Sabtu, 04 Desember 2010

Nyuluh

Nyuluh

Saya tidak mengerti mengapa disebut dengan nyuluh, kok bukan mencari ikan di malam hari. Memang saat hunting ikan di malam hari itu menggunakan lampu, biasanya petromak atau senter sebagai suluh untuk menerangi. Mungkin itu melatar belakangi penyebutan nyuluh untuk aktifitas mencari ikan di malam hari itu.
Pengalaman nyuluh bagi saya selalu berakhir dengan tidak mengenakkan. Pengalaman pertama nyuluh saat saya diajak Lek Sur, bersama adiknya Slamet. Dengan modal petromak saya menyusuri area persawahan. Saya kira nyari ikan itu di sepanjang sungai, ternyata di sawah. Yang dicari juga bukan ikan, namun keong dan belut. Keong banyak dijumapi teronggok begitu saja di tepai-tepi sungai. Tinggal ambil saja kemudian dimasukkan ember. Sangat mudah. Berbeda dengan belut. Dia berada di tanah sawah. Ada yang bergerak ada juga yang diam. Belut tidak bisa langsung ditangkap karena begitu licin. Meskipun sudah kepegang tangan namun tanpa disadari belut itu sudah lepas dari tangan. Namanya juga belut sudah diakui dunia meskipun belum terdaftar secara paten. Jadi jika ungkapan selicin belut sangat pas adanya. Apalagi jika kemudian ditambah oli, bagai belut kecemplung oli, luar biasa licinnya. Dibutuhkan tehnik dan keahlian khusus untuk mampu memegang belut, hingga belut benar-benar tidak bisa lepas dari cengkeraman. Tapi seserius saya belajar, saya belum mampu memegang belut hidup tanpa terlepas dari tangan. Maka langkah radikal, begitu melihat belut di tanah langsung ditebas dengan pisau hingga mati. Kalau sudah mati, jelas lebih mudah megangnya. Perjalanan menyusuri sawah itu kurang lebih dua jam. Biasanya jam 9 malam sudah kembali untuk kemudian mengolah hasil yang diperoleh. Tahap inilah yang bagi saya tidak mengenakkan, karena harus berhadapan dengan darah, kotoran dan sebagainya. Setelah bersih masih harus dimasak dengan dikukus atau digoreng sesuai yang diinginkan. Namun biasanya belum sampai tahap memasak, saya sudah KO ngantuk luar biasa dan tanpa sadar tertidur karena capek. Jika beruntung saya akan dibangunkan untuk diajak makan. Namun jika tidak tidur saya berlanjut hingga pagi, sehingga tidak sempat ikut makan. Namun jika dibangunkan dan tetap ikut makan, rasanya juga sudah tidak enak lagi karena bersaing dengan rasa ngantuk. Apalagi kalau dimakan paginya, sudah tidak ada selera.
Nyuluh pada kesempatan yang lain dengan teman-teman sebaya, Limpung, Agus dan Pomo. Tetapi tidak dilakukan di malam hari. Karena semua masih bocah, kegiatan mencari ikan ini dilakukan pada siang hari dengan menyusuri sepanjang anak sungai kepuh. Dari mulai hulu di ujung dusun hingga prapatan mendekati dusun Jambidan. Namun sepanjang dan selama itu mencari tidak satu ekorpun ikan yang didapat. Di sela putus asa itu ada bapak tani, kalau tidak salah mbah Yoso yang membawa seekor musang atau blacan yang sudah mati. Oleh mbah Yoso hewan pemangsa itu diberikan kepada kami. Maka dengan semangat 45 kami pulang membawa musang itu dan mengklaimnya sebagai hasil buruan kami. Sepanjang jalan hingga rumahnya Limpung banyak yang menanyakan ari mana dapat musang, disertai rasa kagum. Tentu dengan dada busung kami menjawabnya di prapatan. Rasanya kami saat itu merupakan pemburu yang heroic yang mampu menangkap musang. Bukan pekerjaan gampang menangkap musang, apalagi oleh anak-anak 10 tahunan. Begitu sampai rumah langsung dibetheti (kurang paham padanan dalam bahasa Indonesia) dan diolah. Lagi-lagi dalam tahap ini saya menemui masalah. Namun bukan karena terlalu lama menunggu, karena memang proses ini lebih cepat dibanding dengan mengolah keong dan belut. Masalahnya adalah begitu sudah matang dan disajikan di piring untuk dimakan, selera saya langsung hilang. Tercium baunya, saya sudah tidak sreg, ada aroma yang tertolak oleh indra hisap saya. Ditambah dengan ingatan pada wujud binatang semula berupa musang. Semakin menguatkan ketidak seleraan saya pada sajian hasil nyuluh tadi.
Saya juga pernah bareng-bareng mencari ikan, namun dengan teman SD dari desa Glondong. Waktu itu ada Isul, Odin dan kakaknya tarom, dan satu lagi teman yang paling tua lupa namanya. Isul saat ini menjabat sebagai Lurah di Wirokerten. Odin sudah almarhum, beritanya karena gigitan ular. Sedang Tarom dan yang satunya belum paham keberadaannya sekarang. Sebenarnya kegiatan utamanya bermain saja. Tetapi karena yang paling tua itu mau mencari kayu baker, jadinya kami turut membantu dengan tujuan utama tetap bermain. Ketika sampai di salah satu sungai yang airnyan tidak mengalir, yang tua mengajak untuk mencari ikan. Maka dengan memanfaatkan getah rejenu yang beracun, kami buat ikan-ikan itu pusing dan naik ke permukaan air. Saat itulah kami ambil. Sambil asyik mengambil ikan diselingi dengan omongan dan ejek-ejekan. Namun ternyata olok-olok itu berkembang panas. Terjadi saling olok antara Tarom dan yang paling tua. Pertikaian omongan itu terus memanas hingga tak terkendali, dan terjadilah pertikain fisik. Dengan gerak cepat, Tarom dipegang oleh yang paling tua, kemudian dijatuhkan dan dibenamkan dalam air. Tentu saja Tarom megap-megap. Kami yang masih anak hanya mampu melihat, tidak bisa berbuat apa-apa. Untungnya si mas yang paling tua itu tidak berlanjut emosinya. Melihat Tarom megap-megap dia lepaskan cengkeramannya, dan menghempaskannya. Sambil masih menahan marah dia bilang, kalau bukan tetangga dan masih kecil sudah tak habisi.
Pengalaman tidak enak juga pada saat saya tidak nyulu namun ketemu dengan tukang nyuluh kodok. Saat itu ba’da isya saya terasa mau ke belakang. Karena biasa buang hajad di sungai, saya ambil sepeda dan mengontelnya ke sungai di Kepuh Kidul dekat gardu ronda. Saat saya berjongkok menunggu hajadnya kelar, ada orang yang sedang nyluh kodok. Orang yang nyuluh kodok memiliki perform yang khas. Tutup kepala dilengkapi dengan senter, membawa tongkat panjang yang ujungnya ada senjata tajam semacam trisula kecil, dan ember atau sejenisnya untuk menampung kodok. Saat orang itu melintas di dekat saya, tanpa sadar perpaduan mulut dan bibir saya mengeluarkan bunyi ciet.ciet seperti suara kodok saat berhasil ditusuk trisula itu. Mendengar suara yang mirip-mirip kodok, orang itu berhenti, kemjudian mengarahkan senter dan juga senjatanya ke arah saya. Tentu saja saya kaget mak jenggirat dan tentu juga takut. Sambil marah orang itu menghardik : ciet.ciet koyo kodok pingin tak sunduk koyo kodok!!(ciet-ciet seperti katak, mau tak tusuk seperti katak!!). Untung orang itu hanya menggertak saja, kemudian pergi. Terbayang jika orang itu benar-benar menjadikan aku laksana kodok, hii ngerii. Benar-benar pengalaman yang tidak pernah happy ending jika menyangkut urusan menyuluh ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar