Sabtu, 04 Desember 2010

Foto Keluarga

Keluarga Murwadi, termasuk keluarga yang terpandang di dusun Kepuh Lor. Masih keturunan trah Wongsoharjo yang tanahnya hampir sebagian besar meliputi dusun dari ujung timur hingga ujung barat di tepi sungai. Disamping itu bapak adalah PNS kantor pajak Jogja. Instansi yang sangat-sangat basah, sampai mampu melambungkan nama Gayus Tambunan. Seorang biasa yang hanya pegawai golongan III dan bukan siapa-siapa menjadi bahan pembicaraan dalam percaturan politik dan hukum tingkat nasional dengan mafia pajaknya. Dengan posisi seperti itu, wajar jika posisi sosial keluarga saya cukup tinggi.
Sebagimana layaknya keluarga terpandang, kehidupan kami juga lumayan makmur. Artinya secara materi tidak pernah kurang. Bahkan keluarga kami menjadi tumpuan warga saat mereka membutuhkan berbagai hal. Uang, kendaraan bermotor, dan lainnya adalah hal biasa kami pinjamkan kepada tetangga yang datang membutuhkan. Kadang juga di teras kami dijadikan tempat ngumpul beberapa tetangga dekat, yang kemudian ibu menyajikan mi godog panas kepada mereka atau sekedar kacang godhog. Keluarga kami juga menjadi pelangganan untuk membeli ikan hasil tangkapan dari tetangga yang kerjanya mencari ikan dengan pecak. Pecak merupakan alat penangkap ikan, berupa jaring yang diikatkan pada 4 ujung bambu.
Dengan kondisi keluarga yang cukup makmur, semestinya juga diikuti dengan pola hidup yang maju. Namun keluarga kami dalam beberapa hal sangat-sangat jauh tertinggal. Salah satu yang paling aku sayangkan saat ini adalah dokumentasi keluarga. Bapak tidak pernah mendokumentasikan keluarga kami dalam bentuk foto. Berbeda dengan keluarga mbak Jazim, adik bapak yang memiliki dokumentasi sangat banyak berupa foto-foto diri dan anak-anaknya sejak bayi hingga dewasa. Karena saya berada di lingkungannya, maka saya kadang juga masuk dalam jepretan kamera sehingga dalam beberapa foto itu tampak diri saya.
Keluarga saya sama sekali tidak memiliki konsep mendokumentasikan keluarga. Sangat sedikit foto yang bisa saya lihat waktu saya kecil. Hanya ada satu foto yang menurut saya sangat bersejarah, yaitu saat saya digendong bapak foto bersama ibu. Mungkin itu satu-satunya foto keluarga saya. Foto itu diambil oleh studio foto pak Slamet Kotagede yang bagi orang Kepuh Lor sudah sangat terkenal.
Karena itu, saya berinisiatif membuat foto keluarga saat adik saya Koco sekitar umur 6 tahun dan saya sudah kuliah. Melihat foto-foto keluarga yang ditempel di ruang tamu umumnya menggunakan stelan jas atau batik, karena jas tidak punya maka batik menjadi pilihan. Bapak, ibu, saya, Igun, Igit berpakaian batik milik bapak dengan motif yang berbeda-beda. Ada yang lengan panjang ada yang pendek. Bapak dan Igit berlengan panjang, saya dan Igun lengan pendek. Cuma Koco yang berbaju kotak-kotak biru. Saya tidak ingat kamera milik siapa itu, yang jelas kamera saku otomatis. Sedangkan yang mengambil foto adalah Hari saudara sepupu, anaknya mbak Jazim.
Pengambilan gambar dilakukan di ruang tamu, dengan posisi bapak ibu dan Koco duduk di kursi tamu panjang. Sedangkan saya Igun dan Igit berdiri di belakang kursi. Saya masih ingat waktu difoto saya, Igun, Igit dan Koco semua memakai celana pendek. Saya pakai celana pendek oleh-oleh dari Bali saat KKL pertama Fakultas Geografi UGM. Sandal-sandal juga berserakan di bawah kursi . Asumsi saya celana pendek itu tidak akan nampak karena tertutup kursi, begitu juga dengan sandal-sandal yang berserakan.
Dengan penuh semangat seolah fotografer beneran, Hari mengambil foto kami sekeluarga dua kali. Kemudian saya, Igun , Igit dan Koco berpose hanya memakai celana jeans dengan bertelanjang dada. Ide itu njiplak foto sampul kaset Swami 1 yang berpose tanpa baju. Jadi saat itu hanya tiga kali jepretan. Tentu hal itu sudah menumbuhkan harapan bagi kami di tengah kelangkaan foto di keluarga kami.
Seminggu kemudian foto itupun jadi. Tetapi sungguh mengejutkan bagi kami semua. Dari dua kali pengambilan foto keluarga tidak ada satupun yang memuaskan. Satu foto secara utuh menampakan gambar kami sekeluarga. Tetapi sayang celana pendek putih saya yang semula dikira ketutup kursi ternyata masih nampak sebagian, meski kaki saya tertutup oleh kaki bapak. Sedangkan sandal yang berserakan terekam sangat jelas di bawah kursi. Foto jepretan satunya lagi malah lebih parah. Kondisinya sama dengan jepretan sebelumnya, hanya kepala kami bertiga yang hilang. Tampak dalam foto adalah bapak, ibu dan Koco secara utuh, sedangkan saya, Igun dan Igit hanya badan hingga leher, tanpa kepala. Hasil lumayan baik justru pose kami berempat bercelana jeans tanpa baju. Pose itu menurutku bagus. Koco paling depan didekap Igit, Igun dibelakangnya memegang pundak Igit dengan posisi wajah serong ke kanan, dan saya di belakang Igun dengan wajah agak serong ke kiri. Tidak ada pengarah gaya saat itu. Hanya ingin meniru pose Swami saja. Sampai sekarang foto itu masih terpasang di kamar depan, meskipun hanya cetakan perbesaran copy laser. Negative dan juga foto aslinya sudah tidak karuan rimbanya.
Upaya itu merupakan upaya pertama dan terakhir mewujudkan foto keluarga kami. Karena sejak itu tidak pernah lagi kami foto bersama. Memang ada foto kami bersama sekeluarga, tetapi bukan merupakan foto keluarga kami, karena foto itu memuat seluruh keluarga Martodimulyo dari anak, cucu hingga cicit yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar