantai hingga Parangtritis. Di Bantul pantai yang cukup dikenal adalah Samas dan Parangtritis. Namun saya memulainya tidak dari Samas, karena terlalu jauh. Suatu niat yang mulia dan kedengaran heroik namun juga realistis. Padahal saat itu saya belum pernah membaca Che Guevera yang tour menggunakan motor, mendengar namanya juga belum. Dari Kepuh kami mengambil jalan utama Bantul, langsung meluncur ke selatan, hingga daerah Palbapang. Perjalanan dari Kepuh hingga palbapang dengan motor capunk merah itu sekitar 90 menit. Maklum bukan sembarang motor. Hanya orang-orang tertentu yang bisa dan berani mengendarai sipitung itu. Bukan karena saking bagusnya, namun karena serba memprihatinkan motor itu, sehingga seingat saya hanya Agus yang biasa mengendarai. Lainnya tidak mau, tidak mau repot karena kemungkinan mogok amat sangat besar sekali. Dari Palbapang kami kemudian menuju ke pantai terdekat. Saya tidak tahu pantai apa namanya, namun yang jelas masih di bawah kekuasaan Ratu Kidul, masih satu kawasan yang disebut dengan pantai selatan. Pantai selatan merupakan pantai yang memiliki pasir bagus, masih bersih dan khasnya adalah adanya gunung pasir (sand dune) yang tidak ada di pantai-pantai lain. Gunung pasir itu tampak seperti padang pasir yang sering muncul di film-film jazirah Arab.
Setelah istirahat beberapa saat di pinggir pantai, saya dan Agus mulai menjalankan misi besar yaitu menyusuri pantai hingga Parangtritis. Dengan semangat yang masih meluap, sipitung digenjot dan segera memacu langkahnya. Kuda Jepang yang memang sudah dimakan umur itu merayap di atas gundukan pasir basah. Kami berusaha menjaga jarak dengan air laut. Secara teori sederhana, motor butut itu akan langsung KO jika kerendam air laut. Probabilitas kejadian itu sangat besar, sehingga Agus harus selalu focus pada jalan depan, sedangkan saya di belakang memposisikan diri sebagai navigator. Navigator yang bertugas mengamati posisi air laut, sehingga mampu menempatkan laju kendaraan pada posisi yang aman. Dengan cara begitu sipitung mampu berjalan sesuai dengan harapan. Selaku pemilik yang sehari-hari bergelut dengan sipitung, Agus paham persis kekuatannya. Sehingga dia tidak memaksakan diri dengan memacu sipitung terlalu kencang. Dia geber dengan lamban bahkan mungkin sangat-sangat lamban. Kondisi medan memang memberikan permakluman. Pasir lembut yang senantiasa membenamkan ban menjadikan laju roda sangat terhambat. Setengah jam perjalanan, kami belum jauh meninggalkan tempat kami start. Perkiraan saya baru sekitar lima kilo kami menyusuri pantai itu. Kami istirahat dulu untuk kembali mendinginkan sipitung yang sepertinya sudah kepayahan.
Sepuluh menit kemudian kami mulai jalan lagi. Baru lima menit berjalan dengan jarak tempuh sekitar 20 meter tiba-tiba sipitung berhenti. Ban depan ambles ke dalam pasir, dan tiba-tiba ombak laut selatan menerjang. Sipitung kerendam air asin dan langsung KO, tidak mampu bangkit. Begitu melihat kondisi sipitung, kami langsung menyadari bahwa kondisi kami benar-benar tidak menguntungkan. Jauh dari penduduk, di tengah-tengah padang pasir, satu-satunya yang mendengar jika kami berteriak sekuat apapun, mungkin hanya Ratu Kidul. Meskipun Agus sudah lama bergaul dengan sipitung, namun melihat posisinya saat diterjang air laut, pasti air garam itu masuk sampai ke posisi-posisi strategis. Benar saja, hampir seluruh area kaburator hingga mesin kerendam air garam bercampur pasir lembut. Melihat itu Agus sudah angkat tangan. Namun kami biasa tidak langsung menyerah. Dengan alat yang ada di jok motor, busi dibuka, kaburator dibersihkan. Namun hasilnya nihil. Mesin sama sekali tidak mau diajak kompromi, mati total. Langkah satu-satunya adalah mendorongnya kembali ke tempat kami start. Dan itu bukan pekerjaan mudah, menuntun motor di padang pasir. Waktu sudah menjelang ashar. Kami berdua mendorong motor dengan tenaga yang ada. Agus di depan pegang stang, saya pegang jok mendorong dari belakang.
Dua jam kami susuri pantai dengan jalan tertatih. Kemudian kami belok ke jalan utama. Kami berharap ada bengkel di situ. Namun juga nihil. Tidak ada bengkel. Kami terus mendorong motor menyusuri jalan. Kami tanya bengkel kepada orang yang kami temui di pinggir jalan, diberitahu ada bengkel, namun sudah tutup jika sore. Memang saat itu hampir maghrib, wajar jika bengkel sudah tutup. Sampai di Palbapang, Agus ingat bahwa ada teman bapaknya di sekitar jalan itu. Maka dia kemudian mencari teman bapaknya itu, dan alhamdulilah ketemu. Agus menemui bapak itu dan bilang bahwa dia adalah anaknya pak Darmo Kepuh. Dia juga bilang jika motornya rusak, dan tidak ada bengkel buka. Oleh teman bapaknya, yang saya lupa namanya disarankan untuk dibengkelkan besok saja. Dia minta agar menginap di rumahnya, karena jika pulang sudah tidak ada angkutan. Angkutan akan ada nanti subuh. Karena memang tidak punya pilihan, kami menuruti saran bapak itu. Setelah mandi tanpa ganti baju, kami kemudian sholat magrib dan disuguhi makan. Namun saya kemudian khawatir, karena tadi waktu berangkat tidak pamitan ibu. Memang selama ini saya jika pergi juga tidak pamitan, tetapi tidak sampai nginap. Kalaupun menginap pasti orang tua tahu di mana saya menginap. Saya juga sudah biasa menginap di rumah teman sejak SD. Saat kekhatiran itu saya sampaikan ke Agus dia juga merasakan hal yang sama. Sebenarnya persoalan itu tidak sulit jika punya telpon. Namun saat itu jangankan HP, telpon umumpun tidak ada. Jikapun ada di rumah juga tidak ada telpon. Untuk memberikan kabar kami kepada orang tua bisa melalui radio, atau koran. Tetapi itu bukan jawaban yang cerdas, yang tidak perlu diuraikan kenapa. Tiba-tiba terlintas di banak saya koramil. Saya ingat waktu mendorong motor itu melewati koramil.
Agus dan saya naik sepeda mendatangi koramil itu. Kemudian dengan bahasa tertatih-tatih saya menceritakan kejadian yang saya alami sejak awal hingga sampai koramil itu. Adapun maksud dan tujuan saya adalah minta tolong untuk memberikan kabar saya ke koramil Banguntapan melalui HT. Saya tahu tiap-tiap koramil memiliki alat untuk kordinasi. Tentu saja upaya kami tidak mulus. Banyak dari tentara yang lagi piket justru menggojlok saya dan Agus dengan berbagai pernyataan yang sudah sering kami dengar. Biasa ungkapan orang tua yang jengkel kepada anaknya. Namun kemudian mereka menanyakan,setelah berita sampai ke korami Banguntapan terus maunya bagaimana. Saya sampaikan jika di sebelah barat koramil sekitar 50 meter ada rumah teman sekelas saya. Waktu itu yang saya ingat adalah Udin Ngipik. Setelah berita sampai di koramil Banguntapan, kami minta tolong salah satu dari bapak tentara yang ada di koramil Banguntapan mendatangi rumah Udin. Kemudian menyampaikan keberadaan kami yang menginap di Palbapang karena motor mogok. Selanjutnya agar berita itu disampaikan kepada bapak saya di Kepuh. Setelah mendapatkan ceramah secukupnya kamipun dipersilakan pulang. Dijanjikan berita itu akan disampaikan sesuai apa yang kami minta.
Kami kembali ke rumah temannya bapaknya Agus. Setelah sedikit ngobrol, saya dan Agus beranjak tidur, karena besok subuh kami harus siap-siap naik angkutan untuk kembali ke Kepuh. Kami berdua tidur di ranjang tanpa kasur, dan diberi sarung untuk selimut. Memang hawa saat itu lumayan dingin. Tanpa menunggu lama kami sudah bablas tidur. Seperti dijanjikan sebelum subuh kami sudah dibangunkan. Setelah sholat subuh, kami pamitan dan tidak lupa minta maaf serta terima kasih kepada tuan rumah atas segala keramahan dan servisnya. Tanpa menunggu lama angkutan pun sudah di depan mata. Kami naik dan colt Mitsubisi itupun segera meluncur ke arah utara. Selama 30 menit perjalanan terasa tanpa hambatan. Sebelum jam 6 pagi kami sudah sampai di pertigaan Grojogan. Kami turun dan perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, karena dari situ ke rumah saya tidak ada akses angkutan umum. Jarak ke rumah kami sekitar 4 km. Setelah melewati dusun Sampangan, kami potong kompas nembus Kepuh Tegal. Setelah melewati sungai yang membelah Kepuh Wetan dan Kepuh Kulon, kami berpisah di dekat kuburan. Agus pulang ke rumahnya di Kepuh Kidul, saya ke rumah di Kepuh Lor. Lima menit kemudian saya sampai rumah. Di teras depan rumah sudah menunggu ibu dan mbah Wondo. Mungkin bapak sudah berangkat kerja. Baru melangkah masuk teras, saya mendengar mbah Wondo berkata ke ibu, nggak usah dimarahi dulu, biar anaknya cerita sendiri. Saya kemudian bilang kalau menginap di Bantul karena motor mogok. Saya juga bilang sudah memberi kabar Udin supaya ngabari rumah. Tetapi rupanya tidak ada yang sampai ke rumah untuk memberi tahu kondisi kami di Bantul. Belakangan saya ketahui saat ada tentara dari koramil Banguntapan malam-malam datang ke rumah Udin, menurut ibunya saat itu Udin dan bapaknya tidak di rumah sehingga tidak ada yang bisa ke Kepuh. Rupanya penjelasan saya bisa diterima ibu.Namun sepertinya faktor mbah Wondo, adiknya mbah yang paling bungsu yang mempengaruhi ibu sehingga tidak marah kepada saya. Kemudian saya disuruh mandi dan hari itu saya tidak masuk sekolah. Surat ijin baru saya serahkan wali kelas hari brikutnya dengan alasan yang paling universal, sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar