Sabtu, 25 Desember 2010

Parangtritis I (Nyaris Menangis)

Saya lupa persisnya, namun yang pasti hari Sabtu malam Minggu. Saya betiga dengan Agus dan Hartono berangkat ke pantai Parangtritis. Rencana awal mau menginap di pantai dan menunggu terbitnya matahari. Kami goncengan bertiga dengan satu motor Honda GL warna hitam. GL itu biasa dipakai pak Darmo untuk berangkat ke kantor kecamatan tempatnya mengabdi sebagai PNS selama ini. Setiap melakukan perjalanan seperti itu, memang tidak ada persiapan khusus. Yang penting jalan, bawa bekal uang secukupnya. Urusan di jalan dipikir sambil jalan. Bertiga dengan persiapan seperti seperi itu, kami berangkat ke Parangtritis. Meluncur dari Kepuh Kidul rumahnya Agus jam delapan malam. Perjalanan ditempuh dengan santai. Saat itu sedang tidak dalam momen khusus, sehingga lalu lintas jalan tidak begitu ramai, sepi malah. Sampai perempatan Jejeran, belok ke selatan ke arah makam Imogiri, tempat bersemayamnya jasad para raja kraton Jogja dan Solo. Pertigaan Imogiri kami belok kanan menuju Siluk. Sedangkan arah ke kiri adalah arah ke komplek makam Imogiri. Sepuluh menit berikutnya kami sudah melewati jembatan kali Opak, belok kanan sudah memasuki jalan di lereng-lereng perbukitan Siluk-Panggang.
Perjalanan di malam hari itu tidak dibantu sama sekali oleh terang bulan. Saya tidak tahu tanggal berapa, apakah masih muda atau sudah terlalu tua sehingga bulan tak kelihatan. Yang jelas kegelapan malam itu hanya disuluh oleh lampu motor saja. Empat puluh menit kami menyusuri jalan turun naik itu, hingga kami sampai di Kretek, tembusan jalan raya Parangtritis. Belok kiri kami menyusuri jalan raya itu, sepuluh menit kemudian kami sudah masuk pintu gerbang obyek wisata pantai laut selatan. Sampai di pantai yang berpasir lembut itu kami tidak menjumpai turis domestik maupun asing yang berada di situ. Rasanya memang aneh, malam-malam lepas jam sepuluh jalan-jalan di pantai kalau bukan kurang pekerjaan. Kami bertiga duduk-duduk beralaskan koran yang ada di sekitar situ. Mungkin bekas dipakai orang yang berwisata sore hari sebelumnya. Sambil ngobrol bermacam-macam tema, kami terus melewati malam. Sekitar jam dua belas tengah malam, Agus mengajak kami ke gua Langse. Gua itu berada di sebelah timur Parangtritis, sudah masuk kawasan Kabupaten Gunungkidul. Jika berjalan kaki butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai gua di bibir pantai itu. Gua yang terletak persis di bawah tebing itu memang cukup menantang untuk dikunjungi. Kami sudah beberapa kali ke sana. Di gua itu pula seniman asal Pati, Ragil Suwarno Pragola Pati raib jasadnya hingga sekarang belum diketahui keberadaannya.
Kami bertiga berangkat keluar dari pantai menuju ke arah timur. Namun baru sekitar satu kilo perjalanan, saya bilang ke Agus untuk berhenti dulu. Saat berhenti saya bilang, baiknya tidak usah ke gua Langse, sudah malam pulang saja. Tidak tahu mengapa saat itu ada perasaan malas untuk berjalan di kegelapan malam menuju gua yang konon tempat semedinya Panembahan Senopati itu. Pinginnya ya pulang saja. Tidak tahu juga mengapa mereka berdua menurut saja ketika saya provokasi begitu. Akhirnya kami atret, ambil arah ke barat untuk kembali pulang. Sampai pertigaan Kretek kami ambil ke kanan menyusuri jalan di pinggir perbukitan. Lima belas menit menyusuri jalan turun naik itu, saya merasakan ada hal yang tidak beres dengan motor GL yang kami kendarai. Suaranya mulai mbrebet-mbrebet seperti kehabisan bahan bakar. Dan benar saja tidak sampai lima menit setelah gejala awal, motor GL yang kami tumpangi bertiga berhenti kehabisan bensin.
Saat itu kami berada di jalan di antara perbukitan, jauh dari permukiman. Perkiraan waktu itu mendekati jam 1 malam, saatnya orang sudah terlelap dibuai mimpi. Begitu motor berhenti dan upaya menolong secara darurat dengan cara memiringkan tangki bensin tidak bisa, maka Agus selaku driver menuntun GL itu. Hartono di belakangnya mendorong, sedangkan saya berjalan di sampingnya. Kami bertiga berjalan melewati area pertegalan yang ditanami ketela. Menyusuri jalan turun naik, perjalanan sudah lima belas menit belum menemukan rumah penduduk. Setelah mengatur napas Agus berjalan lagi. Sepuluh menit kemudian kami menemukan gedung sekolah SD. Di sebelah SD itu ada rumah namun gelap. Hartono berjalan mendekati rumah itu kemudian mengetuknya. Beberapa kali ketukan, namun tidak ada respon dari empunya rumah. Hampir lima menit Hartono mencoba terus mengetuk, namun tetap tanpa hasil. Ada kemungkinan rumah itu memang tidak berpenghuni.
Usaha pertama gagal. Kami bertiga kembali mendorong motor mencoba mencari rumah yang lain. Ketika kami mulai berjalan, saya menoleh ke belakang. Secara samar saya menangkap seberkas cahaya api. Saya menduga itu bara api dari ujung rokok yang digerakkan. Posisi berkas cahaya itu agak jauh dari saya berdiri saat itu. Saya bilang ke Agus, ada orang di belakang. Agus menoleh namun dia tidak melihat apa yang saya lihat. Tanpa mempedulikan apa yang saya lihat, kami bertiga bergegas meninggalkan tempat itu. Rasa was-was sudah mulai muncul saat itu. Posisi kami bertiga ada di tengah bulak. Kami tidak tahu seberapa jauh dari perkampungan. Agus menuntun GL dengan agak lebih cepat. Saya dan Hartono mengikuti dari belakang. Kilatan api di belakang kami ternyata juga ikut bergerak. Hartono sambil berlari mendekat ke Agus berkata pelan,mengatakan kalau ada orang di belakang mengikuti. Agus menoleh ke belakang dan saat itu memang nampak oleh kami bertiga kilat yang bergerak-gerak. Saya menduga tidak hanya satu orang. Tanpa kami duga Agus melarikan motor itu. Kami berdua juga ikut lari. Terus terang saat itu saya terbayang di benak saya alangkah naasnya kalau kami bertiga dirampok. Motor dibawa, kami diikat atau bahkan mungkin dibuang di perbukitan atau tragisnya lagi dibunuh dan dibiarkan di pinggir jalan. Membayangkan tragedi yang akan menimpa itu, saya hampir saja menangis. Namun tidak sampai menangis. Saya termasuk anak yang kuat untuk tidak menangis menghadapi masalah. Namun saat itu saya hanya pada tahap hampir menangis, nyaris namun belum dan memang tidak sampai menangis.
Sambil terus berlari dan menoleh ke belakang, tiba-tiba Agus berteriak : “ Wan, bedhile disiapke. Nek nyerak tembak wae, mati rapopo “. Saya terus terang kaget. Kapan bawa bedhilnya. Namun reflek saya cukup bagus untuk mampu menangkap maksud Agus. Maka dengan berteriak pula saya menjawab : “Yo! Ngko nek nyerak tak tembake ndhase!” . Hartono saat itu juga lumayan bagus refleknya terus juga ikut teriak : “Nek mrene tak babate!”. Ternyata ide kreatif Agus mempu membangkitkan nyali kami. Sambil terus berlari dialog yang kami bangun adalah masalah senapan dan pedang. Maksudnya biar yang di belakang mendengar bahwa kami bertiga tidak bertangan kosong. Ada senapan dan pedang yang siap digunakan oleh ahlinya.
Terbukti setelah hampir lima belas menit berlari, orang-orang di belakang kami sudah tidak nampak lagi. Mungkin mereka memang mendengar apa yang kami teriakan sambil berlari tadi. Melihat itu, kami sudah mulai turun tingkat ketegangannya. Kami sudah tidak berlari lagi. Disamping sudah merasa aman, memang juga sudah ngos-ngosan. Niat hati mau berhenti istirahat, ternyata kami jumpai sebuah rumah di pinggir jalan. Meskipun gelap masih nampak temaram lampu teplok dari luar. Hartono kembali beraksi mengetuk pintu. Kami sudah tidak peduli dengan waktu yang mendekati dini hari. Ternyata hanya dengan tiga ketukan, sudah ada respon. Keluar dari balik pintu bapak-bapak setengah baya. Saat kami tanya bakul bensin terdekat mana, dia bilang sekitar sekilo dari rumahnya ada warung yang menjual bensin. Berdasarkan informasi itu kami kemudian berjalan lagi menuntun GL bertangki kosong itu. Tak sampai sepuluh menit kami melihat rumah yang ada rukonya. Di samping rumah itu ada rak yang dipakai untuk menempatkan botol bensin. Melihat itu kami sudah ayem. Ayem bakal mendapatkan bensin sehingga perjalanan yang melelahkan itu bisa segera berakhir. Saya dan Hartono maju bareng mengetuk pintu. Pada awalnya kami ketuk perlahan sambil kami berujar bensin. Namun ternyata ketukan kami tidak mendapatkan respon. Ketukan berikutnya lebih keras. Baru terdengar suara dari dalam, suara seorang laki-laki : “Siapa?” Kami berdua serentak : “Tumbas bensin”. Sambil membawa senter, seorang laki-laki bersarung keluar dari rumah itu. Begitu melihat orang itu, Hartono segera menghampiri dan bilang kehabisan bensin. Lelaki itu bilang sebentar dan kembali masuk ke rumah. Dia keluar lagi sudah membawa satu botol isi bensin dan saringannya. Agus segera membuka tutup tangki bensin. Tak butuh satu menit bensin dalam botol sudah masuk tangki. Dia masuk lagi saat kami bilang dua liter, dan keluar lagi sudah membawa satu botol bensin.
Mendapatkan bensin itu rasanya kami sudah terbebas dari himpitan masalah besar. Setelah membayar dengan uang pas dan ucapan terima kasih kami melanjutkan perjalanan pulang. Membutuhkan beberapa genjotan untuk menghidupkan GL pembawa sial itu. Begitu mesin hidup saya segera naik, kemudian diikuti Hartono di belakang saya. Perjalanan pulang sudah tidak kami rasakan lagi. Motor dipacu dengan cepat, tahu-tahu sudah masuk perempatan Jejeran. Belok kanan berhenti di dekat lapangan bola Wonokromo di warung hik pinggir jalan. Habis beberapa gorengan dan teh panas, GL digenjot lagi. Tak sampai lima belas menit kami sudah sampai di Kepuh Kidul. Kami bertiga tidur di mushola depan rumah, hingga saat subuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar