Kamis, 30 Desember 2010

Nonton Konser II (Dingin Setengah Gila)

Awaludin Suhono anak Ngipik dekat sekolah SMP, selepas Isya’ tiba-tiba tanpa memberi kabar apapun datang ke rumah saya di Kepuh. Tidak perlu basa-basi dia langsung ngajak pergi. Saat saya tanya “Mau ke mana? Dijawab dengan cepat “Kaliurang!”. Saya heran, malam-malam ngajak ke Kaliurang. Saat saya desak ada acara apa di Kaliurang, dia bilang lihat Gombloh. Berbekal uang ala kadarnya dan merangkapi kaus saya denganjaket tipis, saya pamitan ibu dan nggonceng Udin. Dia memakai jaket kulit hitam. Tanpa helm kami berangkat mengendarai Honda Astrea 800 hitam miliknya.
Jalanan menuju Kaliurang setelah lewat selokan Mataram, tidak begitu ramai. Udin memacu motornya dengan lumayan kencang. Saya yang di belakang kadang harus memejamkan mata merem untuk menghindari terjangan angin. Masuk daerah Mbesi hawa dingin sudah mulai masuk kulit. Jaket tipis saya tidak mampu menahannya. Udin karena jaketnya lumayan tebal mungkin belum terasa dingin meskipun dia di depan. Memasuki Pakem, hawa semakin dingin. Sampai di Kaliurang tingkat kedinginan sudah lumayan sampai menembus tulang. Kami menuju ke lokasi konser di area perkemahan. Setelah menitipkan motor di parkiran dadakan, saya dan Udin berjalan mendekat ke panggung. Ternyata sudah banyak orang berkerumun di situ. Udin mengajak untuk mencari tempat lain. Kami naik ke bukit. Lumayan tinggi kami mendaki. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman kami duduk di samping pohon. Dari kami duduk, pojok panggung terlihat jelas, meski terlihat agak jauh.
Jam 8.00 malam acara dimulai. Penyanyi pertama muncul adalah Ebiet G Ade. Dia menyanyi sambil duduk di kursi dengan gitar akustik. Beberapa lagu dia nyanyikan. Saya tidak ingat persis lagunya apa saja. Yang jelas lagu “untuk sebuah nama” dinyanyikan bersama-sama dengan penonton. Ebiet mampu mengajak penonton larut dengan lagu-lagunya. Terus terang saya kurang bisa menikmati konser itu. Saya terganggu oleh hawa dingin yang menusuk. Hawa dingin itu tidak dapat diusir dengan yang hangat-hangat. Posisi saya dan Udin waktu itu lumayan tinggi di lereng bukit. Sehingga tidak mungkin ada asongan yang lewat menawarkan teh panas atau kopi. Jadi saya lebih berkonsentrasi dengan bergerak-gerak sendiri mengusir hawa dingin.
Tak terasa tampilan Ebiet sudah usai. Tampil kemudian Gombloh. Dengan pakaian khas, kaos lengan panjang dibalut rompi, rambut ditutupi topi, dan berkaca mata. Saya tidak bisa memastikan kaca mata itu hitam atau coklat. Gombloh juga menenteng gitar akustik. Saat memulai dialog dengan penonton Gombloh minta maaf karena tidak membawa pengiring, maka dia akan tampil dengan iringan musik minus one. Lagu-lagu Gombloh saya juga tidak begitu banyak paham. Yang sering saya dengar adalah Kebyar-Kebyar. Kaset itulah yang dulu sering saya lihat di rumahnya Agus Kepuh Kidul.
Pada saat saya nonton konser Gombloh itu, eranya bukan lagi era lagu Kebyar-Kebyar. Gombloh sudah bergeser, dari lagu-lagu yang idealis dan berbobot tinggi ke pop yang pro pasar. Gombloh saat itu sudah populer dengan Apel dan Setengah Gila. Album Apel dan Setengah Gila itulah yang kemudian menjadikan Gombloh berkucukupan materi. Saat masih mengandalkan patriotisme dan kecintaan kepada alam, Gombloh kurang mendapatkan penghargaan. Baru setelah Gombloh tiada, muncul Setiawan Djodi yang mengangkat SWAMI tanpa mempedulikan pasar. Dia mampu mendikte pasar untuk mendengarkan lagu-lagu SWAMI yang tidak umum di pasaran pada masa itu. Lagu-lagu bertemakan kritik sosial yang keras dan musik yang berani dapat diterima oleh pendengar musik Indonesia yang cukup lama terlenakan dengan lagu pop cengeng mendayu. Seandainya Setiawan Djodi mau turun tangan sejak awal tahun ’80 mungkin Gombloh tidak harus menjual Apel hingga menjadi Setengah Gila untuk sekedar memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sebagai seniman.
Gombloh dengan iringan musik minus one, menyanyikan lagu-lagu Apel, Setengah Gila dan yang lain. Seingat saya dia tidak menyanyikan lagu-lagu kategori berbobot dan fenomenal semacam Kebyar-Kebyar itu. Mungkin lagu-lagu lawasnya saat itu belum dibuat karaokenya. Penonton begitu antusias menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Gombloh. Dia juga sangat mahir membangun komunikasi dengan penonton. Meskipun berbadan kurus, namun ternyata dia mampu tampil hampir satu jam penuh. Dia berdiri selama menyanyi dan berdialog dengan penonton. Sedangkan saya seperti saat tampilnya Ebiet sebelumnya, masih disibukklan oleh urusan perdinginan. Hawa dingin semakin malam bukan semakin berkurang justru semangkin menggila. Apalagi saat itu kabut sudah mulai turun. Dari saya duduk, saat memandang sejajar di depan saya sudah nampak kabut. Dengan sekuat tenaga saya berusaha mengurangi dingin yang sudah menusuk-nusuk sumsum itu. Bergerak-gerak, menggosok tangan dan membuang napas lewat mulut tidak mampu mengurangi bekunya malam itu. Jam sepuluh Gombloh selesai tampil. Konser juga selesai. Saya senang sekali saat itu. Senang karena konser selesai. Bukan senang karena telah melihat konser Ebiet dan Gombloh. Senang karena segera bisa terlepas dari siksaan hawa dingin. Saya dan Udin menuruni bukit untuk pulang. Untuk sampai rumah saya masih harus menahan hawa dingin lagi sekitar satu jam perjalanan.
Saya dan Udin menuju parkiran untuk mengambil motor. Jok sudah basah oleh embun. Begitu pantat nempel di jok motor, air embun menembus hingga celana dalam. Nyess dingin rasanya. Motor digenjot, langsung tancap gas menuruni jalanan Kaliurang. Saya masih nggonceng di belakang. Di perjalanan saya nempel terus di punggung Udin. Dingin udara ditambah terpaan angin sudah betul-betul menyiksa. Sampai di kampus Bulaksumur, kami berhenti dan mampir warung hik di pinggir jalan. Teh panas dan gorengan cukup mampu mengurangi dingin yang sudah terlanjur masuk sumsum itu. Setelah badan sudah tidak lagi kedinginan, saya ganti yang di depan mengendarai motor hingga Kepuh. Sekitar jam 12 malam sampai rumah. Udin tidak mampir rumah, langsung pamitan pulang. Pengalaman nonton konser Gombloh itu adalah pertama kali dan sekaligus terakhir saya melihatnya secara live. Sebab tidak lama setelah konsernya di Kaliurang itu Gombloh dikabarkan meninggal. Menurut berita yang saya baca karena sakit liver. Melihat tubuhnya yang kurus kering sepertinya Gombloh menyimpan penyakit di dalamnya. Penyakit itulah yang menghantarkan ruhnya menemui Khaliqnya. Meski Gombloh telah mati, namun hingga kini lagunya masih abadi. Setiap Agustus lagu Kebyar-Kebyar hampir setiap hari terdengar. Sedangkan Apel dan Setengah Gila hingga sekarang saya tetap tidak suka mendengarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar