Minggu, 23 Januari 2011

Ronda Malam

Kegiatan siskamling di Kepuh Lor berjalan dengan sangat baik. Warga dibagi dalam lima kelompok sesuai nama pasaran Jawa yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Tiap kelompok beranggotakan sekitar 10 – 12 orang. Saya ingat nama anggota kelompok Wage terdiri dari Bapak saya, Lek Jumat, Lek Hardi, Lek Marjono, Lek Girun, Lek Kusno, Gopleng, mbah Marto Bodin, mbah Mangun Sakiman dan Kitri. Kelompok Wage termasuk kelompok kasepuhan, karena rata-rata anggotanya sudah berumur tua. Namun justru itu, kelompok Wage termasuk kelompok yang elit dan disegani. Berbeda dengan kelompok Legi berisi para pemuda. Tempat ronda bergiliran di rumah-rumah tiap anggota. Jadi tiap anggota mendapatkan giliran rumahnya dipakai untuk ronda tergantung jumlah anggotanya. Jika anggotanya sepuluh orang maka setiap 50 hari sekali mendapatkan giliran. Giliran itu sudah dibuat urutan baku, sehingga setelah bertempat di rumah saya, maka pasaran Wage lima hari berikutnya di rumah Lek Jumat, berikutnya lagi di rumah Lek Hardi dan seterusnya hingga kembali di rumah saya. Bapak sudah menugaskan saya untuk ronda sejak saya kelas 1 SMP. Demikian juga dengan Kunik yang mewakili Lek Jumat bapaknya, dan Tarto mewakili Kitri kakaknya. Saya lumayan lama mengikuti kegiatan ronda di kampung hingga saya masuk kuliah. Setelah saya kuliah saya sudah sangat jarang ikut ronda, bahkan kegiatan kampung yang lain saya juga sudah sangat jarang ikut.
Selama metode itu diberjalankan, saya belum pernah menjumpai kekisruhan atau kesalahan. Semua sudah niteni (mengingat) jadwalnya dan menyiapkan segala ubo rampenya. Mendapatkan giliran ronda berarti harus menyiapkan suguhan jajanan berpiring-piring sekaligus teh panasnya. Dan itulah sebenarnya inti dari ronda menurut saya. Ronda berarti makan-makan sak kenyangnya. Bahkan jika yang ketempatan giliran sedang bersuka hati, akan disajikan makan besar. Hal itu pernah dilakukan oleh mbah Mangun Sakiman (biasa disingkat Mangun SKM). Kami disuguhi makan besar dengan lauk opor ayam kampung. Sepertinya kerbau mbah Mangun baru saja melahirkan, jadi sekalian syukuran. Ibu kadang juga menyiapkan makan besar waktu mendapatkan giliran ronda. Biasanya ibu masak gule ayam dilengkapi dengan krupuk udang.
Kegiatan ronda, setelah semua anggota kumpul di rumah yang ketempatan, maka suguhan berbagai jenis jajanan pun dikeluarkan. Berpiring-piring jajanan tersedia. Biasanya berupa pisang goreng, bakwan, tahu susur, ketela goreng ataupun godhog, kacang godhog maupun kacang garing, pisang godhog, jadah ketan dan aneka jenang dodol, kripik maupun peyek juga sering ada. Minumnya yang pasti teh panas, namun juga disiapkan kopi bagi yang mau kopi. Pokoknya untuk urusan logistic, kelompok Wage termasuk yang paling mewah di antara kelompok lain. Makanya kadang saat pasaran Wage banyak juga yang datang selain kelompok Wage ke rumah yang ketempatan. Tentu selain untuk mengisi malam, yang jelas untuk begadang semalam tersedia teman berupa aneka jajanan. Biasanya jam sembilan malam, sudah pada kumpul. Sambil menikmati suguhan jajanan, siaran wayang kulit dari radio menjadi hiburan wajib. Kebetulan kelompok Wage lumayan senang dengan dalang Ki Hadi Sugito dari Toyan Wates Kulon Progo. Begitu acara wayang kulit disiarkan, semua ikut mendengarkan, termasuk saya. Acara mendengarkan siaran wayang kulit biasanya terhenti sekitar jam sebelas atau jam dua belas. Waktu tengah malam itu, saatnya tugas ronda yang sebenarnya dijalankan. Kami harus mengambil jimpitan berupa beras yang ditempatkan dalam kaleng kecil semacam bekas kaleng rhemason atau yang lain. Kaleng itu ditempatkan di pojok bagian belakang rumah, sehingga kami harus mengelilingi rumah itu untuk mengambilnya. Itulah tujuan jimpitan itu, petugas ronda harus meronda rumah, dengan sarana jimpitan. Jika jimpitan tidak diambil, maka tuan rumah akan protes, karena rumahnya tidak dirondani. Saya pernah ngakali waktu itu. Memang dari rumah sudah diniati untuk tidak keliling kampung mengambil jimpitan. Saya sudah membawa beras satu karung plastic kresek. Ketika waktunya keliling untuk mengambil jimpitan, saya, Kunik dan Tarto keluar dan menuju ke halaman rumah mbah Pawiro untuk mengambil jambu air. Selesai mengambil dan makan jambu itu kami kembali ke pos ronda di rumah mbah Mangun.
Keliling kampung untuk mengambil jimpitan memang bagian yang tidak mengenakkan. Kepuh Lor itu lumayan luas. Mulai dari ujung kampung di pinggir jalan hingga ujung satunya di pinggir sungai. Meskipun sudah dibagi menjadi dua bagian, namun ketika harus mengambil jimpitan di rumah mbah Rono yang berada di paling ujung barat kampung di pinggir sungai kami jadi merasa malas melakukannya. Tetapi karena itu sudah bagian dari tugas maka ya harus dikerjakan. Selama menjalani aktifitas ronda, saya belum pernah mengalami harus mengejar maling, menangkap dan nggebuki hingga klenger. Artinya selama ronda jatuh pada kelompok Wage belum pernah sekalipun menjumpai maling atau ada warga yang kemalingan. Namun saat kelompok lain ada warga yang kemalingan juga, tetapi saya lupa kelompok apa waktu itu yang ronda. Pernah sekali, saat itu ada informasi bahwa ada orang yang mencurigakan masuk kampung. Saat itu saya bersama Lek Jumat, sedang keliling mengambil jimpitan. Begitu mendapatkan informasi itu saya diajak Lek Jumat ikut mengamati. Saya dibekali pentungan waktu itu. Saya sudah senang, bakal mendapatkan pengalaman menangkap maling. Saya dan Lek Jumat mengamati sekitar kuburan, dan menjumpai dua orang di seberang kuburan. Dengan agak was-was kami dekati sambil menyiapkan pentungan. Ternyata begitu dekat, dua orang itu adalah Lek Hardi dan Gopleng. Maka kami berempat bergabung, bukan untuk keliling, namun kembali ke pos di rumahnya Kusno.
Kegiatan ronda di rumah-rumah ini berjalan cukup lama, hingga kemudian ada inisiatif untuk membangun gardu ronda. Setelah gardu ronda jadi, maka segala kegiatan ronda disentralkan di gardu. Penggunaan rumah-rumah anggota kelompok untuk tempat ronda dihapuskan. Bagi anggota kelompok yang mendapatkan giliran, maka bertanggung jawab terhadap logistic anggotanya. Karena tidak lagi di rumahnya sendiri, maka harus dikirim ke gardu ronda. Dengan adanya perubahan sistem itu, maka berubah pula pola suguhan yang disajikan saat ronda. Bukan lagi tersaji berpiring-piring aneka jajanan. Kiriman jajanan itu cukup ditempatkan di dua panci ukuran sedang. Minuman teh siap saji juga disiapkan di dua ceret yang sudah ada di gardu. Gelas juga sudah tersedia di gardu. Jadi sebenarnya sangat praktis dan ekonomis bagi warga yang mendapatkan jatah menyiapkan logistik ronda. Namun justru dengan metode itulah, menurut saya ruh dari ronda itu sudah hilang, bersama dengan hilangnya berbagai macam sajian jajanan yang menjadi ciri khas kegiatan ronda di kampung saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar