Minggu, 23 Januari 2011

Belajar Kelompok I (Latihan Belajar)

Kebiasaan tidur di rumah teman, sudah saya mulai sejak adanya belajar kelompok saat SD. Waktu itu kelompok belajar dibuat bergilir di rumah-rumah. Dari mulai rumah saya di Kepuh Lor, rumah Kuthuk di Kepuh Kulon, rumah Isul dan Odin di Glondong dan paling jauh rumah Dwi di Kemasan. Ada kelompok lain yang juga melakukan belajar bersama. Kelompoknya Lilik Setiawan di Kepuh Kulon. Tetapi saya tidak pernah ikut belajar bersama kelompoknya, sehingga saya tidak paham model belajar kelompoknya. Saya dan dia memang tidak begitu dekat dulu saat SD. Mungkin karena saya abangan yang lumayan mbejujal, sementara dia dari kalangan elit Muhammadiyah yang alim di Kepuh Kulon.
Saya ingat waktu belajar kelompok pertama kali dilakukan di rumah Isul di Glondong. Waktu itu ibunya masih ada. Ibunya Isul meninggal saat kami kelas VI. Isul punya kakak cewek (saya lupa namanya) yang menurut ukuran saya waktu itu lumayan cakep. Saya masih selalu ingat dia, sebab saat saya sunat dia datang dengan pacarnya ke rumah saya dan memberi kado. Saya sunat saat kelas VI ketika sedang dilakukan ujian praktek ebta, sehingga saya tidak bisa ikut karena belum sembuh. Saya harus menempuh sendirian ujian praktek ebta setelah sembuh dari sunat. Rumah Isul cukup besar. Di samping depan kanan rumah ada mushola. Di samping depan kiri ada kamar yang terpisah dari rumah utama. Kami belajar di ruang depan dengan menggunakan lampu teplok. Penerangan listrik belum menjangkau daerah kami. Meskipun judulnya belajar bersama, faktanya yang terjadi adalah bermain bersama. Belajar hanya formalitas saja. Membaca beberapa lembar tidak lebih dari setengah jam. Kemudian kami disibukkan oleh jajanan yang dihidangkan ibunya Isul. Macam-macam gorengan dan kacang godhog serta sirup cukup menyita waktu kami. Sambil menikmati jajanan, ngobrol yang tidak karuan juga menguras porsi waktu belajar. Setelah itu belajar bersama dilanjutkan nonton film serial TV, Waktu itu serial The Saint yang kami tonton. Selesai film yang juga selesai siaran TVRI, baru kami berangkat tidur. Tidur di lantai ruang dalam dekat TV dengan alas tikar. Karena baru pertama tidur di rumah itu, saya agak susah untuk bisa tidur. Sebentar-sebentar terbangun. Saya agak kaget ketika saya bangun ternyata ruangan gelap gulita. Rupanya lampu minyak yang mengandalkan minyak tanah itu kehabisan sumber energinya, sehingga mati dan gelaplah ruangan. Terus terang saya agak tersiksa dengan kondisi itu. Saya berharap segera pagi dan segera pulang. Saya sangat bersyukur begitu mendengar suara adzan subuh. Saya segera bangun dan juga membangunkan yang lain untuk wudhu dan ke mushola depan rumah. Meskipun dinginnya luar biasa saat itu, saya tetap wudhu dan segera ke mushola. Rupanya ibunya Isul melihat saya sering terbangun. Hal itu saya ketahui ketika ibu saya ketemu dengan ibunya Isul, yang mengatakan bahwa saya paling rajin bangunnya. Sebelum subuh sudah bangun katanya. Padahal yang sebenarnya saya memang tidak bisa tidur.
Setelah yang pertama itu, saya jadi biasa tidur di rumah Isul. Untuk belajar selanjutnya tidak hanya melulu di rumah, tetapi sudah diselingi dengan bermain di luar rumah. Malam-malam bermain di desa lain merupakan hal pertama saya lakukan waktu itu. Acara main waktu itu adalah dul-dulan atau petak umpet. Saya dan Isul dapat giliran ngumpet. Saya lupa siapa yang jaga waktu itu. Namun saya ingat persis waktu saya diajak masuk kuburan untuk sembunyi. Saya bertiga dengan Isul dan Odin masuk kuburan. Saya dan Isul bersama masuk di salah satu cungkup, bangunan semacam rumah di dalam kuburan. Odin malah lebih nekat lagi. Dia naik pohon mlinjo yang ada di tengah-tengah kuburan. Tidak tahu mengapa saya sedikitpun tidak ada rasa takutnya. Mungkin lebih karena gengsi saja. Padahal saat masuk itu saya sudah terasa sirr..bergidik di tengkuk. Namun melihat yang lain tenang saja, saya juga menenang-nenankan diri sendiri. Ternyata bersembunyi di situ betul-betul aman. Tidak ada yang mencari. Saya kira yang lain juga tidak akan sebodoh kami, mencari hingga ke kuburan. Lama-lama kami bosan sendiri. Yang jelas Odin juga pasti kecapekan bertengger di pohon mlinjo itu. Saya lihat dia tidak bertengger di cabang, namun hanya mendekap pohon itu dan bertahan. Pasti sangatlah capeknya. Waktu kami keluar dari kuburan dan kembali ke tempat semula kami bermain, sudah tidak ada anak yang lain alias sudah bubar.
Pengalaman tidak enak saat belajar bersama, saya alami di rumah Sri Widodo atau Kuthuk di Kepuh Kulon. Rumah Kuthuk berada di sebelah timur masjid. Saat berangkat ba’da magrib saya merasa baik-baik saja. Namun setelah isya’ saya merasa badan saya tidak enak. Tubuh terasa demam, perut mual dan kepala pusing rasanya mau muntah. Kemungkinan besar waktu itu saya masuk angin. Saya minum ultraflu 1 tablet pemberian Kuthuk. Merasa sudah minum obat, saya sudah merasa tenang, meskipun badan masih belum nyaman. Saat itu Kuthuk menawari ketimun dan semangka. Melihat ketimun dan semangka, saya mengira akan terasa segar jika memakannya. Maka saya ambil ketimun itu satu dan juga semangka satu iris. Saya makan semangka sampai habis dan kemudian ketimun. Namun baru habis separo dari sebuah ketimun ukuran kecil, saya merasa ada yang tidak beres dengan perut saya. Saya langsung mual, badan menggigil, kepala terasa berkunang-kunang dan juga pusing yang disertai berputar. Meskipun sudah sangat mualnya, namun saya tidak bisa muntah, sehingga sakit di perut betul-betul menyiksa. Saya betul-betul pucat waktu itu. Oleh Kuthuk, leher saya dipijat-pijat dan dipaksa untuk muntah. Saya bisa muntah, meski sedikit dan terasa sangat pahit di lidah. Namun dengan muntah itu, membuat saya sedikit lega. Perut tidak lagi kruel-kruel. Namun badan masih terasa dingin, dan pusing juga belum hilang. Kuthuk memberi saya teh panas. Saya minum teh segelas sedikit demi sedikit hingga habis. Kemudian dengan selimut dua sarung, saya berusaha tidur. Mungkin karena capek menahan mual, dan juga efek ultraflu sudah bekerja, saya bisa tidur malam itu. Sejak saat itu saya menjadi trauma dengan yang namanya ketimun dan semangka. Saya selalu tidak mau makan jika ditawari ketimun dan atau semangka.
Saat belajar bersama di rumahnya Dwi di Kemasan, baru kami betul-betul belajar. Karena hanya bertiga saja waktu itu, saya, Hartono dan Dwi. Maksudnya belajar benar, karena memang waktu itu kami bertiga membaca soal-soal kemudian kami jawab bersama-sama. Itu dilakukan dalam waktu cukup lama, dari ba’da Isya’ hingga jam sembilan malam. Setelah jam sembilan, kami kewalahan makan suguhan yang disajikan tuan rumah. Kewalahan karena biasanya kami berenam atau minimal berlima, sehingga sajian yang semestinya untuk berenam itu kami makan bertiga saja. Setelahsemua sajian habis, kami langsung tidur. Tidak ada acara bermain-main. Paginya ba’da subuh saya dan Hartono pulang berjalan kaki. Kemasan itu letaknya dari Kepuh Lor cukup jauh. Kami harus melewati Glondong, kemudian area persawahan baru sampai di Kemasan. Sekitar 3-4 kilo jaraknya. Saat pulang itulah saya dan Hartono baru ada kesempatan bermain-main. Dengan alat sarung, saya dan Hartono seblak-seblakan (memukul dengan kain sarung). Itu saya lakukan sejak keluar dari rumah Dwi hingga memasuki kampung Kepuh. Hartono pulang ke Kepuh Kidul, saya pulang ke rumah di Kepuh Lor.

Ronda Malam

Kegiatan siskamling di Kepuh Lor berjalan dengan sangat baik. Warga dibagi dalam lima kelompok sesuai nama pasaran Jawa yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Tiap kelompok beranggotakan sekitar 10 – 12 orang. Saya ingat nama anggota kelompok Wage terdiri dari Bapak saya, Lek Jumat, Lek Hardi, Lek Marjono, Lek Girun, Lek Kusno, Gopleng, mbah Marto Bodin, mbah Mangun Sakiman dan Kitri. Kelompok Wage termasuk kelompok kasepuhan, karena rata-rata anggotanya sudah berumur tua. Namun justru itu, kelompok Wage termasuk kelompok yang elit dan disegani. Berbeda dengan kelompok Legi berisi para pemuda. Tempat ronda bergiliran di rumah-rumah tiap anggota. Jadi tiap anggota mendapatkan giliran rumahnya dipakai untuk ronda tergantung jumlah anggotanya. Jika anggotanya sepuluh orang maka setiap 50 hari sekali mendapatkan giliran. Giliran itu sudah dibuat urutan baku, sehingga setelah bertempat di rumah saya, maka pasaran Wage lima hari berikutnya di rumah Lek Jumat, berikutnya lagi di rumah Lek Hardi dan seterusnya hingga kembali di rumah saya. Bapak sudah menugaskan saya untuk ronda sejak saya kelas 1 SMP. Demikian juga dengan Kunik yang mewakili Lek Jumat bapaknya, dan Tarto mewakili Kitri kakaknya. Saya lumayan lama mengikuti kegiatan ronda di kampung hingga saya masuk kuliah. Setelah saya kuliah saya sudah sangat jarang ikut ronda, bahkan kegiatan kampung yang lain saya juga sudah sangat jarang ikut.
Selama metode itu diberjalankan, saya belum pernah menjumpai kekisruhan atau kesalahan. Semua sudah niteni (mengingat) jadwalnya dan menyiapkan segala ubo rampenya. Mendapatkan giliran ronda berarti harus menyiapkan suguhan jajanan berpiring-piring sekaligus teh panasnya. Dan itulah sebenarnya inti dari ronda menurut saya. Ronda berarti makan-makan sak kenyangnya. Bahkan jika yang ketempatan giliran sedang bersuka hati, akan disajikan makan besar. Hal itu pernah dilakukan oleh mbah Mangun Sakiman (biasa disingkat Mangun SKM). Kami disuguhi makan besar dengan lauk opor ayam kampung. Sepertinya kerbau mbah Mangun baru saja melahirkan, jadi sekalian syukuran. Ibu kadang juga menyiapkan makan besar waktu mendapatkan giliran ronda. Biasanya ibu masak gule ayam dilengkapi dengan krupuk udang.
Kegiatan ronda, setelah semua anggota kumpul di rumah yang ketempatan, maka suguhan berbagai jenis jajanan pun dikeluarkan. Berpiring-piring jajanan tersedia. Biasanya berupa pisang goreng, bakwan, tahu susur, ketela goreng ataupun godhog, kacang godhog maupun kacang garing, pisang godhog, jadah ketan dan aneka jenang dodol, kripik maupun peyek juga sering ada. Minumnya yang pasti teh panas, namun juga disiapkan kopi bagi yang mau kopi. Pokoknya untuk urusan logistic, kelompok Wage termasuk yang paling mewah di antara kelompok lain. Makanya kadang saat pasaran Wage banyak juga yang datang selain kelompok Wage ke rumah yang ketempatan. Tentu selain untuk mengisi malam, yang jelas untuk begadang semalam tersedia teman berupa aneka jajanan. Biasanya jam sembilan malam, sudah pada kumpul. Sambil menikmati suguhan jajanan, siaran wayang kulit dari radio menjadi hiburan wajib. Kebetulan kelompok Wage lumayan senang dengan dalang Ki Hadi Sugito dari Toyan Wates Kulon Progo. Begitu acara wayang kulit disiarkan, semua ikut mendengarkan, termasuk saya. Acara mendengarkan siaran wayang kulit biasanya terhenti sekitar jam sebelas atau jam dua belas. Waktu tengah malam itu, saatnya tugas ronda yang sebenarnya dijalankan. Kami harus mengambil jimpitan berupa beras yang ditempatkan dalam kaleng kecil semacam bekas kaleng rhemason atau yang lain. Kaleng itu ditempatkan di pojok bagian belakang rumah, sehingga kami harus mengelilingi rumah itu untuk mengambilnya. Itulah tujuan jimpitan itu, petugas ronda harus meronda rumah, dengan sarana jimpitan. Jika jimpitan tidak diambil, maka tuan rumah akan protes, karena rumahnya tidak dirondani. Saya pernah ngakali waktu itu. Memang dari rumah sudah diniati untuk tidak keliling kampung mengambil jimpitan. Saya sudah membawa beras satu karung plastic kresek. Ketika waktunya keliling untuk mengambil jimpitan, saya, Kunik dan Tarto keluar dan menuju ke halaman rumah mbah Pawiro untuk mengambil jambu air. Selesai mengambil dan makan jambu itu kami kembali ke pos ronda di rumah mbah Mangun.
Keliling kampung untuk mengambil jimpitan memang bagian yang tidak mengenakkan. Kepuh Lor itu lumayan luas. Mulai dari ujung kampung di pinggir jalan hingga ujung satunya di pinggir sungai. Meskipun sudah dibagi menjadi dua bagian, namun ketika harus mengambil jimpitan di rumah mbah Rono yang berada di paling ujung barat kampung di pinggir sungai kami jadi merasa malas melakukannya. Tetapi karena itu sudah bagian dari tugas maka ya harus dikerjakan. Selama menjalani aktifitas ronda, saya belum pernah mengalami harus mengejar maling, menangkap dan nggebuki hingga klenger. Artinya selama ronda jatuh pada kelompok Wage belum pernah sekalipun menjumpai maling atau ada warga yang kemalingan. Namun saat kelompok lain ada warga yang kemalingan juga, tetapi saya lupa kelompok apa waktu itu yang ronda. Pernah sekali, saat itu ada informasi bahwa ada orang yang mencurigakan masuk kampung. Saat itu saya bersama Lek Jumat, sedang keliling mengambil jimpitan. Begitu mendapatkan informasi itu saya diajak Lek Jumat ikut mengamati. Saya dibekali pentungan waktu itu. Saya sudah senang, bakal mendapatkan pengalaman menangkap maling. Saya dan Lek Jumat mengamati sekitar kuburan, dan menjumpai dua orang di seberang kuburan. Dengan agak was-was kami dekati sambil menyiapkan pentungan. Ternyata begitu dekat, dua orang itu adalah Lek Hardi dan Gopleng. Maka kami berempat bergabung, bukan untuk keliling, namun kembali ke pos di rumahnya Kusno.
Kegiatan ronda di rumah-rumah ini berjalan cukup lama, hingga kemudian ada inisiatif untuk membangun gardu ronda. Setelah gardu ronda jadi, maka segala kegiatan ronda disentralkan di gardu. Penggunaan rumah-rumah anggota kelompok untuk tempat ronda dihapuskan. Bagi anggota kelompok yang mendapatkan giliran, maka bertanggung jawab terhadap logistic anggotanya. Karena tidak lagi di rumahnya sendiri, maka harus dikirim ke gardu ronda. Dengan adanya perubahan sistem itu, maka berubah pula pola suguhan yang disajikan saat ronda. Bukan lagi tersaji berpiring-piring aneka jajanan. Kiriman jajanan itu cukup ditempatkan di dua panci ukuran sedang. Minuman teh siap saji juga disiapkan di dua ceret yang sudah ada di gardu. Gelas juga sudah tersedia di gardu. Jadi sebenarnya sangat praktis dan ekonomis bagi warga yang mendapatkan jatah menyiapkan logistik ronda. Namun justru dengan metode itulah, menurut saya ruh dari ronda itu sudah hilang, bersama dengan hilangnya berbagai macam sajian jajanan yang menjadi ciri khas kegiatan ronda di kampung saya.

Senin, 17 Januari 2011

Sumur Berdarah

Sekolah Dasar Negeri Mutihan III yang berada di belakang balai desa Wirokerten di dusun Glondong, merupakan sekolah bagi anak-anak Kepuh Lor umumnya menempuh pendidikan dasarnya. Meskipun demikian ada beberapa anak yang memilih sekolah di sekolah kalurahan lain, di Jambidan yang berada di timur kampung Kepuh Lor. Saya masuk SDN Mutihan III, karena memang sekolah TK saya bersebelahan dengan sekolah itu. Jadi begitu lulus TK, otomatis dimasukkan ke SD sebelahnya. Beberapa anak seangkatan saya dari Kepuh Lor yang laki-laki adalah saya, Slamet dan Pomo. Yang perempuan hampir semua saya sudah lupa. Tetapi sepertinya Mindar adiknya Meguk anaknya mbah Arjo nDengguk itu seangkatan. Tetapi meskipun berasal dari satu dusun, kami malah jarang main bersama di sekolah. Saya di sekolah seringnya malah bermain dengan Isul.
Isul, panggilan dari Endro Sulastomo, putranya Pak Jito kepala SDN Mutihan III, sekolah kami. Saya dan dia hampir selalu bareng. Dalam kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Kelompok belajar, latihan silat, hingga dul-dulan di Glondong saya bareng dia. Meskipun dia anaknya kepala sekolah, namun untuk urusan juara, dia tidak pernah bisa melampaui saya. Dia selalu jadi domor dua setelah saya. Itu berlangsung hingga lulus sekolah itu. Tetapi untuk urusan membuat kisruh, dia selalu pegang posisi. Skor saya selalu di bawahnya.
Waktu itu kalau tidak salah kelas IV. Sekolah kami membuat proyek pembangunan sumur, kamar mandi dan WC. Letak sumur dan kamar mandi itu berada lorong di selatan bangunan gedung SD. Lorong itu yang memisahkan bangunan gedung SD dengan TK. Dengan adanya bangunan itu maka, bangunan gedung SD dan TK tersambung. Di depan lorong dibuatkan pintu. Sehingga ketika akan masuk ke kamar mandi atau WC harus melewati pintu itu. Sumur yang digali memang mengeluarkan air yang jernih. Galian sumur itu dipasangi bis beton satu lingkaran berdiameter kurang dari satu meter. Karena di ata sumur dipasang kaca bening, maka dasar sumur nampak sangat jelas airnya, meskipun agak dalam atau jauh sekitar 4-5 meter dari bibir sumur. Ember dikaitkan di tali yang terbuat dari karet ban, dan dilingkarkan pada kerekan di atas sumur. Kerekan itu dikaitkan pada kayu salah satu usuk bangunan. Kamar mandi dan WC dibuat berdampingan. Kamar mandi dibuat tersendiri, terpisah dari WC. Jadi di dalam kamar mandi tidak ada WC. Kalau mau be’ol dan mandi ya harus masuk di dua kamar yang berbeda. Tidak bisa 2 in 1 seperti umumnya sekarang. Bangunan itu dipayungi dengan seng dari asbes, keculai di atas sumur ada kacan beningnya. Bangunan itu saat masih baru merupakan tempat favorit saya dan Isul untuk bermain. Bahkan saya pernah tidak masuk kelas, gara-gara keasyikan bermain air di situ. Tetapi entah mengapa saya dan Isul tidak pernah ditegur saat itu. Mungkin karena faktor Isul adalah anak kepala sekolah dan juga karena saya juaranya kelas.
Yang dimaksud bermain air itu adalah mandi di sumur. Bukan sekedar menimba air dengan ember kemudian dipakai mandi. Kami turun ke sumur dengan cara naik ke bibir sumur. Setelah itu, badan kami turunkan ke sumur dengan dua tangan menahan beban badan. Kaki dibentangkan hingga menjangkau tebing sumur. Setelah kaki cukup kuat menahan beban badan, dua tangan diturunkan dan menjangkau tebing sumur. Dengan menggunakan tangan untuk menahan badan, dua kaki diturunkan dan menjangkau lagi tebing sumur. Langkah itu dilakukan hingga mendekati air. Begitu kaki sudah menyentuh air, maka dengan serentak kaki dan tangan melepaskan pijakan dari tebing sumur. Kemudian byuur..tubuh terhempas dalam air sumur yang dalam itu. Saya tidak tahu persisnya kedalaman air sumur itu. Saya pernah berusaha menjangkau hingga dasar sumur namun tidak pernah berhasil. Saya sudah sangat tidak tahan untuk ambil nafas, sebelum kaki menyentuh dasar sumur. Di dalam sumur itulah saya dan Isul biasanya mandi yang sebenarnya. Tidak ada yang mengganggu, karena memang selama ini tidak ada yang tahu kalau kami biasa nyemplung ke sumur itu untuk mandi.
Namun pasca peristiwa berdarah itu, saya dan Isul jadi kapok bermain nyemplung sumur. Kronologisnya begini kira-kira. Seperti biasa, saya dan Isul bermain di dalam sumur. Waktu itu saya sudah merasa kedinginan, dan mau duluan naik. Isul masih tetap bertahan di dalam sumur. Saya naik ke atas dengan teknik sama saat turun. Menggunakan tumpuan kaki dan tangan untuk menahan badan. Saat naik rasanya lebih mudah daripada saat turun. Setelah di atas, saya kemudian memakai baju. Celana sudah basah. Saat itu memang sudah di luar jam sekolah. Kami nyemplung sumur saat jam sekolah sudah selesai. Jadi saya bisa langsung pulang dengan celana basah itu. Saat mau beranjak menuju ke pintu, saya melihat ember berada di atas di dekat kerekan. Biasanya saya selalu mengambil tali timba dan ember, kemudian saya letakkan di lantai dekat bibir sumur. Tetapi saat itu saya tidak begitu memperhatikan perbedaan posisi ember seng itu. Saya berjalan menuju pintu keluar. Namun baru separuh jalan, saya mendengar suara reketek..reketek..kerekan timba berputar. Saya menoleh, dan melihat ember yang di dekat kerekan meluncur ke bawah. Tak berapa lama saya mendengar Isul berteriak “ Aduuh…”. Saya berlari mendekat ke sumur dan menengok ke bawah. Di dalam sumur saya melihat Isul memegang kepala, dan saya melihat darah mengucur. Ember berada di samping Isul. Saya teriak ke dia “ Piye?”. Dia jawab “Drijiku meh tugel!” Ternyata darah itu keluar dari dua jarinya, bukan dari kepalanya. Jadi saat ember seng itu meluncur ke bawah Isul sempat melihatnya dan reflek tangannya langsung mengambil posisi melindungi kepala. Sehingga yang jadi sasaran tembak adalah jari-jari yang berada di atas kepala. Saya teriak ke dia “Iso munggah ora?”. Dia jawab “Iso!”. Saya minta dia segera naik. Dengan menahan sakit, dan itu nampak dari raut wajahnya, Isul berusaha naik ke atas. Rasanya memang berat. Karena yang semestinya mengandalkan tangan dan kaki, ini hanya kaki yang dijadikan tumpuan. Darah masih terus mengucur dari jari-jarinya. Saya pinginnya membantu dia segera sampai ke atas. Namun tidak bisa, karena memang tidak tahu caranya. Setelah dengan bersusah payah dan menahan sakit itu, Isul sampai juga di bibir sumur. Sampai di situpun saya tidak bisa membantunya. Isul harus bisa melampaui bibir sumur untuk sampai di lantai. Itu harus dilakukan sendiri, tidak bisa dibantu, karena kalau salah malah menjadikan terjatuh. Setelah mampu sampai di atas dengan selamat, saya lihat jarinya tangan kanan yang dipegangi dengan tangan kirinya. Ada luka menganga di dua jarinya yang masih mengalirkan darah segar itu. Saya bantu dia menuju ruang guru. Waktu itu masih ada beberapa guru yang belum pulang termasuk kepala sekolah. Melihat anaknya basah tanpa baju dan berdarah, Pak Jito kaget. Beliau bertanya “Keno opo kuwi?”. Isul menjawab “Ketiban ember!”. Pak Jito mengambil kain, sepertinya sapu tangannya. Dengan kain itu dibersihkan luka di jari anaknya, kemudian diambilnya obat merah dan diteteskan ke luka itu. Setelah dirasa cukup dengan obat merah itu, baju Isul yang saya bawa saya serahkan dan kemudian dipakainya. Isul kemudian diboncengkan bapaknya pulang ke Glondong, dan saya juga pulang ke Kepuh Lor. Setelah kejadian berdarah itu, saya dan Isul seingat saya sudah tidak pernah mandi nyemplung ke sumur berdarah itu lagi.

Kamis, 06 Januari 2011

Batu Hitam Berdarah

Waktu pastinya saya sudah lupa. Namun yang pasti saya masih TK atau kelas I SD. Sekitar umur 5-6 tahun. Umur nakal-nakalnya saya menurut penuturan ibu. Saat itu, di rumah bagian depan, saya sedang asyik bermain. Pagi-pagi saatnya masuk sekolah, saya malah menggambar. Yu Mur kakaknya bapak saya, pernah mengajari menggambar bunga. Kebiasaan di keluarga besar saya, memanggil saudara itu tidak seperti umumnya. Adiknya bapak yang umumnya dipanggil Lek, namun kami tidak pernah memanggil Lek. Mbak menggantikan sebutan bu Lek, dan Mas menggantikan sebutan pak Lek. Mbah dipanggil Pak Tuwo untuk mbah kakung dan Mbok Tuwo untuk mbah putri. Yu Mur itu mestinya dipanggil bu Dhe.
Waktunya harus persiapan masuk sekolah, mandi makan dan lainnya, saya malah asyik sendiri menggambar bunga. Dengan kertas buram yang dibawa bapak dari kantor, saya membuat corat-coret yang masih sangat sederhana. Gambar bunga dengan tangkai di dalam pot. Gambar semacam itu terus saya buat. Sampai kemudian ibu muncul di belakang saya, menyuruh saya mandi dan segera berangkat sekolah. Namun saya selaku anak yang memiliki reputasi kenakalan yang cukup signifikan, seruan ibu itu kuanggap angin lalu. Saya meneruskan menggambar bunga itu. Ibu kembali ke dapur, saya masih asyik sendiri. Di dekat saya ada kacang rebus, sisa tadi malam di panci plastik. Melihat saya tidak ada reaksi positif, ibu datang lagi dan mengulangi perintahnya. Saya bergeming, dan tetap dengan keasyikan saya sendiri, menggambar. Tentu sikap saya memancing kemarahan ibu. Dengan gaya khas seorang ibu, maka keluarlah sabda darinya bla.bla.bla..Hingga pada sabda terakhir “ Kalau tidak mau sekolah saya buatkan surat untuk gurumu”. Saya masih bergeming.
Ibu masuk ke rumah dalam, mengambil secarik kertas dan ballpoin. Ibu menulis surat kepada guru saya. Saat menulis itu, ibu sambil membacakan isi suratnya. Isinya kurang lebih begini “Bu guru, ini Mawan sudah tidak mau sekolah lagi, maka tidak usah diberi pelajaran. Biar Mawan bermain saja tidak usah sekolah”. Mendengar isi surat yang sengaja dibaca dengan keras itu, saya jadi terusik. Saya bereaksi. Saya berdiri meninggalkan kertas-kertas yang saya gambari bunga itu. Surat tulisan tangan ibu itu saya ambil dan saya sobek-sobek. Melihat sikap saya, ibu marah dan bilang “Gampang, surat bisa ditulis lagi. Kalau kamu tidak mau sekolah ya sudah”. Ibu pergi, namun kacang yang ada di dekat saya, diambil dan dilemparkan ke kepala saya. Waktu itu saya diam saja, namun hati saya sangat marahnya. Ibu meninggalkan saya, mengambil sapu lidi, kemudian menyapu halaman sebagaimana biasa dilakukan di pagi hari.
Melihat ibu pergi ke halaman sedang menunduk memegang sapu lidi, saya beranjak dari tempat saya duduk. Saya keluar dari ruang depan. Entah setan mana yang hinggap di jasad saya saat itu. Saya mengambil batu yang tergeletak di tanah. Batu hitam sekepal itu saya lemparkan ke arah ibu yang masih menunduk menyapu. Lemparan asal dengan tenaga penuh itu ternyata sampai ke posisi ibu berdiri. Batu keparat itu tepat mengenai dahi ibu. Ibu berteriak “Aduh!”. Sambil memegang dahi, ibu mendongak. Saya melihat darah merah mengucur deras dari dahi ibu. Begitu melihat darah yang mengalir hingga ke leher itu saya menjadi panik. Saya lari entah ke mana saat itu, yang jelas menjauh dari ibu. Saya hanya sempat melihat ibu berjalan sambil memegang dahi, mendekat ke teras depan. Saya juga sempat melihat ibu ditolong oleh mbah Kaji. Ending kejadian itu saya tidak paham. Saya lupa. Saya berusaha mengingat dengan keras, namun juga tidak mampu merangkainya. Mestinya saya tanya ke ibu sebelum saya tulis ini. Namun itu belum sempat saya tanyakan. Tetapi apapun endingnya, yang jelas itu merupakan kejadian tragis ibu atas ulah saya. Untuk itu meskipun sudah lewat puluhan tahun silam, saya meminta maaf dengan sesungguhnya kepada ibu. Mungkin ibu sudah sejak dulu memaafkan saya, namun itu bagian dari masa kecil saya yang membekas di dahi ibu, bukan sekedar di hati saja.

Kamis, 30 Desember 2010

Nonton Konser IV (Sukses Raksasa Godbless)

Log Zelebour selaku promotor dan produsen rekaman menyelenggarakan tour untuk promosi album Godbless yang terbaru Raksasa. Setahun sebelumnya Godbless juga melakukan konser untuk album Semut Hitam yang legendaris itu. Konser yang disponsori oleh Gudang Garam itu digelar di stadion Kridosono. Selain Godbless sebagai pembuka disertakan Power Metal, Mel Shandy dan El Pamas. Formasi Godbless sudah ada perubahan dari Ian Antono diganti Eet Syahrani. Personel yang lain masih tetap.
Saya, Siloek dan Haryadi sepakat untuk nonton konser itu. Tiket yang membelikan Siloek. Saat di sekolah hari sabtu saya dan Hari sudah mendapatkan tiket itu dari Siloek. Sebenarnya ada bonus satu bungkus rokok Gudang Garam untuk tidap tiketnya. Namun oleh Siloek rokok itu dikasihkan ke penjual tiket. Siloek bilang mau berangkat sendiri dari Umbulharjo. Saya dan Hari berangkat goncengan dari Jagalan. Lepas maghrib saya dan Hari berangkat. Ternyata Bimo dan Tutik juga sudah dapat tiket dan mau nonton juga. Bimo adalah kakak Hari yang kuliah di Kedokteran Umum UGM dan sudah lulus sepa milsuk AD berpangkat letda. Sedangkan Tutik kakak perempuannya kuliah di Kehutanan UGM. Dua-duanya merupakan alumni SMA5 Kotagede kebanggaan kami bersama.
Sampai di stadion Kridosono, motor kami titipkan di tempat parkir. Meski berangkat bareng, namun saya dan Bimo terpisah. Saya tidak tahu mengapa terpisah. Yang jelas kami tidak bareng sampai di Kridosono. Begitu menitipkan motor, saya dan Hari menuju ke stadion. Ternyata di luar stadion sudah banyak orang yang antri untuk masuk stadion. Seluruh calon penonton itu berjajar satu-satu menuju pintu masuk. Sangking panjangnya mereka hampir mengitari setengah stadion. Saya dan Hari ikut antri di barisan belakang. Untungnya antrian orang yang mengular itu berjalan tertib. Tidak ada yang saling mendahului. Saat saya ikut antri itu, band pembuka sudah tampil. Power Metal dari luar terdengar dengan jelas sedang menyanyikan Future World-nya Helloween. Mereka terus menyanyi, kami masih terus antri. Karena antrian sangat panjang sampai jatah waktu untuk Power Metal habis. Kami yang di luar sudah mendengar Mel Shandy menyanyi. Kami belum setia berdiri antri. Beberapa lagu hit dia di album Bianglala sudah dinyanyikan. Ternyata antrian begitu panjangnya. Mel Shandy usai tampil, saya dan Hari baru mendekati pintu masuk. Saya dan Hari dapat masuk stadion berbarengan dengan tampilnya El Pamas.
Kami berusaha mendapatkan tempat duduk yang strategis dari padatnya orang di dalam stadion. Kerumunan penonton di depan panggung sudah sangat menjamur. Untuk ke depan sudah tidak mungkin. Mereka sudah jingkrak-jingkrak sejak Power Metal muncul. Saya dan Hari dapat tempat duduk lesehan di sisi timur stadion, menghadap panggung meski agak jauh. Untung panggung dibuat lumayan tinggi, sehingga aksi para personel grup musik yang tampil dapat terlihat jelas. Saya betul-betul terpesona oleh penampilan El Pamas. Meskipun mereka mengusung lagu manca, namun mereka tampil tidak sembarangan. Lagu yang dibawakan juga bukan lagu yang mudah. Mereka mengusung sebagian dari album The Wall-nya Pink Floyd. Saat Baruna yang nampak seperti bule itu berteriak “The Wall Pink Floyd!!” , semua penonton terdiam. Lampu di panggung padam. Hanya satu sorot lampu dari luar panggung yang mengenai sosok vokalis berambut gondrong itu. Baruna mengangkat dua tangannya. Penonton spontan menyalakan api dari korek yang dibawanya. Suasana tampak ngelangut saat ada suara bayi menangis mengawali lagu The Thin Ice. Baruna menyanyi lagu itu dengan apik. Saat interlude uuh baby…,semua penonton turut ikut koor. The Thin Ice selesai, masuk Another Brick in The Wall part 1. Saya merinding saat itu. Instrumen di akhir lagu itu benar-benar bikin hanyut, ngelangut. Sampai kemudian muncul sound gemuruh suara helikopter menandai masuk ke lagu The Happiest Days Of Our Lives. Lagu rancak itu membangkitkan dari rasa nglangut yang sudah terbangun dari awal. Hingga kemudian masuk lagu puncak yang menjadi sangat klasik Another Brick In The Wall part 2. Koor anak-anak yang ada di rekaman aslinya itu, di stadion Kridosono diganti oleh koor penonton. SajianThe Wall oleh El Pamas benar-benar membuat saya jatuh cinta dengan Pink Floyd. Terimakasih kepada Totok Tewel dan kawan-kawan yang membawa saya untuk menyenangi musik yang lebih rumit, bukan musik yang biasa-biasa saja.
Sebenarnya saya sudah cukup puas dengan penampilan El Pamas. Namun ternyata El Pamas bukan penyaji utama. Puncak konser malam itu adalah Godbless dengan formasi barunya. Tahun ’89 Ahmad Albar masih sangat gagah dengan kribonya. Iyek didukung oleh Jockey Suryoprayoga, Doni Fatah, Tedi Sujaya dan gitaris baru Eet Syahrani. Melihat track recordnya, kualitas tampilan mereka sudah tidak perlu diragukan lagi. Mereka membawakan hampir semua lagu di album Raksasa dan Semut Hitam. Semua lagu yang dibawakan selalu diikuti oleh penonton. Ahmad Albar begitu mampu mengusai penonton. Meskipun ada kerumunan massa begitu banyak namun tidak terjadi kerusuhan. Saya dan Hari tidak beranjak dari tempat duduk sejak semula kami duduk. Ada keinginan untuk maju ke depan untuk ikut jingkrak-jingkrak. Namun kembali saya masih punya teori, bahwa yang namanya kerumunan massa itu mudah tersulut. Sehingga lebih aman memang menjauh. Tujuannya itu untuk menikmati penampilan, bukan jingkrak-jingkrak sendiri, sehingga malah tidak melihat yang sedang beraksi di panggung.
Setelah beberapa lagu dinyanyikan, Iyek kemudian mempersilakan personel Godbless tampil solo. Yang pertama muncul adalah Doni Fatah dengan bas gitarnya. Kemudian disusul solo drum oleh Teddy Sujaya. Kemudian debutan Eet Syahrani selaku gitaris baru Godbless unjuk gigi. Saat dia unjuk kebolehan menyayat gitar, saya dengar celotehan orang-orang di sekitar saya yang mengomentari aksi Eet Syahrani. Katanya jauh dari Ian Antono. Saya sih diam saja. Tidak bisa membandingkan antara Eet dan Ian. Ilmu saya tidak sampai ke situ. Saya hanya mendengar Eet meraung-raungkan gitarnya. Kalau saya baca di majalah mirip dengan aksi Edward Van Hallen. Aksi solo terakhir Jockey dengan keyboardnya. Kali ini dia betul-betul menampilkan diri sebagai musisi yang luar biasa. Beberapa instrumental lagu klasik dia bawakan. Yang sangat special saat dia mengarransemen lagu Padamu Negrinya Kusbini, benar-benar membangkitkan semangat patriotisme yang mendalam. Selesai arransemen yang apik itu, Iyek muncul lagi dengan lagu Semut Hitam. Beberapa lagu selanjutnya masih dinyanyikan oleh Iyek dengan kekuatan yang penuh. Hingga memasuki lagu akhir, Iyek menyanyikan lagu Raksasa yang menjadi brand konser tersebut, sekaligus judul album terbarunya. Ketika lagu hampir mendekati usai, tiba-tiba di panggung bagian depan terjadi hujan kembang api. Aksi penutup itu benar-benar sangat memukau dan mengesankan. Saya sangat puas dengan aksi yang ditampilkan oleh Godbless. Tidak rugi saya harus antri satu jam lebih untuk melihat langsung penampilan Godbless dan El Pamas yang mengusung The Wall itu. Jam 10 malam konser usai, tanpa ada kerusuhan sedikitpun. Saya sukses nonton konser tanpa satu gangguan yang berarti kecuali panjangnya antri untuk masuk stadion.

Nonton Konser III (Rock Setengah Hari)

Budi Suryanto adalah salah satu punggawa Cabioma (Cah Biologi SMA5) yang keranjinga musik rock. Meskipun rumahnya di Siluk, lereng perbukitan Panggang, yang masih sekitar 10 Km sebelah selatan Imogiri tempat makam raja-raja Jogja dan Solo, namun untuk musik rock dia tak pernah ketinggalan. Di rumahnya banyak ditempeli poster musisi rock tenar saat itu. Poster ukuran standar Gun&Roses, Def Leppard, Skid Row, Van Hallen dan sebagainya di dindingnya. Karena rumahnya di Siluk dan dia adalah satu-satunya anak Siluk, maka kami memanggilnya dengan Siloek. Ekspresi kecintaan pada musik rock itu secara formal juga ditunjukkan di sekolah. Saat harus tampil ke depan untuk menyanyi, dia pasti menyanyikan lagu rock. Yang saya ingat dia pasti menyanyikan lagunya Nicky Astria, lady rocker nomer satu Indonesia.
Pada hari Sabtu dia mengajak saya nonton konser musik rock di Mandala Krida. Dua tiket sudah dia pegang dan ditunjukkan kepada saya. Di tiket dicantumkan konser dimulai jam 2 siang. Dia bilang akan menghampiri ke rumah Kepuh. Saya membayangkan, kalau harus pulang dulu ke Siluk, apa tidak kecapaian dia. Ternyata dia tidak pulang ke rumahnya. Siloek pulang ke rumah salah satu saudaranya di Umbulharjo. Hari sabtu seperti biasa jam 12.45 sekolah bubar. Saya tidak naik motor, namun ngontel sepeda pulang ke rumah. Waktu masih kelas II, saya belum naik motor, masih mengandalkan sepeda balap lungsuran dari mbak Jazim. Baru kelas III saya naik motor Honda Supercup 80, gantian dengan bapak. Kalau saya yang bawa, bapak saya anter ke kantor dulu, dan sorenya saya jemput. Kadang bapak tidak saya anter sampai kantor, namun hanya dari depan Tom Silver dekat sekolah, kemudian bapak naik bus kota.
Jam setengah dua saya sampai rumah. Setelah bersih-bersih dan makan, jam dua tet, Siloek sudah sampai di rumah saya. Waktu itu udara masih terasa panas. Hanya dengan kaos dan celana jeans, saya gonceng Siloek di atas motor Suzuki RC100 andalannya. Mandala Krida tidak begitu jauh dari rumah. Sekitar 15 menit sudah sampai area parkir stadion bola andalan Jogjakarta itu.
Meskipun di tiket konser dimulai jam 2 siang, ternyata sudah mendekati jam setengah tiga pintu masuk belum dibuka. Saya dan Siloek menunggu di pelataran stadion. Waktu itu udara terasa panas. Sambil menunggu saya dan Siloek jajan es dan beberapa cemilan dari warung yang ada di sekitar stadion. Baru sekitar jam 4 sore pintu dibuka. Saya dan Siloek masuk stadion dan mencari tempat duduk di tribun atas. Panggung nampak jelas dari tempat kami duduk, meskipun agak jauh. Panggung berjarak sekitar 50 meter dari saya dan Siloek duduk. Di panggung masih nampak aktifitas cek sound. Waktu itu nampak Arthur Kaunang sibuk melakukan cek sound bas gitarnya. Setelah dia turun, sekitar jam setengah lima sore, acara musik yang rencananya dimulai jam 2 siang itu baru dimulai.
Banyak kelompok musik yang tampil mengusung lagu-lagu rock manca di panggung itu. Setiap kelompok tampil sekitar 1 jam. Ada 6 hingga 8 lagu dimainkan oleh setiap penampil. Saya tidak ingat nama-nama grup musik sangar itu. Yang tersisa di memori saya adalah kelompok yang bernama Sharkleer, Java Box dan SKE. Nama-nama yang hanya saya dengar di panggung itu, setelahnya saya tidak pernah mendengarnya lagi. Lagu-lagu yang dinyanyikan umumnya milik Deep Purple, Led Zeppelin, Van Hallen, Yes dan yang lain. Satu dua lagu yang dinyanyikan masih saya ingat. Dream milik Van Hallen, highway starnya Deep Purple dan changes andalan Yes. Ada lagu yang dimainkan oleh dua grup berbeda di sesi yang berbeda. Seingat saya highway star lebih dari sekali dimainkan. Setiap ganti lagu vokalis selalu nenggak botol vodka. Hampir setiap grup yang tampil, tingkah vokalisnya sama. Teriak-teriak, jingkrak-jingkrak, lari-lari dan nenggak vodka.
Penonton yang berdiri di depan panggung juga nampak ikut jingkrak-jingkrak. Siloek yang duduk di tribun mengajak saya turun ikut bergabung dengan penonton depan panggung. Saya tidak mau. Ngeri juga melihat mereka jondhal-jondhil tidak karuan seperti itu. Dalam kondisi begitu saya yakin mereka tidak terkontrol. Melihat penyanyi nya menyanyi sambil mendem, saya yakin penonton juga melihatnya sambil mendem. Orang mendem berkerumunan bersama dalam suasana riuh, rawan rusuh. Saya lebih baik menghindari potensi itu. Siloek tidak jadi turun bergabubng dengan orang-orang mendem itu begitu saya jelaskan argumentasinya. Jadi saya dan Siloek cukup menggerakkan kaki dan tangan sambil tetap duduk di tribun. Saat itu sudah mendekati jam 11 malam. Hawa dingin sudah mulai terasa sejak jam sepuluh. Celakanya kami berdua sama sekali tidak membawa bekal cemilan. Kami sejak jam setengah lima, murni hanya menikmati sajian musik tanpa sajian yang lain. Penyakit kedinginan mulai menyerang saya. Saya yang hanya memakai kaos jelas terkena dampak langsung dari hawa dingin itu. Siloek yang memakai jaket jeans agak terbantu. Namun dia bilang masih merasakan dingin.
Sebagai penampil terakhir SAS kelompok rock veteran seangkatan Godbless muncul di panggung. Grup yang digawangi Sunata Tanjung pada gitar, Arthur Kaunang pada bas dan vokal, serta Syekh Abidin yang menggebuk drum itu tampil sekitar satu jam hingga pas jam 12 tengah malam. SAS membawakan lagu-lagunya sendiri, bukan lagu rock manca yang sudah digelontorkan oleh musisi sebelumnya dari sejak setengah hari tadi. Karena saya tidak begitu familiar dengan lagu-lagu SAS, maka saat Arthur Kaunang menyanyi saya tidak begitu ngeh. Saya hanya merasakan bedanya penampilan SAS dengan grup sebelumnya. SAS tidak banyak tingkah. Tidak lari ke sana ke mari. Mereka sudah nampak dewasa banget. Bermain lebih mengutamakan skill bermusik dari pada tingkahnya. Arthur Kaunang meskipun wajahnya sangar, namun suaranya empuk. Dia juga tidak nenggak vodka seperti musisi sebelumnya setiap selesai satu lagu. Saya hanya ingat satu lagu yang diucapkan Arthur Kaunang sebelum dinyanyikan, kalau tidak salah body rock. Tetapi lagu itu saya belum pernah mendengarnya. Penampilan mereka meskipun meriah namun tidak mampu mengusir rasa dingin yang menyergap tubuh saya. Jam 12 tepat konser ditutup. Lampu stadion dinyalakan. Seluruh stadion terasa terang benderang, meskipun tersaput kabut.
Saya dan Siloek turun dari tribun. Menunggu beberapa saat untuk menghindari kerumunan penonton yang mau keluar. Setelah keluar, saya dan Siloek menuju tempat parkir motor. Saya terus bersedakep untuk menahan hawa dingin. Gigi saya sudah bergerutuk sangking dinginnya. Siloek mengambil mantel dari bawah jok. Waktu itu sama sekali tidak hujan. Saya tidak paham maksudnya. Begitu dibuka, kemudian dia pakai mantel itu. Dia bilang “Untuk menghadang angin malam”. Saya baru paham. Saya pikir dengan memakai mantel bisa mengurangi dingin. Namun ternyata sama saja. Meski saya sudah di dalam mantel, hawa dingin itu masih menyertai. Di belakan Siloek, saya terus bekah-bekuh menahan dingin. Siloek terus mengarahkan motornya ke selatan. Saya membayangkan jika Siloek harus kembali pulang ke Siluk tengah malam seperti ini apa ya berani. Ternyata dia mengajak saya pulang ke rumah saudaranya di Umbulharjo. Saya dan Siloek tidur di rumah itu. Baru sekitar jam 7 pagi setelah mendapatkan sarapan kami berdua pulang. Siloek menurunkan saya di rumah Kepuh. Dia tidak mampir, langsung pulang ke Siluk sejauh sekitar 30km dari rumah saya.

Nonton Konser II (Dingin Setengah Gila)

Awaludin Suhono anak Ngipik dekat sekolah SMP, selepas Isya’ tiba-tiba tanpa memberi kabar apapun datang ke rumah saya di Kepuh. Tidak perlu basa-basi dia langsung ngajak pergi. Saat saya tanya “Mau ke mana? Dijawab dengan cepat “Kaliurang!”. Saya heran, malam-malam ngajak ke Kaliurang. Saat saya desak ada acara apa di Kaliurang, dia bilang lihat Gombloh. Berbekal uang ala kadarnya dan merangkapi kaus saya denganjaket tipis, saya pamitan ibu dan nggonceng Udin. Dia memakai jaket kulit hitam. Tanpa helm kami berangkat mengendarai Honda Astrea 800 hitam miliknya.
Jalanan menuju Kaliurang setelah lewat selokan Mataram, tidak begitu ramai. Udin memacu motornya dengan lumayan kencang. Saya yang di belakang kadang harus memejamkan mata merem untuk menghindari terjangan angin. Masuk daerah Mbesi hawa dingin sudah mulai masuk kulit. Jaket tipis saya tidak mampu menahannya. Udin karena jaketnya lumayan tebal mungkin belum terasa dingin meskipun dia di depan. Memasuki Pakem, hawa semakin dingin. Sampai di Kaliurang tingkat kedinginan sudah lumayan sampai menembus tulang. Kami menuju ke lokasi konser di area perkemahan. Setelah menitipkan motor di parkiran dadakan, saya dan Udin berjalan mendekat ke panggung. Ternyata sudah banyak orang berkerumun di situ. Udin mengajak untuk mencari tempat lain. Kami naik ke bukit. Lumayan tinggi kami mendaki. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman kami duduk di samping pohon. Dari kami duduk, pojok panggung terlihat jelas, meski terlihat agak jauh.
Jam 8.00 malam acara dimulai. Penyanyi pertama muncul adalah Ebiet G Ade. Dia menyanyi sambil duduk di kursi dengan gitar akustik. Beberapa lagu dia nyanyikan. Saya tidak ingat persis lagunya apa saja. Yang jelas lagu “untuk sebuah nama” dinyanyikan bersama-sama dengan penonton. Ebiet mampu mengajak penonton larut dengan lagu-lagunya. Terus terang saya kurang bisa menikmati konser itu. Saya terganggu oleh hawa dingin yang menusuk. Hawa dingin itu tidak dapat diusir dengan yang hangat-hangat. Posisi saya dan Udin waktu itu lumayan tinggi di lereng bukit. Sehingga tidak mungkin ada asongan yang lewat menawarkan teh panas atau kopi. Jadi saya lebih berkonsentrasi dengan bergerak-gerak sendiri mengusir hawa dingin.
Tak terasa tampilan Ebiet sudah usai. Tampil kemudian Gombloh. Dengan pakaian khas, kaos lengan panjang dibalut rompi, rambut ditutupi topi, dan berkaca mata. Saya tidak bisa memastikan kaca mata itu hitam atau coklat. Gombloh juga menenteng gitar akustik. Saat memulai dialog dengan penonton Gombloh minta maaf karena tidak membawa pengiring, maka dia akan tampil dengan iringan musik minus one. Lagu-lagu Gombloh saya juga tidak begitu banyak paham. Yang sering saya dengar adalah Kebyar-Kebyar. Kaset itulah yang dulu sering saya lihat di rumahnya Agus Kepuh Kidul.
Pada saat saya nonton konser Gombloh itu, eranya bukan lagi era lagu Kebyar-Kebyar. Gombloh sudah bergeser, dari lagu-lagu yang idealis dan berbobot tinggi ke pop yang pro pasar. Gombloh saat itu sudah populer dengan Apel dan Setengah Gila. Album Apel dan Setengah Gila itulah yang kemudian menjadikan Gombloh berkucukupan materi. Saat masih mengandalkan patriotisme dan kecintaan kepada alam, Gombloh kurang mendapatkan penghargaan. Baru setelah Gombloh tiada, muncul Setiawan Djodi yang mengangkat SWAMI tanpa mempedulikan pasar. Dia mampu mendikte pasar untuk mendengarkan lagu-lagu SWAMI yang tidak umum di pasaran pada masa itu. Lagu-lagu bertemakan kritik sosial yang keras dan musik yang berani dapat diterima oleh pendengar musik Indonesia yang cukup lama terlenakan dengan lagu pop cengeng mendayu. Seandainya Setiawan Djodi mau turun tangan sejak awal tahun ’80 mungkin Gombloh tidak harus menjual Apel hingga menjadi Setengah Gila untuk sekedar memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sebagai seniman.
Gombloh dengan iringan musik minus one, menyanyikan lagu-lagu Apel, Setengah Gila dan yang lain. Seingat saya dia tidak menyanyikan lagu-lagu kategori berbobot dan fenomenal semacam Kebyar-Kebyar itu. Mungkin lagu-lagu lawasnya saat itu belum dibuat karaokenya. Penonton begitu antusias menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Gombloh. Dia juga sangat mahir membangun komunikasi dengan penonton. Meskipun berbadan kurus, namun ternyata dia mampu tampil hampir satu jam penuh. Dia berdiri selama menyanyi dan berdialog dengan penonton. Sedangkan saya seperti saat tampilnya Ebiet sebelumnya, masih disibukklan oleh urusan perdinginan. Hawa dingin semakin malam bukan semakin berkurang justru semangkin menggila. Apalagi saat itu kabut sudah mulai turun. Dari saya duduk, saat memandang sejajar di depan saya sudah nampak kabut. Dengan sekuat tenaga saya berusaha mengurangi dingin yang sudah menusuk-nusuk sumsum itu. Bergerak-gerak, menggosok tangan dan membuang napas lewat mulut tidak mampu mengurangi bekunya malam itu. Jam sepuluh Gombloh selesai tampil. Konser juga selesai. Saya senang sekali saat itu. Senang karena konser selesai. Bukan senang karena telah melihat konser Ebiet dan Gombloh. Senang karena segera bisa terlepas dari siksaan hawa dingin. Saya dan Udin menuruni bukit untuk pulang. Untuk sampai rumah saya masih harus menahan hawa dingin lagi sekitar satu jam perjalanan.
Saya dan Udin menuju parkiran untuk mengambil motor. Jok sudah basah oleh embun. Begitu pantat nempel di jok motor, air embun menembus hingga celana dalam. Nyess dingin rasanya. Motor digenjot, langsung tancap gas menuruni jalanan Kaliurang. Saya masih nggonceng di belakang. Di perjalanan saya nempel terus di punggung Udin. Dingin udara ditambah terpaan angin sudah betul-betul menyiksa. Sampai di kampus Bulaksumur, kami berhenti dan mampir warung hik di pinggir jalan. Teh panas dan gorengan cukup mampu mengurangi dingin yang sudah terlanjur masuk sumsum itu. Setelah badan sudah tidak lagi kedinginan, saya ganti yang di depan mengendarai motor hingga Kepuh. Sekitar jam 12 malam sampai rumah. Udin tidak mampir rumah, langsung pamitan pulang. Pengalaman nonton konser Gombloh itu adalah pertama kali dan sekaligus terakhir saya melihatnya secara live. Sebab tidak lama setelah konsernya di Kaliurang itu Gombloh dikabarkan meninggal. Menurut berita yang saya baca karena sakit liver. Melihat tubuhnya yang kurus kering sepertinya Gombloh menyimpan penyakit di dalamnya. Penyakit itulah yang menghantarkan ruhnya menemui Khaliqnya. Meski Gombloh telah mati, namun hingga kini lagunya masih abadi. Setiap Agustus lagu Kebyar-Kebyar hampir setiap hari terdengar. Sedangkan Apel dan Setengah Gila hingga sekarang saya tetap tidak suka mendengarnya.